MENTALITAS & BUDAYA PENEGAKKAN HUKUM BERKEADILAN Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Sospol, Hukum & Ketenagakerjaan)
Jika Anda harus melanggar hukum, lakukanlah untuk merampas kekuasaan yang korup. Untuk kasus-kasus lain, pelajarilah dulu.” Anonim
Memasuki usia ke 80 Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 2025 mendatang, perkembangan dan kemajuan penegakkan hukum yang berkeadilan, berkepastian & berkemanfaatan masih belum sesuai dengan harapan masyarakat.
Satire penegakkan hukum yang sering terdengar, "tajam kebawah - tumpul keatas" sudah menjadi budaya penegakkan hukum di tanah air. Hukum masih menjadi milik orang2 berkuasa & kaum kaya (the haves). Hukum bahkan menjadi "alat" politik Penguasa demi kepentingan dinasti & nepotisme bahkan kriminalisasi terhadap orang2 yang mengkritik kekuasaan.
Dari sederet kasus2 hukum yang kontroversial dan5 menjadi diskursus di tengah-tengah masyarakat, kasus Vina, Harvey Moies dan Hasto Kristiyanto adalah contoh kasus hukum terkini yang mendapatkan banyak sorotan publik.
Kasus Vina yang terang benderang dengan sejumlah bukti2 baru (novum) dalam proses Peninjauan Kembali (PK), ditolak mentah2 oleh Hakim MA. Kasus korupsi Harvey Moeis yang merugikan negara 300 triliun, hanya mendapatkan vonis PN 6.5 tahun. Begitu pula Kasus Hasto Sang Sekjen PDIP yang seharusnya sudah bisa ditersangkakan (info sejumlah media) sejak 5 tahun lalu, baru bisa dieksekusi disaat Pimpinan KPK dan Rezim berganti.
Ketiga kasus hukum diatas, masing2 telah "melawan" rasa keadilan dan logika hukum yang berkembang di Masyarakat. Bahkan cenderung memperlihatkan adanya politisasi hukum yang diintervensi oleh kekuasaan.
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill mewakili pandangan utilitarianisme (the history of utilitarianism - 2009), memaknai keadilan adalah manfaat atau kebahagiaan sebesar-besarnya untuk sebanyak mungkin orang. Berpegang dari teori diatas, masihkah penegakkan hukum di Indonesia sudah mencapai titik kemanfaatan dan memuaskan mayoritas rasa keadilan yang hidup di masyarakat?
KEBUDAYAAN & MENTALITAS KORUPTIF
Pendekatan kebudayaan merupakan perihal penting dalam setiap upaya membangun peradaban bangsa yang lebih baik, termasuk di dalamnya adalah soal penegakkan hukum yang berkeadilan, serta pemberantasan dan pencegahan korupsi.
JWM Bakker (1984) menjelaskan, dalam setiap sisi kehidupan masyarakat, kebudayaan menampakkan diri sebagai faktor yang tidak dapat dielakkan, yang mau tidak mau harus diperhatikan agar setiap usaha (merancang masa depan) tidak menjadi gagal.
Dari dalam kebudayaan, orang menggali motif dan perangsang untuk menjunjung perkembangan masyarakat. Dari dalamnya juga berasal kebiasaan yang menyebabkan rusaknya tatanan sosial, seperti anarkisme, penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan, korupsi dan kemacetan. Artinya, bisa saja terjadi berbagai program pembangunan (kebijakan) gagal, justru karena hambatan kebudayaan yang dimiliki oleh sebuah bangsa dan negara.
Lawrence E. Harrison and Samuel P. Hutington (2000) dalam Culture Matter: How Values Shape Human Progress, mengatakan bahwa nilai-nilai dalam setiap budaya memiliki andil yang menentukan keberhasilan perubahan yang hendak ditentukan. Hutington, dkk (2000) mendefinisikan budaya sebagai istilah yang subjektif seperti nilai-nilai, sikap, kepercayaan, orientasi, dan praduga mendasar yang lazim di antara orang-orang dalam suatu masyarakat.
