ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

 "Ingat, demokrasi tidak pernah bertahan lama. Ia segera menjadi sia-sia, kehabisan tenaga, dan mematikan dirinya sendiri. Belum pernah ada demokrasi yang tidak melakukan bunuh diri.” - John Adams

    Fenomena koalisi besar yang dikomandani Koalisi Indonesia Maju (KIM) telah menjadi trend politik baru di negeri ini. KIM yang menjadi pendukung Prabowo-Gibran sampai terpilih sebagai Presiden  & Wakil Presiden RI 2024 - 2029 telah menjadi sebuah Koalisi besar yang beranggotakan setidaknya 7 (tujuh) Partai Politik bahkan akan terus bertambah. 

    Model Koalisi super alias KIM Plus dengan merangkul dan mengajak semua parpol (khususnya Parpol yang lolos di Parlemen Pusat) menjadi bagian dari Rezim Berkuasa telah menjadi sebuah keniscayaan. Makin banyak anggota Koalisi, makin mudah menjalankan Pemerintahan dan Kekuasaan. 

    Parpol yang berada diluar Koalisi dianggap sebagai "pengganggu" jalannya Pemerintahan. Oposisi dinilai sebagai anti peguasa. Padahal, Oposisi adalah bagian tak terpisahkan dari sistem Demokrasi (Dahl, 1971). Walhasil, terbentuk semacam "Mafia" dalam konstelasi politik. Sebuah "Geng Politik" yang mencengkeram semua sistem dan aturan politik di negeri ini. 

    Sebuah sindikasi politik yang memberangus tatanan demokrasi yang sedang dibangun. Bahkan, menghambat dan menutup peluang banyak kandidat untuk menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

HAPUSKAN ATURAN 20%

    Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada pada Pasal 40 ayat (1) mengatur secara spesifik syarat parpol atau gabungan parpol dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pileg DPRD.

    "Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan," bunyi Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada.

    Aturan ini sungguh sangat memberatkan bagi Partai Politik untuk bisa mengajukan calon dalam Pilkada Gubernur, Bupati atau Walikota. Dengan kompetisi pemilu legislatif yang sangat ketat dan membutuhkan banyak strategi dan pendanaan, tak banyak Parpol meraih batas min 20% di DPRD Provinsi, Kota dan Kabupaten. Walakin, membuat Parpol2 membentuk Koalisi untuk memenuhi persyaratan 20% untuk mengajukan calon Pemimpin di daerah. 

    Orientasi Pilkada untuk memberikan kepada rakyat, yakni banyak calon pilihan terhambat bahkan tertutup. Ditambah lagi dengan fenomena Koalisi besar alias KIM Plus yang digagas "Gang Politik" Prabowo Cs yang mengajak, merayu dan mengiming-imingi Parpol untuk mendapatkan kursi di Pemerintahan. Pragmatisme Parpol dalam menjalankan politik praktis tak bisa dibendung lagi. Program2 dan Idealisme Parpol sebagai sarana memunculkan calon2 dan kader2 Pemimpin bangsa, tereliminasi oleh kepentingan politik jangka pendek. 

    Dengan model Koalisi besar yang "menyedot" semua parpol ke dalam sebuah "Mafia Politik" ini, berdampak langsung terhadap kuantitas dan kualitas calon Gubernur, Walikota dan Bupati. Dengan makin sedikitnya peluang dan "terkoordinasinya" pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota, akan memunculkan tawar-menawar politik yang bersifat transaksional. 

    Hanya calon2 tajir, nepotisme dan punya "bohir" yang bisa maju di Pilkada. Urusan kualitas dan kompetensi adalah hitungan kesekian dalam pencalonan. Padahal kualitas dan kompetensi adalah syarat paling penting untuk menjadi Pemimpin.

    Contoh teranyar adalah Anies Baswedan yang memiliki elektabilitas tertinggi berdasarkan hasil survey di wilayah Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Anies terganjal aturan persyaratan 20% yang tak diraih oleh PKS. PKS harus mencari Parpol lain untuk berkoalisi agar terpenuhi persyaratan 20% tersebut. 

    Ironinya, Parpol2 yang sesungguhnya bisa menjadi bagian Koalisi untuk pencalonan Anies menjadi Gubernur Jakarta, bak biduk oleng di tengah lautan yang wara-wiri dirayu habis oleh Koalisi Besar KIM untuk mencalonkan Ridwan Kamil (RK). Bahkan PKS sebagai Parpol yang selama ini dihormati dengan keteguhan prinsip dan integritas politiknya, mulai tergoda "rayuan pulau kelapa" KIM Plus tersebut. 

    Peluang Anies yang notabene memiliki kans sangat besar berdasarkan hasil survey elektabilitas tersebut tentu makin tak jelas bahkan bisa hilang. Padahal hasil survey elektabilitas menunjukkan aspirasi rakyat pemilih yang riil untuk memilih siapa calon Pemimpin mereka dimasa mendatang.

     Politik kita telah terjebak sistem dan mekanisme yang membuat Parpol2 hanya mendapatkan kekuasaan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan proses kaderisasi calon2 Pemimpin bangsa dimasa depan. 

    Negeri yang memiliki penduduk lebih 270 juta jiwa ini telah terkungkung dengan aturan yang menghambat peluang anak2 bangsa potensial dan visioner untuk tampil memberikan kontribusinya dalam mensejahterakan rakyat. 

    Regulasi dan sistem politik yang menafikan calon2 berkaliber dan berkualitas melalui pembatasan 20% raihan kursi di DPRD harus segera direvisi. 

    Demokrasi yang memberikan seluas-luasnya kepada rakyat untuk bisa mendapatkan calon pemimpin bangsa yang aspiratif, telah ditutup oleh aturan2 yang hanya menguntungkan segelintir Partai Politik. 

    Pemimpin adalah Individu yang berkualitas, berintegritas dan kompeten. Pemimpin bukan manusia hasil tawar-menawar dan lobby2 politik transaksional.

    Kembalikan hak rakyat untuk bisa memiliki banyak calon pemimpin pilihan, agar sang Pemimpin mendapatkan dukungan moril yang sesungguhnya. 

    Egosentrisme Parpol2 yang memiliki hak dalam membuat UU bersama Pemerintah harus mulai lebih mendengarkan aspirasi terdalam dari rakyat. Negeri ini sedang membangun sistem demokrasi aspiratif yang mengakomodir harapan2 rakyat, setelah terpuruk habis 32 tahun oleh rezim otoriter-diktator. 

    Cita2 Reformasi 1998 harus selalu diingatkan dan digaungkan kembali, agar semua Politikus dan Elite bangsa ini memilki kesadaran nasionalisme yang membangkitkan jiwa demokratis.

    Jangan "paksa" rakyat dengan drama pilkada yang membuat calon tunggal (Cagub, Cabup atau Cawako) melalui Koalisi besar yang monopolis melawan kotak kosong. 

    Sungguh sangat menyedihkan dan memprihatinkan, jika Parpol2 sebagai Pemain Utama dalam menggerakkan sistem demokrasi di negeri ini telah memarjinalkan aspirasi mayoritas rakyat, demi kepentingan politik jangka pendek yang tak memberikan kemanfaatan jangka panjang dalam membangun sistem demokrasi yang dicita-citakan di negeri ini oleh bangsa kita.

Bekasi, 11 Agustus 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)