TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

 "Ukuran impian Anda harus selalu melebihi kapasitas Anda saat ini untuk mencapainya. Jika impian Anda tidak membuat Anda takut, itu tidak cukup besar" - Ellen Johnson Sirleaf.

    Anies, tokoh paling "kontroversial" dalam perpolitikan di Indonesia saat ini, batal menjadi Calon Gubernur DK Jakarta. Sebuah jabatan sangat strategis menuju Pilpres 2029. Jabatan yang mampu melambungkan seseorang untuk bisa memimpin negeri ini dimasa mendatang. Jakarta memang sebuah "Indonesia Mini" yang dipenuhi warga dari beragam suku bangsa, rasa dan agama yang ada di Indonesia.

    Anies, dikepung 12 Partai Politik dan gagal dicalonkan oleh PDI-P yang ditunggu tunggu pendukungnya. Dinamika dan lobby2 politik yang lebih mengutamakan "siapa mendapatkan apa", telah menelantarkan idealisme, aspirasi, prinsip dan cita2 politik dalam sebuah tataran demokrasi di negeri ini. Apalagi Anies masih dianggap sebagai ancaman nyata 2029! "Monster" yang bernama Anies, harus dihambat bahkan ditutup peluangnya dengan segala cara untuk maju di Pilkada 2024. Waktu 5 tahun sangat lebih dari cukup untuk kembali membangun citra baru dan memperkuat akar rumput alias "grass root" politik masa depan.

    Anies terombang-ambing bak kapal mati mesin dan diterpa gelombang tinggi di tengah samudera luas politik Indonesia. Secara faktual, Anies bukan sosok kaleng2. Anies, seorang tokoh yang diinginkan 37% warga Jakarta dengan elektabilitas tertinggi untuk menjadi Gubernur Jakarta. Anies akhirnya batal dicalonkan oleh PDI-P, karena perbedaan motif dan platform politik jangka panjang. 

    Kegagalan Anies Baswedan yang sejatinya adalah manusia cerdas, jujur, pro rakyat dan visioner tersebut, sesungguhnya sebuah kehilangan besar dalam pentas politik Indonesia menuju masa depan. Kita telah menyia-nyiakan bahkan menelantarkan sosok ideal untuk menjadikan Jakarta bahkan Indonesia bisa setara dengan negara2 maju di dunia. 

    Beliau tak pelak lagi sangat diakui di dunia internasional dengan segudang prestasi yang membanggakan. Sayangnya, kepentingan2 pragmatisme politik yang berkelindan dengan cengkeraman oligarki politik yang berwatak dinasti-nepotisme, telah menghancurkan tataran sistem demokrasi yang seharusnya mengutamakan aspirasi dan harapan mayoritas rakyat. 

    Partai2 Politik beserta Koalisi yang dibentuk, lebih menjadikan politik sebagai sebuah wilayah persekongkolan politik jahat untuk kepentingan jangka pendek yang absurd dan menafikkan suara2 yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

    Walhasil, terjadilah sebuah tragedi politik yang tragis dan ironis, dimana Parpol atau Koalisi Parpol bisa bahkan telah menghambat dan menutup peluang kandidat terbaik berdasarkan hasil survey sejumlah lembaga politik yang hampir semua menghasilkan kandidat2 utama pilihan mayoritas rakyat. 

    Rakyat dibuat tak berdaya, karena penentuan dan penetapan calon2 Gubernur, Bupati dan Walikota, sepenuhnya diatur dan ditetapkan oleh Partai2 Politik atau Koalisi Parpol sebagaimana diatur UU. 

    Telah terjadi "mafia" politik kelas tinggi yang penuh dengan "deal2" politik jangka pendek untuk kepentingan kelompok2, bukan untuk kepentingan rakyat pemberi mandat dan amanah, sebagaimana cita2 awal sistem demokrasi dibentuk pada era aufklarung dengan tokoh utamanya Filsuf John Lock dan Montesquieu dengan Trias Politika yang sangat terkenal itu.

