PERTARUHAN KESEJAHTERAAN PEKERJA 2025: ANTARA KENAIKAN UPAH VS KENAIKAN PPN 12% Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Dosen-Konsultan MSDM-HI, Ketua Umum ASPHRI & Pemerhati Ketenagakerjaan)

 "Kamu dapat berkompromi tanpa melanggar prinsipmu, tetapi hampir tidak mungkin untuk berkompromi ketika kamu mengubah prinsip menjadi ideologi." Jamie Dimon 

    Ada kabar gembira bagi kaum Pekerja/Buruh Indonesia menjelang akhir tahun 2024. Bak setetes air ditengah ganasnya gurun pasir perekonomian RI, Presiden Prabowo membuat keputusan cukup mengejutkan, kenaikan rata2 Upah Minimum 2025 sebesar 6.5%. 

    Rerata kenaikan ini jauh diatas rerata kenaikan Upah Minimum 2024 sebesar 3.7%. Menurut info resmi, Presiden, sebelum membuat keputusan tersebut, melakukan rapat terbatas dengan sejumlah perwakilan Serikat Pekerja terkemuka. 

    Tentu saja keputusan kenaikan rerata Upah Minimum tersebut membuat mayoritas kaum pekerja/buruh merasa senang, karena memberikan harapan agar kesejahteraan mereka beserta keluarga bisa lebih baik di tahun 2025.

    Jika kita telusuri sejak Pandemi covid-19 pada 2021, rerata kenaikan Upah Minimum 2025 secara nasional dinilai cukup signifikan. Namun disisi lain, kenaikan Upah Minimum tersebut, banyak membuat kaum Pengusaha "shock" dan tidak bisa menerima.  Hal ini dikarenakan situasi dunia usaha dan dunia industri (DUDI) yang masih belum bangkit sebagaimana mestinya. 

    Industri padat karya khususnya perusahaan2 garment dan tekstil adalah dunia usaha dan industri yang paling mendapat pukulan telak. Sudah pasti secara faktual, dikarenakan tingginya biaya produksi serta gempuran tekstil dan garment impor ilegal serta politik bisnis "dumping" yang diterapkan oleh Pebisnis luar negeri khususnya Tiongkok keluar negeri.

    Bagi kaum pekerja/buruh, walaupun ada kebijakan kenaikan Upah Minimum 6.5% pada tahun 2025, namun "hantu" kenaikan beragam biaya hidup mulai mengancam mereka, khususnya pekerja kelas bawah alias "blue collar worker". Apalagi jika dikaitkan dengan adanya kenaikan PPN 12%, kenaikan BBM & listrik yang berdampak langsung terhadap kenaikan harga sembako dan transportasi. 

    Pada akhirnya, margin kenaikan alias penyesuaian upah yang diterima pekerja setiap tahun secara riil tak memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan mereka beserta keluarga. 

    Dengan kata lain, kenaikan upah tahunan tak bisa menutupi laju kenaikan biaya hidup dan harga2 kebutuhan sehari-hari. Bahkan selisih prosentase kenaikan upah relatif lebih kecil dari prosentase kenaikan biaya hidup. Jika meminjam teori Robert Malthus (1766 - 1834), laju kenaikan upah buruh mengikuti deret hitung dan laju kenaikan biaya hidup mengikuti deret ukur. Artinya, laju kenaikan biaya hidup jauh lebih tinggi dibandingkan laju kenaikan upah.

    Lalu apa solusi yang bisa kita berikan agar kenaikan dan penyesuaian upah minimum dan gaji tahunan pekerja/buruh benar2 bisa mereka nikmati secara rill dan mampu meningkatkan kesejahtaraan secara signifikan, dan disisi lain Pengusaha tetap bisa melakukan bisnisnya tanpa "dihantui" aroma kerugian?

INTERVENSI PEMERINTAH

    Setiap menjelang akhir tahun, di Indonesia hampir selalu terjadi konflik klasik antara pekerja dan pengusaha, khususnya dalam penetapan Upah Minimum tahun berikutnya. Permasalahnya tidak pernah berubah dari waktu ke waktu,  upah minimum selalu diperdebatkan. Di satu sisi pengusaha menuntut kenaikan upah yang tidak terlalu tinggi, di sisi lain buruh menuntut upah yang layak untuk kesejahteraannya. 

