DILEMMA KEKUASAAN EKSEKUTIF: POLITIK AKOMODATIF VS POLITIK OPOSISI Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

 "Ketika segala sesuatunya tampak berlawanan dengan Anda, ingatlah, sebuah kapal terkadang harus berlayar melawan arus, bukan mengikuti arus" - Matshona Dhliwayo

    Model, sistem dan disain politik di Indonesia saat ini masih mencari jatidiri yang sesuai dengan budaya dan aspirasi mayoritas rakyat. 

    Sejak tumbangnya era Orde Baru pada 1998 yang digantikan dengan era Reformasi yang berkonsep anti otoritarianisme dan diktatorisme, wujud asli sistem politik di negeri ini masih belum jelas. 

    Implementasi sistem Demokrasi belum berpedoman kepada nilai2 Pancasila sebagai dasar negara (ursprungnorm). Setiap Rezim memiliki penafsiran sendiri atas konsep Demokrasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 sesuai kepentingan dan tujuan kekuasaannya.

    Kisruh politik selalu saja bergejolak setiap 5 (lima) tahun setelah hasil Pemilu dan Pilpres diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Argumentasi kecurangan terstruktur, sistematis & masif (TSM) menjadi jargon rutin untuk setiap berakhirnya Pemilu dan Pilpres. 

    Hal ini tentu punya alasan tersendiri dan cukup "reasonable", karena setiap rezim yang berkuasa sebagai "incumbent" yang masih memiliki peluang memperpanjang kekuasaannya, berusaha dengan segala cara untuk memenangkan pemilu dan pilpres. Walhasil, kubu yang kalah merasa tidak puas dengan kekalahannya dan mengumpulkan semua bukti2 kecurangan untuk menjadi dokumen hukum dalam gugatan mereka ke Mahkamah Konstitusi (MK).

    Bagi kubu Paslon Presiden-Wakil Presiden Parpol yang sedang berkuasa (the ruling party), konsep Machiavellism menjadi landasan utama dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan. Sepanjang peraihan dan pemenangan kompetisi politik masih dalam koridor hukum yang berlaku, mereka menganggap tindakan politiknya sudah "legal & legitimate". Padahal aspek fatsoen alias etika, moralitas dan keadaban dalam budaya persaingan politik menjadi bagian paling penting untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi rakyat.

    Ujung sengketa politik, tentu saja akan diselesaikan secara hukum melalui lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana diatur UU. Apapun hasil putusan MK, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), semua warga negara wajib menghormati, mematuhi dan mentaatinya.

    Namun ironisme justru terjadi, setelah putusan hukum dikeluarkan MK. Para pelaku politik khususnya Partai Politik yang tadinya adalah lawan politik (political enemy), justru berbalik menjadi bagian dari lawan politik pemenang pemilu atau pilpres. 

    Mereka bergabung menjadi anggota Koalisi demi mendapatkan kursi di Kabinet atau alasan2 lain yang bersifat politis. Mereka lupa, bahwa "platform" perjuangan politik, visi, misi dan idealisme mereka pada dasarnya sudah pasti berbeda dengan koalisi lawan politik.

    Aspirasi, harapan rakyat pendukung, bahkan ideologi Partai dilupakan dan dikhianati demi mendapatkan jabatan politik yang menggiurkan. Mereka yang seharusnya bisa berada sebagai Oposisi yang berfungsi melakukan kontrol alias "check and balances" terhadap kekuasaan agar tidak disalahgunakan, malah berubah pikiran dan bertukar wajah menjadi bagian kekuasaan. 

    Alih-alih memperjuangkan kepentingan dan aspirasi pendukung, justru mereka terjebak ke dalam "mindset" politik dengan jargon "demi persatuan dan kepentingan bangsa" dan pragmatisme politik.

    Bagaimana menyikapi inkonsistensi Parpol agar tetap berada di jalur semula untuk memperjuangan harapan, aspirasi dan idealisme awal demi menjadi penyeimbang politik (oposisi) yang kritis-konstruktif?