TIRANI PARTAI POLITIK

    Tirani terkehendaki ketika kekuasaan absolut diberikan kepada penguasa elit dalam pemerintahan. Tirani politik membuat penguasa cenderung menjadi korup dan menggunakan kekuasaannya untuk memajukan kepentingannya sendiri daripada bekerja untuk kebaikan bersama.

    Secara garis besar, tirani politik ini mengintimidasi rakyat yang ikut serta andil dalam menyuarakan perwujudan kedaulatan untuk tidak melawan partai politik sebagai setir pemerintahan jika memang benar terjadi hal hal buruk nantinya. Hak masyarakat yang non partisan akan terlihat kecil di mata para elit politik.

    Aturan hukum yang tercipta pada dasarnya adalah  sebuah prinsip, tidak seorang pun dibebaskan dari prinsip hukum itu sendiri, bahkan mereka yang berada dalam posisi berkuasa sekalipun dalam pemerintahan.

    Kecenderungan yang terjadi adalah aspirasi rakyat sepertinya sengaja diabaikan dan nyaris tidak dilibatkan dalam rangkaian proses seleksi penetapan calon kepala daerah. Artinya, ada kesan cuma parpol saja yang punya wewenang dalam proses tersebut dan aspirasi rakyat tak perlu dilibatkan.

    Disinilah terlihat parpol menjelma menjadi institusi demokrasi yang berlagak jadi tiran. Dengan penuh arogansi, parpol tak perduli apakah calon yang mereka tetapkan memang sudah cukup pantas dan selaras dengan keinginan aspirasi rakyat.

    Jika demikian, lantas dimana letak kesejatian kedaulatan politik rakyat yang selalu diagungkan oleh demokrasi, jika dari awal sudah direduksi sedemikian rupa oleh tirani partai politik?

    Dalam konteks ini, bakal calon yang berani menawar paling tinggilah yang kemungkinan besar akan ditetapkan sebagai calon terpilih. Sebagai implikasinya, tak jarang calon terpilih tersebut adalah orang yang sebelumnya sama sekali tidak masuk nominasi.

    Besarnya hasrat pragmatisme parpol ini bisa dilihat sebagai implikasi dari identitas parpol yang bersifat non-profit oriented, sehingga tidak mampu berdikari menghidupi dirinya sendiri. 

    Karena itu, dengan jatah waktu berkuasa yang relatif singkat yang hanya lima tahun, parpol cenderung menuntut para anggotanya yang menjadi pengurus negara untuk “mengejar setoran”. 

    Semua itu dilakukan demi keberlanjutan dan keberlangsungan hidup parpol terkait. Atas dasar itu itu pula, parpol terus memanfaatkan pengaruhnya untuk mendorong agar para anggotanya menduduki posisi-posisi strategis di legislatif, eksekutif dan bila perlu juga di yudikatif.

    Yang lebih menggelikan lagi, belakan ini ada beberapa parpol yang berlagak idealis, berkoar-koar mengharamkan uang mahar dalam penentuan calon di pilkada. Secara empiris, sepertinya sulit untuk mempercayai apa yang dikampanyekan oleh parpol tersebut. 

    Karena sudah galib dan menjadi rahasia umum, bahwa didalam kehidupan politik yang banal dan pragmatistik dewasa ini, nyaris tak ada ruang yang dialokasikan untuk nilai-nilai ideal seperti kejujuran, ketulusan dan moralitas. Ditambah lagi ada sebuah adagium yang mengatakan, bahwa “tak ada makan siang yang gratis”.

    Soal tirani parpol ini sesungguhnya bukan semata alasan mentalitas. Ternyata selama ini keberadaan regulasi juga sangat mendukung untuk menciptakan tirani Parpol tersebut.