Mereka memberi contoh dua Negara Ghana dan Korea Selatan yang pada tahun 1960-an awal menyebutkan betapa miripnya ekonomi keduanya. Mereka memiliki Produk Domestik Bruto per kapita (PDB) yang setara, porsi ekonomi mereka yang serupa di antara produk manufacturing dan jasa primer, serta berlimpahnya ekspor produk primer.
Pada`tahun yang sama, keduanya menerima bantuan ekonomi dalam jumlah yang seimbang. 30 tahun kemudian, Korea Selatan menjadi raksasa industrim dengan ekonomi terbesar ke-14 di dunia, sementara Ghana tidak ada perubahan sama sekali, bahkan PDB-nya seperlimabelas dari Korea Selatan. Kenapa ketimpangan dalam percepatan kemajuan kedua negara tersebut diatas bisa terjadi?
Disisi lain, perilaku koruptif dapat diartikan sebagai kecurangan, ketidakjujuran, ketidakdisiplinan, atau perbuatan-perbuatan buruk yang bertentangan dengan peraturan dalam kehidupan keseharian.
Perilaku koruptif, misalnya tidak tepat waktu, mencontek, dan perbuatan-perbuatan tidak disiplin lainnya. Memang terdengar sepele, namun perilaku koruptif jika tidak diatasi dapat menjadi cikal bakal korupsi di masa mendatang. Hal ini terjadi ketika seseorang mulai menganggap enteng pelanggaran. Ketiadaan pembiasaan baik dan benteng moral yang kokoh inilah yang dapat membuat seseorang dengan mudahnya melakukan korupsi.
Berbicara tentang budaya dan mentalitas koruptif di negeri ini. faktanya sudah makin parah. Mengutip pernyataan Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan (2023), menegaskan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia saat ini sudah masif, sistematis, dan terstruktur. Model korupsi masif, sistematis, terstruktur ini sudah merajalela dan mengena hampir semua kementerian, lembaga negara, BUMN, dan terjadi hampir di semua eselon.
Dalam konteks penegakkan hukum, kejadiannya idem ditto alias sama saja. Tindakan dan perilaku koruptif alias menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok, sudah menjadi bagian dari budaya dan mentalitas hampir sebagian besar para Penegak Hukum di negeri ini.
Kepercayaan masyarakat kepada hukum sudah makin menipis. Keadilan yang diharapkan dan diimpikan, sering berubah menjadi ketidak-adilan. Lembaga penegak hukum yang semestinya menjadi "benteng" keadilan dan kejujuran hati nurani masyarakat, telah dibelokkan maknanya secara faktual oleh oknum2 aparat penegak hukum yang hanya mementingkan diri sendiri atau atas "pesanan" pihak luar bahkan diintervensi secara vulgar.
Tak pelak lagi, kita saat ini sedang memasuki situasi, kondisi dan fase "darurat hukum & keadilan". Fase dimana Pemerintah bersama segenap jajaran penegak hukum di negeri ini harus melakukan introspeksi dan evaluasi menyeluruh terkait implementasi penegakkan hukum yang adil dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Diperlukan goodwill, keteladanan, SDM berintegritas, memiliki ketegasan & keberanian, serta sistem pengawasan yang kuat dalam penegakkan hukum untuk semua orang yang melanggar hukum di negeri ini.
Hukum secara filosofis, tak memandang jabatan, kekuasaan dan kekayaan. Frasa semua warga negara sama dihadapan hukum (equality before the law) dan hukum menjadi Panglima harus benar2 diwujudkan tanpa diskriminatif. Konsep negara hukum alias "rechtsstaat" bukan cuma "macan kertas" yang membuai relung nurani rakyat dan justru berubah wujud menjadi negara kekuasaan alias "machtstaat".
Konsep penegakkan hukum yang berkeadilan (fair law enforcement) harus dikonkritkan secara konsisten dan konsekwen oleh segenap Penegak Hukum di negeri ini. Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana sila ke 5 Pancasila, tidak hanya untuk berkeadilan dalam bidang ekonomi, namun untuk seluruh dimensi kehidupan berbangsa & bernegara, khususnya dibidang penegakkan hukum!
Bekasi, 28 Desember 2024
Komentar
Posting Komentar