USAI PEMILU & PILPRES 2024: KONSISTENSI KOALISI ATAU OPOSISI? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)
"Tidak ada pemerintah yang bisa lama dan aman tanpa oposisi yang tangguh". - Benjamin Disraeli (Negarawan dan Penulis Inggeris: 1804-1881)
Pemilu & Pilpres 14 Februari 2024 sudah selesai. Berdasarkan hasil "Quick Count" dari 6 (enam) lembaga survey resmi yang mendapatkan rekomendasi resmi KPU, Paslon Prabowo-Gibran berhasil memenangkan Pilpres 2024.
Secara rerata, pasangan kontroversial yang penuh gugatan dari mayoritas kaum intelektual kampus ini mendapatkan suara sekitar 58%. Jauh melampaui Paslon 01 Anies-Muhaimin 24% dan Paslon 03 Ganjar-Mahfud 17%.
Sorenya pada hari pencoblosan 14 Feb 2024, Paslon 02 langsung sigap "merayakan" kemenangan bersama para pendukungnya di Istora Senayan Jakarta. Tentu saja langkah ini diprotes dan dipertanyakan oleh Paslon lain dan pendukungnya, karena penghitungan suara secara final dan resmi oleh KPU, baru akan dilakukan pada 20 Maret 2024.
Secara tradisi politik, selebrasi publik oleh Paslon 02 di Istora Senayan tsb normal, wajar dan sah2 saja. Itu hak mereka. Namun, melakukan selebrasi yang terkesan provokatif tersebut ditengah-tengah kegaduhan terkait banyaknya kecurangan hasil Pemilu dan Pilpres 2024, sungguh sebuah tindakan kurang elegan dan kurang menghormati perasaan pihak lawan politik.
Harusnya Paslon 02 bisa dulu menahan diri sampai hasil resmi final Pemilu dan Pilpres 2024 diumumkan oleh KPU.
Memang umumnya, hasil QC tak beda jauh dengan hasil resmi "real count". Namun, hal itu terjadi di negara Demokrasi yang menjunjung tinggi nilai2 kejujuran, keadilan dan keterbukaan dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilpresnya.
Untuk Pemilu dan Pilpres 2024 yang sudah terlaksana di negeri berpenduduk no 4 terbesar di dunia ini, dimulai dari "kelolosan" Gibran via putusan MK yang sudah dinyatakan melanggar etika dan Paman Usman dicopot sebagai Ketua MK, sudah membentuk paradigma dan persepsi "abuse of power" di masyarakat. Apalagi dengan pernyataan Jokowi yang nota bene sbg Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara yang seharusnya netral, malah dengan tegas dan lugas tanpa rasa malu menyatakan akan "cawe2".
Makin banyak kejadian2 dan kasus2 melawan kepatutan, keadaban dan etika publik bergulir dengan sewenang-wenang didepan publik tanpa rasa malu dan bersalah. Sampai kaum intelektual kampus bersuarapun, ditangkal dengan "statement2" pembenaran oleh para loyalis Jokowi di Istana.
Kaum Intelektual yang sangat objektif, ilmiah, berhati nurani itu disebut sebagai kaum partisan yang mendukung salah satu Paslon. Sungguh sangat memprihatinkan. Demokrasi telah di-acak2 dengan sewenang-wenang sesuka hati tanpa mempedulikan etika dan moralitas yang menjadi roh Pancasila.
WHAT'S NEXT?
Kembali ke hasil Pemilu dan Pilpres 2024, Pasangan Capres-Cawapres manapun yang menang, sudah pasti dua Paslon lain akan menjadi pihak yang kalah. Kalah dan Menang dalam sebuah pertandingan, adalah sebuah keniscayaan. Tak ada dan tak akan pernah ada "Juara kembar". Kita tunggu saja semua berproses sebagaimana mestinya.
Tim sukses Paslon 01 dan Paslon 03 sudah pasti akan berusaha mengumpulkan semua bukti2 yang ada untuk nantinya dibawa ke ranah hukum. Hanya proses hukum yang bisa merubah situasi dan keadaan. Kita tetap harus menjunjung tinggi hukum sebagai sarana penyelesaian sengketa.
Dalam konstitusi negara, jelas2 disebutkan bahwa negara kita adalah negara berdasarkan hukum. Hukum sebagai Panglima. Semua pihak harus wajib dan tunduk terhadap aturan hukum, termasuk putusan pengadilan.
UU Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) berbunyi : “Negara Indonesia adalah Negara Hukum".
Sebagai negara hukum, segala tindakan penyelenggara negara dan warga negara harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Inilah prinsip Demokrasi yang dianut dalam UUD 1945.
Pernyataan negara hukum ditandai dengan adanya lembaga yudikatif yang bertugas untuk menegakkan aturan hukum. Sebagaimana diatur dalam pasal 24 ayat 1 bahwa kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman ini dijalankan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya.
Sebagaimana tertuang dalam pasal 24 ayat 2, yaitu kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Namun, independensi dan kemandirian lembaga yudikatif di negeri ini masih sering dipertanyakan. Paling kontroversial adalah penambahan pasal pada Putusan MK terkait dengan pencalonan Presiden dan Wapres yang menguntungkan Gibran. Putusan hukum ini secara "telanjang" benar2 sangat norak dan menunjukkan lembaga yudikatif telah terkooptasi dan diintervensi oleh Kekuasaan. Apalagi sang Ketua MK tersebut adalah Paman dari Walikota Solo tsb.
Sekarang, mari kita tinggalkan peristiwa2 politik dan hukum di masa lalu yang sangat nyeleneh dan melukai perasaan keadilan masyarakat tsb. Kita lebih banyak berfokus kepada fungsi kontrol terhadap kekuasaan eksekutif.
Selama ini, sejak Orba sampai era Reformasi, fungsi kontrol lembaga Parlemen sangat lemah. Padahal salah satu peran dan fungsi penting Parlemen adalah melakukan kontrol atas jalannya Pemerintahan.
Sayangnya, kaum Politikus lebih tergiur dengan tawaran2 jabatan politik di Pemerintahan dibanding melaksanakan amanah rakyat pemilih untuk memperjuangkan aspirasi mereka. Para Politikus lebih suka mementingkan diri sendiri dan kelompoknya serta bermain "aman" alias "safety player".
Kekalahan dalam Pemilu dan Pilpres bukannya berani dan tangguh di posisi sebagai Oposisi, namun malah terkooptasi dan dikooptasi oleh Pemenang untuk menjadi bagian Koalisi.
Walhasil, posisi Parlemen lemah dan selalu saja manut dengan kebijakan2 Pemerintah yang tidak pro rakyat, bangsa dan negara. Mereka menjadi manusia2 "yesman" yang cuma bisa menyelamatkan diri sendiri dan kelompok. Mereka lupa dengan rakyat Pemilih!
Ayo kaum Politikus kalah! Beranilah menjadi kelompok Oposisi yang selalu menjadi penyeimbang dan pengontrol kekuasaan yang cenderung disalah-gunakan.
Peran dan fungsi Oposisi di Parlemen, sungguh sangat mulia. Mereka menjadi '"Malaikat" wakil Tuhan dan penyalur aspirasi rakyat menuju Indonesia berjalan di atas rel kebenaran, kejujuran dan kebaikan untuk meraih cita2 masa depan Indonesia nan Jaya.
Bekasi, 16 Februari 2024
Komentar
Posting Komentar