    Seperti diketahui, semenjak era reformasi, amandemen UU Pemilu dan Parpol telah merubah “Kedaulatan Rakyat” menjadi “Kedaulatan Partai Politik”. Pasal 6 A ayat 2 dan pasal 22 E ayat 3 Batang Tubuh UUD 1945 dinyatakan bahwa untuk menjadi Presiden/Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga pembuat peraturan dan pengawasan harus berasal dari Partai Politik.

    Mengapa pengelola negara menjadi hak monopoli parpol? Bahkan para menteri dan jabatan eksekutif penting lainnya pun seolah-olah adalah hak tunggal parpol. Tak salah lagi, telah terjadi monopoli “hak politik” oleh parpol yang justru direstui oleh regulasi yang ada, sehingga untuk menentukan dan mencoraki konstelasi kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini seakan-akan hanya menjadi hak parpol an sich.

    Padahal komponen bangsa tidak hanya parpol. Sebagai contoh, “calon independen” sebagai bagian dari perwujudan kedaulatan rakyat mestinya mendapat peluang yang sama dengan parpol. Tapi ironisnya regulasi dan aturan main yang dibuat oleh para politisi justru sepertinya (sengaja) dirancang menyulitkan calon independen bisa ikut berpartisipasi dalam hajatan Pilkada.

    Maka, diberbagai daerah muncul fenomena “calon tunggal” yang memicu polemik. Dengan penuh jumawa sebagian parpol menilai fenomena calon tunggal adalah sebuah keniscayaan dan merupakan kondisi alamiah yang tidak bisa ditolak, karena masyarakat sendirilah yang menghendakinya. 

    Jelas ini persepsi yang keliru, karena telah mendikte dan mendahului proses elektoral yang terjadi berikutnya. Karena belum tentu calon tunggal itulah yang sebenarnya disukai rakyat. Tapi kalau disukai oleh parpol pengusung itu sudah pasti.

    Idealnya, partai politik harusnya menjadi wadah untuk melakukan pendidikan politik dan menjadi teladan bagi rakyat awam, bagaimana berdemokrasi yang baik. Parpol juga harusnya menjadi inisiator sekaligus mobilisator dalam mengejawantahkan konsep-konsep politik dalam rangka mensejahterakan rakyat. Untuk itu, Parpol dituntut untuk memiliki konsistensi ideologi dan prinsip. Namun benarkah Parpol memiliki prinsip? 

    Pertanyaan ini menggelitik untuk dikonfirmasi. Karena Alexis de Tocqueville, sejarawan dan pemikir politik Prancis pernah mengatakan, bahwa ada banyak orang yang punya prinsip di partai-partai politik di sebuah negara, tapi sesungguhnya tidak ada partai yang punya prinsip.

    Begitulah, meskipun mungkin ada segelintir politisi yang masih memiliki idealisme dan prinsip, namun dapat dipastikan mereka itu tidak akan mampu mempengaruhi kekuatan mainstream dalam parpol yang hanya concern dalam perebutan dan mempertahankan kekuasaan.

    Bagaimanapun, tentunya tirani parpol dalam kehidupan demokrasi di negeri ini tak boleh terus dibiarkan makin merajalela, karena jelas itu sangat melecehkan nilai-nilai luhur demokrasi itu sendiri. Tirani parpol tersebut harus terus ditolak dan dilawan.

    Sebagai rakyat, mungkin tak banyak yang bisa kita perbuat untuk melawan tirani parpol tersebut. Namun setidaknya rakyat calon pemilih harus mulai membangun kesadaran dan kecerdasan untuk menyiasati kondisi ini. 

    Tidak seperti parpol, rakyat justru harus punya idealisme dan prinsip untuk melawan hegemoni parpol tersebut. Sudah saatnya rakyat mengatakan kepada parpol; “Boleh saja kalian punya perahu untuk diperjual belikan, tapi ingat yang memiliki lautan adalah rakyat!”.

Bekasi, 30 Agustus 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)