HINGAR-BINGAR POLITIK INDONESIA: MANIPULASI, KOALISI & KONSISTENSI Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Sosial & Hukum)
"Dalam dunia politik, kejujuran dan integritas seringkali menjadi komoditas langka, tapi bagi rakyat, itu adalah kebutuhan yang mendesak." Anonim
Politik di negeri ini, sejak era Reformasi 1998 telah memberikan warna baru untuk sebuah negara Demokrasi di Indonesia. Jika di era Orde Baru (1966-1998) praktik Demokrasi kita lebih bersifat sentralistik, otoriter dan diktator dengan "center of power" berada pada Soeharto sebagai Presiden, maka era Reformasi membalikkan keadaan dan sistem Demokrasi Indonesia menjadi anti sentralistik, anti otoriter dan anti diktator.
Harapan dan keinginan tersebut adalah hal wajar, karena lebih 30 tahun bangsa ini terkungkung dalam sistem politik yang tak membuka ruang kritikan dan memasung pendapat kritis rakyat kepada kekuasaan. Namun, lebih dari 25 tahun sejak bergulirnya era Reformasi yang penuh harapan pembaharuan sistem politik yang lebih demokratis itu, ternyata sampai sekarang tak kunjung terwujud.
Walaupun rezim silih berganti mulai BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono sampai Joko Widodo, arah Reformasi yang diimpikan bisa menjadi antitesa orba ternyata masih menjadi mimpi indah. Bahkan sejak era kepemimpinan Jokowi yang dimulai 2014, faktanya justru berujung kepada model neo otoritarianisme dan politik menghalalkan segala cara ala Machiavellian.
Model Politik manipulasi yang penuh dengan janji2 fatamorgana yang bernuansa PHP alias "Pemberi Harapan Palsu" marak di setiap sudut kampanye. Tipu2 politik yang tanpa malu mengumbar janji2 palsu yang terkadang absurd, menjadi "senjata" pemikat kaum jelata untuk bisa memilih mereka. Tak peduli janji2 tersebut bisa direalisasikan setelah duduk di kursi empuk legislatif ataupun eksekutif. Janji bisa tinggal janji, karena tak pernah ada kewajiban hukum untuk memenuhi, apalagi sanksi jika menjabat nanti.
Rakyat pemilih benar2 menjadi bancakkan murahan demi sebuah kursi kekuasaan. Makanya, bagi kaum politisi busuk, kebodohan dan kemiskinan adalah dua ranah bancakkan politik yang "lezat" untuk meraih mimpi menjadi wakil rakyat dan penguasa. Parahnya, budaya politik manipulasi ini menjadi sebuah tradisi "luhur" di kalangan elite politik dan diwariskan kepada generasi muda.
Politik manipulasi telah merusak moralitas, etika dan keadaban dalam sebuah proses politik di negeri ini. Sepanjang tak melanggar hukum, bahkan mempreteli pasal2 hukum demi sebuah dinasti politik, politik manipulasi menjadi sebuah hal lumrah dalam dunia politik.
Begitu pula dengan strategi koalisi yang menjadi budaya politik baru dalam memperkuat posisi kekuasaan. Pola koalisi menjadi sebuah keniscayaan, agar kekuasaan stabil dan kokoh. Politik koalisi sebenarnya hanya lazim dalam sistem pemerintahan parlementer, dimana parpol berkuasa berusaha merangkul sebanyak mungkin Partai2 yang berada di lembaga legislatif, agar setiap kebijakan dan keputusan seorang Perdana Menteri (PM) bisa mendapatkan "endorsement" di parlemen. Namun, model politik sistem presidensial yang berlaku di Indonesia, pola parlementer secara identik teradopsi sebagaimana diatur konstitusi UUD 1945.
Hampir setiap kebijakan strategis Presiden sebagai Pemegang kekuasaan Eskekutif tertinggi, harus setidaknya mendapatkan pertimbangan bahkan harus disetujui lembaga DPR-RI sebagai Parlemen. Tanpa strategi koalisi, Presiden terpilih belum merasa aman dan kuat dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan. Pola kooptasi parpol2 yang berada di parlemen harus dijadikan sebagai strategi "menguasai" lembaga perwakilan rakyat tersebut, agar rencana, strategi dan implementasi kekuasaan eksekutif bisa melenggang mulus sebagaimana tujuan yang diinginkan.
KONSISTENSI DAN KONTRAK POLITIK
Satu lagi, ironi politik praktis di tanah air adalah konsistensi dalam berpolitik. Banyak parpol2 dengan mudahnya beralih atau melupakan janji2 kampanye kepada pendukungnya setelah usai pemilu dan pilpres.Hal ini terjadi karena mereka lebih mengutamakan kepentingan partai dan diri sendiri dibandingkan janji2 politik yang sudah disebar dan menjadi harapan para pendukungnya.
Partai politik lebih mengutamakan pragmatisme kekuasaan dan jabatan dibanding "keukeuh" dalam memegang prinsip, ideologi partai, perbedaan visi & misi serta program kerja dengan pesaing dalam kompetisi politik.
Tawaran bergabung menjadi bagian koalisi parpol yang berkuasa atu pemenang pemilu dengan kompensasi menarik untuk mendapatkan kursi di kabinet, jauh lebih menggiurkan dibanding konsistensi memegang prinsip ideologi, visi, misi dan program kerja yang justru banyak bertolak belakang dengan ideologi, visi, misi dan program kerja kaum koalisi pemenang dalam pileg dan pilpres.
Pengkhianatan dan pengingkaran atas komitmen politik yang sudah mendapatkan legitimasi rakyat pendukung dalam pileg dan pilpres, begitu mudah mereka campakkan ke ruang hampa tanpa merasa berdosa. Walhasil, kredibilitas mereka langsung anjlok dimata para pendukung.
Namun ironisnya, kursi kekuasaan, khususnya jabatan Menteri di kabinet yang ditawarkan, justru membuat mereka lupa daratan dan menafikkan aspirasi para pendukung yang berharap banyak untuk bisa merubah keadaan agar bisa lebih baik.
Kampanye2 tanpa kontrak politik yang memiliki dokumen hukum kuat, memang telah membuat para Politisi begitu mudah mengumbar janji2 kosong demi meraih suara rakyat. Dimasa depan, diharapkan masyarakat sipil yang menjadi pendukung Parpol2 tertentu beserta para Politisinya harus membuat semacam kontrak politik yang mengikat dan memberikan sanksi tegas jika mereka nantinya melakukan pelanggaran komitmen sebagaimana disampaikan saat kampanye. Perjanjian tertulis yang memiliki dampak hukum, setidaknya bisa menurunkan kredibilitas Partai dan Para Politisinya pada pemilu dan pilpres 5 (lima) tahun kedepan.
Budaya dan tradisi kontrak politik secara tertulis antara pendukung dengan Parpol dan Politisinya, setidaknya akan memberikan pelajaran politik yang memberikan dampak signifikan dalam perbaikan sistem dan etika politik di Indonesia. Semoga.
Bekasi, 22 Maret 2024
Komentar
Posting Komentar