PENTINGNYA PERAN OPOSISI

    Sejak era Reformasi 1998, aura demokrasi di Indonesia secara substansial memang telah berubah secara signifikan. Konsep anti-tesa atas segala hal yang berbau orde baru menjadi issue penting dan utama. Hal ini dibuktikan secara mendasar, dengan dilakukannya 4 (empat) kali amandemen UUD 1945 sebagai acuan hukum tertinggi dalam praktik berdemokrasi. Persepsi "Executive Heavy" pada UUD 1945 direvisi menjadi lebih ke "Legislative Heavy". Sejumlah kewenangan mutlak ditangan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan diharuskan mendapat persetujuan lembaga legislatif alias DPR-RI.

    Namun sayangnya, esensi kekuasaan dalam  4 (empat) kali amandemen UUD 1945 tersebut masih menempatkan Presiden sebagai kekuatan "super" yang memiliki kekuasaan besar untuk menggerakkan semua sumber daya yang ada secara struktural.  Jabatan Presiden masih tetap dalam posisi sentral dalam sistem kekuasaan di Indonesia. 

    Hal ini ditunjukkan dengan rangkap jabatan seorang Presiden sebagai Kepala Negara & Kepala Pemerintahan. Sebagai Kepala pemerintahan, seorang Presiden memiliki kekuasaan dan kewenangan tertinggi dalam manajemen pemerintahan negara. Disisi lain sebagai Kepala Negara, walaupun banyak berfokus kepada aspek seremonial kenegaraan, namun justru memiliki peran dan berpengaruh besar dalam melakukan intervensi politik. 

    Secara konstitusional, jabatan Presiden sebagai Kepala Negara justru berada diatas semua lembaga tinggi negara yang ada. Disinilah efek penyalahgunaan kekuasaan alias "abuse of power" bisa terjadi. Maka dari itu, penguatan peran Oposisi di Parlemen alias DPR-RI sebagai sarana kontrol "check and balances" bagi kekuasaan eksekutif, sungguh sangat diperlukan. Pemerintahan tanpa Oposisi yang kuat, sama saja dengan memberikan "karpet merah" kepada lembaga eksekutif untuk melakukan penyalah-gunaan kekuasaan (abuse of power) secara serampangan. 

    Revisi konstitusi yang awalnya bertujuan mereduksi kekuasaan Presiden agar tak terulang sistem otoritarianisme dan dikator di era Soeharto (1966 - 1998), ternyata tetap bisa disiasati dengan melakukan kooptasi lembaga parlemen oleh kubu Eksekutif. 

    Secara eksistensi, oposisi mungkin saja ada, namun secara kuantitas tak memiliki kekuatan signifikan untuk menekan bahkan mengontrol tindakan Presiden secara legal-administratif. Model penyelesaian "deadlock" di DPR-RI dengan sistem "voting", menempatkan Parpol atau Koalisi Oposisi di DPR-RI kalah dalam jumlah suara (minoritas).

    Walhasil lembaga Parlemen alias DPR-RI hanya berfungsi sebagai "lembaga stempel" yang mendukung hampir setiap kebijakan strategis yang dikeluarkan lembaga eksekutif.

    Sudah saatnya Parpol2 dan Koalisi Parpol yang kalah dalam Pemilu Legislatif untuk menyadari posisi kekalahan bukan harus selalu bergabung dengan Koalisi Pemenang Pemilu dan Pilpres. Argumentasi "demi persatuan dan kesatuan bangsa" harus dipahami secara lebih rasional, bukan karena alasan politis.

    Mengkritisi setiap kebijakan Pemerintah adalah sebuah tindakan mulia demi tetap menjaga arah, perilaku, strategi, visi dan misi Pemerintah tetap berada diatas rel yang benar untuk perbaikan dan kebaikan masa depan bangsa dan negara tercinta Indonesia.

    Setiap tugas, peran, fungsi dan tanggungjawab dalam setiap lini politik memiliki tujuan yang sama: Menjadi Indonesia dengan segenap sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) lebih baik, lebih sejahtera dan lebih maju  dimasa mendatang.

Bekasi, 13 April 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)