POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

 "Tidak pernah ada bentuk tirani yang lebih besar apabila membandingkannya dengan yang telah dilakukan di bawah perlindungan hukum dan melakukannya dengan atas nama keadilan.” Montesquieu (1689 - 1755 M)

Pemilu dan Pilpres 2024 baru saja usai. Kita semua masih menunggu hasil perhitungan suara final dan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Sesuai aturan UU Pemilu, hasil final Pemilu dan Pilpres 2024 akan diumumkan secara resmi oleh KPU pada 20 Maret 2024. Namun, kisruh dan dugaan kecurangan atas hasil Pemilu dan Pilpres 14 Februari 2024 makin marak dan bergaung di media2 arus utama (mainstream) dan media sosial. 

Kubu peserta Pemilu dan Pilpres yang "dinyatakan" kalah atau mendapatkan suara dibawah harapan dan target oleh hasil perhitungan cepat alias "Quick Count" tak menerima. Mereka mengumpulkan dokumen2 valid kecurangan di lapangan untuk menjadi bukti saat melakukan gugatan hukum ke MK bahkan ke DPR-RI jika jadi dilakukan proses politik hak angket.

Peristiwa2 dan kejadian tentang hasil perhitungan suara Pemilu dan Pilpres selalu saja menjadi "tradisi" usai pelaksanaan Pesta Demokrasi di negeri ini. Namun, ketidakpuasan oleh pihak atau kubu yang "kalah" sesuai hasil QC bahkan oleh pengumuman resmi KPU tersebut bak kata pepatah "anjing menggonggong, kafilah terus berlalu". Artinya, kekisruhan dan kehebohan kecurangan tersebut berakhir pada Putusan lembaga peradilan MK dengan penolakan atau cuma melakukan pencoblosan ulang di beberapa TPS yang dinyatakan MK sebagai proses tak valid dan tak sesuai prosedur.

Umumnya, hasil QC dengan hasil perhitungan resmi KPU berjajar hampir sama alias tak jauh berbeda. Lantas, kenapa gaung kecurangan selalu bergema dan berakhir dengan putusan penolakan atau tetap "memenangkan" sang Pemenang Pemilu dan Pilpres oleh MK?

POLITIK BER-ETIKA

Adagium kuno "Politik memang kotor", "Politik menghalalkan segala cara" dan seterusnya, sudah terinternalisasi dalam "mindset" publik, bahkan kaum Politikus. 

Seolah-olah melakukan pembohongan publik, umbar janji2 absurd dan pencitraan2 bodong sudah menjadi tradisi lumrah bahkan "wajib" oleh para pencari kekuasaan ini menjelang Pemilu dan Pilpres. 

Urusan etika, moralitas, keadaban, kepantasan dan fatsoen yang menurut akal sehat adalah penting dan menjadi "common sense", dianggap sebagai sesuatu yang sudak kuno dan tak perlu dipraktikkan. 

Berpolitik, sepanjang mematuhi aturan hukum ataupun hukum dipreteli atau dirubah demi kepentingan politik dan mengikuti proses & mekanisme normal, adalah sebuah kewajaran dan keniscayaan.

Itulah yang dipertontonkan sekelompok Politikus kita secara terang2an tanpa ada rasa malu bahkan takut. Bagi mereka, politik adalah proses yang butuh "kejahatan" dan tindakan2 melawan norma2 etika publik. Tanpa melakukan cara2 yang anti etika dan keadaban, maka tujuan yang dicita-citakan tak akan terwujud.

Tak peduli banyaknya gugatan, protes bahkan kritikan keras dari banyak kalangan di masyarakat, termasuk kaum intelektual-akademisi kampus yang notabene sangat objektif, ilmiah dan non partisan, mereka tetap saja melaju dengan strategi antitesa yang memalukan tersebut. 

Himbauan demi himbauan dan kritikan pedas tak membuat mereka berubah. Mereka justru bergeming bahkan mencari pembenaran dengan menyalahkan setiap teguran dan himbauan moralitas tersebut.

Sungguh kaum elite Politik kita sudah memiliki paradigma berpolitik yang salah arah. Mereka merasa benar dengan menjadikan program2 negara untuk kepentingan seluruh rakyat, demi pencapaian target politik tertentu.

Pemimpin yang dihasilkan oleh proses2 politik yang tak ber-etika dan antitesa terhadap logika dan hati nurani publik, akan berdampak kepada model kepemimpinan yang pragmatis demi keberlanjutan kekuasaan dimasa depan. Setiap program kerja akan selalu memiliki aspek tersembunyi alias "hidden agenda" yang menguntungkan kepentingan kelompok. 

Padahal, puncak proses politik adalah model kepemimpinan berkarakter negarawan yang berkontribusi untuk seluruh rakyat. Namun, dikarenakan proses meraih kekuasaan sudah terkontaminasi "virus" kepentingan dan kecurangan, maka sang Pemimpin sudah pasti akan membuat keputusan2 publik yang tak lagi objektif & memberikan dampak keadilan untuk semua orang.

Pemimpin itu Teladan. Pemimpin itu Panutan & wajah dari sebuah negeri. Keteladanan atas  karakter, sikap dan perilaku Pemimpin yang buruk, akan memberikan pengaruh besar kepada bangsa, negara dan generasi muda. Keburukan kepemimpinan yang dihasilkan oleh sistem politik kotor yang menghalalkan segala  cara ala "Machiavellian" akan menjadi teladan turun-temurun kepada generasi muda bangsa yang nantinya akan menerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa.

Walhasil, bangsa dan negara ini hanya selalu "berjalan ditempat" bahkan tak akan pernah menjadi negara maju, adil dan sejahtera sebagaimana diimpikan oleh kita semua.

Jargon2 cita2 menjadi Indonesia Emas di tahun 2045 bisa jadi hanya Jargon politik semua tanpa roh dan tanpa makna yang berarti bagi generasi muda. Kita lebih suka mengumbang jargon2 setinggi langit penuh impian dan harapan absurd, namun tak dibarengi dengan perubahan pola pikir (mindset), karakter, perencanaan, strategi dan implementasi yang baik, benar dan penuh komitmen jujur untuk kemajuan dan kejayaan bangsa.

Bekasi, 27 Februari 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)