MENGGUGAT JABATAN PRESIDEN RI SEBAGAI KEPALA NEGARA & KEPALA PEMERINTAHAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

“There come a time when one must take a position that is neither safe, nor politics, nor popular, but he must take it because conscience tells him it is right” – Martin Luther King Jr.

 Benarkah kekuasaan Presiden RI sebagaimana diatur UUD 1945 sangat besar alias powerful? Jika mengacu dan membaca secara lebih seksama UUD 1945 mulai amandemen pertama sampai keempat (1999-2002), terlihat kekuasaan Presiden RI lebih berkurang dibanding UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen. 

     Meminjam istilah Prof. Dr. Ismail Sunny, SH.LLM (Pakar Hukum Tata Negara Univ Indonesia) dalam bukunya "Pergeseran Kekuasaan Eksekutif" (1983), maka kewenangan dan kekuasaan Presiden RI pada UUD 1945 sebelum amandemen sangatlah besar. Begitu kuatnya kekuasaan Presiden RI dalam sejumlah pasal di UUD 1945 sebelum amandemen tersebut, beliau mengistilahkan UUD 1945 sebelum amandemen sebagai Konstitusi yang Executive Heavy. Artinya, kekuasaan Presiden begitu besar dan kuat, berfokus kepada kekuasaan Presiden, mengakibatkan kontrol atas kekuasaan eksekutif oleh lembaga legislatif (DPR-RI) tak memberikan efek signifikan. 

         Berkaca dari pengalaman rezim era Orde baru yang otoriter (1966-1998) dimana Presiden Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan Kepala Negara & Kepala Pemerintahan, "mengoptimalkan & memaksimal" implementasi UUD 1945 yang Executive Heavy tersebut. Maka, salah satu agenda utama era Reformasi 1998 adalah melakukan amandemen UUD 1945 dengan memangkas kekuasaan besar jabatan Presiden dan memberikan hak serta kekuasaan yang lebih powerful kepada lembaga legislatif (DPR-RI). Diharapkan dengan amandemen tersebut, posisi dan fungsi DPR-RI sebagai lembaga pengawasan atas kerja Presiden, bisa diperkuat dan mengurangi kekuasaan besar Presiden yang bisa mengarah kepada abuse of power.

         Lantas, dengan 4 (empat) kali amandemen UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai 2002, kenapa kekuasaan Presiden RI sampai sekarang masih terlihat begitu besar dan kuat bahkan terkesan otoriter? Padahal, dengan empat kali amandemen UUD 1945, banyak sekali hak-2 dan kewenangan yang bisa memunculkan otoritarianisme seorang Presiden RI telah dipangkas dan harus mendapatkan pertimbangan bahkan persetujuan dari lembaga legislatif (DPR-RI).

         Mengutip buku "Mengapa Kita Harus Kembali ke UUD 1945?" karya Taufiequrachman Ruki dan kawan-kawan (2019), berikut ini adalah tanggal amandemen UUD 1945 1-4: 

 

1. Perubahan Amandemen UUD 1945 pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR, 14-21 Oktober 1999.

2. Amandemen UUD 1945 kedua ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR, 7-18 Agustus 2000.

3. Amandemen UUD 1945 ketiga dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR, 1-9 November 2001.

4. Amandemen UUD 1945 keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR 1-11 Agustus 2002.

         Lalu, apa dampak positif empat kali amandemen UUD 1945 terhadap perbaikan sistem demokrasi di Indonesia? Kenapa dengan dilakukkannya beberapa kali amandemen UUD 1945, kekuasaan Presiden sebagai lembaga eksekutif tetap kuat bahkan terkesan makin absolut dan otoriter?

 PRESIDEN CUKUP SEBAGAI KEPALA PEMERINTAHAN

         Dalam UUD 1945, Presiden memegang dua kekuasaan utama, yakni sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Masing-masing kekuasaan tersebut memiliki tugas dan tanggungjawab berbeda.

      Sebagai Kepala Negara, Presiden adalah simbol resmi negara Indonesia di dunia Internasional. Dasar hukum Presiden sebagai Kepala Negara adalah:

1. Pasal 4 ayat 1 UUD 1945: "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan                      pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar".

