SETELAH GUGAT KECURANGAN PILPRES, MASUK KOALISI: NORMAL ATAU ABNORMAL? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)
"Jadilah seperti benih; jangan melihat kotoran yang dilemparkan kepadamu sebagai musuhmu, tapi sebagai tanah untuk bertumbuh" - Matshona Dhliwayo
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai "The Guardian of Constitution" telah mengeluarkan Putusan "Final & Binding" terkait gugatan sengketa Pilpres 2024. Hasil Putusan MK tersebut menolak semua gugatan Paslon 01 dan 03. Dari 8 (delapan) orang Hakim MK, 5 (lima) menolak dan 3 (tiga) "dissenting opinion". Artinya, secara hitungan jumlah suara, MK memutuskan menolak semua Gugatan dari para Pemohon.
Usai sudah perjalanan sengketa Pilpres 2024. Tak ada lagi jalur hukum untuk banding atau kasasi. Semua sudah final dan tuntas. Secara legal-formal, semua pihak wajib mematuhi & menghormati Putusan Hukum MK. Itulah wujud dari negara hukum (rechtsstaat). Hukum menjadi "Panglima".
Putusan Hakim MK tersebut menunjukkan titik klimaks penyelesaian perselisihan hasil Pilpres 2024. Bagaimanapun, penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini harus dijalankan sebagaimana mestinya. Jangan ada kekosongan kekuasaan alias "vacum of power".
Lantas, bagaimana peta politik setelah dikeluarkannya Putusan MK tersebut? Masihkan Pemenang Pilpres 2024 (Prabowo-Gibran) melanjutkan manuver "merangkul" semua lawan politik untuk bisa menjadi bagian Koalisi besar ataukah hanya memilih beberapa Parpol untuk hitung2an mayoritas di Parlemen?
KONSISTENSI POLITIK
Kompetisi politik dalam sistem demokrasi adalah sebuah keniscayaan. Demokrasi mengutamakan arus utama kuantitatif. Artinya, suara mayoritas menjadi acuan dalam pengambilan keputusan. Bisa jadi aspek musyawarah untuk mencapai kata mufakat menjadi landasan awal dalam pengambilan keputusan. Namun, jika terjadi "deadlock", metode pemungutan suara alias "voting" menjadi pilihan terakhir.
Kembali melihat perkembangan lanjutan atas hasil Pilpres 2024 yang sudah final, tantangan konsistensi dalam memposisikan diri sebagai lawan politik menjadi sebuah gambaran atas "dignity" Parpol ditengah-tengah rayuan hedonis kekuasaan.
Banyak Parpol2 yang kalah dalam Pemilu dan Pilpres tak berani mempertahankan konsistensi politik demi memperjuangkan visi, misi dan idealismenya. Terjadi ironisme politik dan kontradiksi abnormal jika lawan politik yang berjuang via jalur hukum untuk melawan kecurangan, lalu bergabung menjadi bagian Koalisi Pemenang Pemilu dan Pilpres 2024.
Harusnya, jika mereka telah menyatakan banyak kecurangan dalam meraih kemenangan Pemilu dan Pilpres oleh kubu lawan politik, konsistensi keberadaan sebagai Oposisi harus menjadi pilihan. Peran sebagai Oposisi yang berada diluar kekuasaan sungguh sebuah partisipasi aktif yang luhur dan mulia dalam mengawal penyelenggaraan kekuasaan.
Kekuasaan harus dikontrol. Kekuasaan cenderung disalah-gunakan. Kekuasaan itu memabukkan. "Power tend to corrupt, Absolutely power tend to absolutely corrupt" - Lord Acton. Makanya, sistem "check and balances" menjadi bagian paling penting sebagai penyeimbang kekuasaan. Jargon "bersama dalam kekuasaan" sebenarnya bagian strategik pemenang pemilu dan pilpres untuk bisa mulus tanpa hambatan dalam membuat kebijakan dan menjalankan program2 politiknya.
Makin banyak Parpol2 terserap dan terjaring menjadi bagian Koalisi Penguasa, makin melemahkan posisi dan peran lembaga parlemen sebagai alat kontrol konstitusional sebagai diamanatkan UUD 1945. Kita menunggu keberanian, konsistensi dan kehormatan Parpol2 yang kalah dalam Pemilu dan Pilpres untuk memilih menjadi Oposisi di Parlemen, agar terjadi keseimbangan kekuasaan.
Walaupun kata & aturan "Oposisi" tak disebut secara eksplisit dalam Konstitusi Negara, namun secara implisit memperlihatkan banyaknya tugas2 dan peran2 pengawasan dan kontrol parlemen terhadap setiap kebijakan lembaga Eksekutif. Amandemen UUD 1945 sampai 4 (empat) kali sejak era Reformasi 1998 menunjukkan keinginan kita semua untuk tidak lagi terjadi otoritarianisme dan diktatorisme ala rezim orde baru oleh Presiden. Model "Executive Heavy" telah bergeser menjadi "Legislative Heavy" dalam UUD 1945 sampai amandemen keempat.
Rakyat akan mendukung dan menghormati peran mulia kaum Oposisi di Parlemen yang selalu melakukan kontrol agar kekuasaan dilaksanakan sesuai aturan hukum, untuk kepentingan rakyat banyak dan tak melenceng ke arah kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Pragmatisme politik yang hanya bertujuan meraih kursi kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok, sejatinya telah mengingkari dan mengkhianati aspirasi politik rakyat. Kekuasaan politik yang diraih seharusnya benar2 didedikasikan untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. Jangan jadikan suara rakyat, hanya untuk "bancakkan" politik sekali dalam lima tahun. Jadilah penerima mandat dan perwakilan suara rakyat yang mampu menyuarakan dan mewujudkan keinginan rakyat banyak.
Sudah waktunya sistem demokrasi benar2 terkontrol, konsisten dan sepenuhnya mengabdi untuk kebaikan dan perbaikan bangsa ke depan. Amanat dan aspirasi rakyat dengan tumbangnya orde baru, secara eksplisit dan implisit menunjukkan bangsa ini tak ingin model kekuasaan "abuse of power" ala rezim Soeharto ditinggalkan dan diganti dengan model demokrasi yang anti otoritarianisme dan diktatorisme. Semoga.
Bekasi, 23 April 2024
Komentar
Posting Komentar