    Konflik upah minimum kadang meluas menjadi kekisruhan yang merugikan masa depan investasi dan dunia ketenagakerjaan. Demo besar-besaran sering digelar dan efeknya kadang sampai pada tindakan anarkis.

    Formula kenaikan Upah minimum selalu berubah-ubah. Artinya, sampai sekarang Pemerintah bersama Asosiasi Pengusaha & Serikat Pekerja dalam wadah Tripartit belum menemukan formula ideal kenaikan upah minimum tahunan yang disepakati oleh semua pihak. 

    Tarik-menarik kepentingan antara Asosiasi Pengusaha dengan Serikat Pekerja selalu menemukan jalan buntu (deadlock) yang berakhir dengan dikeluarkannya SK oleh Gubernur sebagai solusi untuk sekedar mengejar target batas waktu (deadline) sebagaimana diamanatkan oleh UU.

    Tak pelak lagi, peran proaktif Pemerintah sebagai bagian penting Tripartit, khususnya sebagai katalisator yang bisa menengahi dan memfasilitasi dua kepentingan yang berbeda dalam penyusunan formula kenaikam upah minimum, tentu akan memberikan pengaruh signifikan. Peran Pemerintah sebagai "leader" dalam negosiasi tripartit di tingkat nasional maupun daerah, tidak saja berbuah solutif, namun juga intervensi aktif dalam mengambil peran dan tanggungjawab pembiayaan tinggi yang ditanggung oleh Pengusaha dan Pekerja/Buruh.

    Antisipasi beban biaya tinggi dalam aspek ketenagakerjaan yang ditanggung oleh Pengusaha selama ini, bisa berkurang bahkan diambil alih oleh Pemerintah, misalnya subsidi transportasi, susbsidi perumahan, subsidi pendidikan dan subsidi kebutuhan2 dasar (sembako) yang selalu menjadi momok biaya hidup kaum Pekerja/Buruh beserta keluarganya setiap tahun.

    Tuntutan kenaikan upah yang memang seharusnya terjadi setiap tahun dikarenakan penyesuaian atas "cost of living" adalah sebuah keniscayaan. Disisi lain, beban biaya produksi, tingginya kompetisi bisnis serta pembayaran pajak dan pungutan2 liar yang tak terkendali terhadap Pengusaha, harus juga menjadi perhatian utama pemerintah. 

    Maka dari itu, intervensi Pemerintah untuk mengurangi beban biaya bisnis dan operasional perusahaan tersebut, akan memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan beban biaya rutin Pengusaha.

    Kenaikan upah Pekerja/Buruh yang cukup signifikan, secara makro akan berpengaruh besar terhadap roda perekonomian dan pertumbuhan ekonomi secara nasional.

    Disisi lain, perlindungan dan pemberikan insensif serta kebijakan2 fiskal yang meringankan beban biaya Pengusaha, tentu akan berdampak kepada keberlangsungan bisnis masa depan.

    Terminologi "Upah Murah" Pekerja/Buruh Indonesia yang selama ini menjadi jargon untuk menarik kaum investor, sudah tak relevan lagi. Sistem Upah Murah akan berdampak luas kepada stagnasi peningkatan kecerdasan dan pendidikan anak bangsa serta makin memperparah kesejahteraan rakyat secara umum. 

    Hal ini tentu melanggar amanat alinea keempat Konstitusi Negara (UUD 1945) yang jelas2 dan nyata2 menyebutkan bahwa salah satu tujuan didirikan negara kesatuan Republik Indonesia adalah 

    Selain memajukan kesejahteraan umum, tujuan negara Indonesia yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah "Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta Mencerdaskan kehidupan bangsa".

    Sudah selayaknya Pemerintah tidak lagi berkonsep Tripartit yang sempit, dimana hanya mengikut sertakan Perwakilan Pengusaha dan Perwakilan Pekerja dalam menyelesaikan sengkarut ketenagakerjaan khususnya pengupahan, namun juga lebih "open minded" dengan mengajak dan mengikutsertakan beberapa pemangku kepentingan dunia hubungan industrial dan ketenagakerjaan seperti Asosiasi Praktisi HRD dan Akademisi sebagai Pihak2 yang bisa memberikan masukan pemikiran secara lebih objektif, efektif dan profesional.

Bekasi, 07 Desember 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)