 

2. Pasal 10 UUD 1945: "Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara".

 

3. Pasal 11 ayat 1 UUD 1945: "Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain".

 

4.  Pasal 12 UUD 1945: "Presiden menyatakan keadaan bahaya".

 

5. Pasal 13 ayat 1 UUD 1945: "Presiden mengangkat duta dan konsul" 

 

6. Pasal 14 ayat 1 UUD 1945: "Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung".

 

7. Pasal 14 ayat 2 UUD 1945: "Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat."

 

8. Pasal 15 UUD 1945: "Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang"

     Sedangkan Dasar Hukum Presiden Sebagai Kepala Pemerintahan. Dimana Presiden dibantu Wakil dan Menteri-Menteri dalam Kabinet yang memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah sehari-hari adalah:

 1. Pasal 5 ayat 1 UUD 1945: "Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang               kepada Dewan Perwakilan Rakyat".

 

2. Pasal 5 ayat 2 UUD 1945: "Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya".

 

3. Pasal 17 ayat 2 UUD 1945: "Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden".

 

4. Pasal 20 ayat 2 UUD 1945: " Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama".

 

5. Pasal 20 ayat 4 UUD 1945: "Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang".

 

6. Pasal 23 ayat 2 UUD 1945: "Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah".

 

7. Pasal 24A ayat 3 UUD 1945: Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden".

 

8. Pasal 24C ayat 3 UUD 1945: "Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden"

         Memperhatikan dan mempelajari aturan2 yang memberikan kekuasaan yang masih besar dan memposisikan Presiden begitu kuat dalam UUD 1945 mulai dari periode sebelum amandemen sampai periode amandemen keempat UUD 1945, terlihat efek dan konsekwensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, juga makin besar. 

         Jika kita telisik konsep bernegara ala "Trias Politika" yang digagas Montesquieu (Filsuf Perancis 1689-1755) yang memisahkan tiga kekuasaan (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), seharusnya jabatan Presiden hanya berfokus sebagai Kepala Pemerintahan, bukan merangkap sebagai Kepala Negara. 

         Memberikan dua jabatan rangkap sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara kepada Presiden, justru tetap memberikan mandat kekuasaan besar yang berpeluang untuk melakukan abuse of power. Jabatan Kepala Negara sebagaimana diatur UUD 1945 melalui sejumlah pasal2nya, sungguh memberikan tambahan kekuasaan extra non-governmental kepada seorang Presiden. 

         Sebagai Kepala Negara, menurut 10 UUD 1945, Presiden RI memiliki kekuasaan tertinggi atas angkatan bersenjata atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terdiri atas Angkatan Darat, Laut dan Udara. Disamping itu, sebagaimana diatur pada Pasal 11 ayat 1 UUD 1945, disebutkan bahwa Presiden memiliki kekuasaan untuk menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Lalu Pasal 15 UUD 1945 menyebutkan, Presiden memiliki kewenangan penuh dalam memberikan gelar, tanda jasa, dan lain-lan tanda kehormatan. 

         Memisahkan jabatan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan adalah salah satu strategi untuk membuat Presiden tidak lagi memiliki kekuasan absolut yang bisa digunakan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. 

   Presiden cukup berfungsi dan bertugas sebagai Kepala Pemerintahan yang bertugas menjalankan roda pemerintahan negara sehari-hari dengan bermitra bersama DPR-RI sebagai lembaga yang melakukan pengawasan atas pemerintahan. 

  Adapun hak2 strategis sebagai Kepala Negara, seharusnya diberikan kepada lembaga MPR-RI sebagai wujud nyata representasi kedaulatan rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), dalam membuat setiap Keputusan atau ketetapannya,  dilakukan secara kolektif-kolegial dari Dewan Pimpinan MPR-RI yang terdiri dari perwakilan2 elemen2 utama di Masyarakat seperti perwakilan Partai Politik, Akademisi/Cendekiawan, Agamawan/Rohaniwan, Dunia Usaha & Dunia Industri (DUDI), dan unsur2 lain yang mewakili kepentingan Masyarakat banyak.

         Dengan demikian, kedaulatan tertinggi tetap berada ditangan rakyat yang dilaksanakan secara demokratis oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai wujud keterwakilan rakyat yang berdaulat dalam pengambilan keputusan2 strategis kenegaraan.

     Filosofi dan tujuan utama Sistem Demokrasi adalah melakukan kontrol ketat atas kekuasaan dan tak boleh ada satu lembaga tinggi negarapun yang memiliki kekuasaan besar dan absolut. Kekuasaan tetap harus terbagi secara proporsional, dengan tetap menempatkan keterwakilan rakyat dalam sebuah lembaga tinggi negara yang memiliki hak2 strategis untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Bekasi, 11 Maret 2024


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)