SISTEM DEMOKRASI: RAKYAT BERDAULAT, PEMIMPIN HANYA MANDAT Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)
"Jika manusia bijaksana, Pangeran yang paling sewenang-wenang tidak akan bisa menyakiti mereka. Jika mereka tidak bijaksana, Pemerintah yang paling bebas akan terpaksa menjadi tirani.” - William Blake
Sistem negara demokrasi memiliki prinsip kebebasan rakyat (People's Freedom). Sebuah kebebasan yang memiliki makna kontekstual, dimana rakyat bebas sesuai hati nurani memilih Pemimpin terbaik mereka.
Dalam negara Demokrasi, Kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat. Rakyatlah yang sesungguhnya berkuasa. Rakyatlah yang menentukan segalanya untuk kepentingan bersama. Namun, tentu rakyat membutuhkan seseorang yang siap diberikan amanah, mandat dan kepercayaan untuk menjadi Pemimpin yang membawa "kebersamaan" menuju tujuan bersama.
Maka dari itu, rakyat memilih siapa yang akan menjadi Pemimpin mereka. Pemimpin ada karena dipilih rakyat. Pemimpin dipilih, karena mayoritas rakyat percaya dan memberikan amanahnya kepada seseorang yang dinilai layak, pantas & kompeten.
Bak kata pepatah kuno Minangkabau: "Gadang waang dek digadangkan urang, jaan ongeh". Artinya, Anda menjadi Pemimpin, karena orang2 yang mengangkat dan memberikan mandat & kepercayaan. Jadi janganlah sombong dan lupa daratan.
Dalam adat dan budaya Minangkabau yang sangat egaliter, strata sosial seorang Pemimpin itu hanya sedikit lebih tinggi dari rakyat kebanyakan.
Pemimpin itu harus dekat dengan rakyatnya.
Kata bijak nenek moyang Minangkabau: "Pemimpin itu hanya ditinggikan sarantiang, didahulukan salangkah". Artinya, menjadi Pemimpin itu hanya diberikan ketinggian satu ranting dari kelompoknya (ibarat pohon), dan berjalan (bersama-sama) hanya didahulukan satu langkah saja.
Kalimat tersebut diatas bermakna, seorang Pemimpin itu harus bisa "dijangkau" untuk ditegur langsung oleh rakyat yangmemilihnya.
Makanya, seorang Pemimpin hanya dilebihkan satu jarak saja. Hal ini penting, agar jika sang Pemimpin yang menerima amanah itu jika bersalah atau melanggar adat atau aturan, bisa segera "dijewer" untuk selalu berada diatas rel kebenaran dan kebaikan untuk membawa pengikutnya ke arah yang benar.
Hal ini sangat berbeda jauh bahkan bertolak belakang dengan sistem Kerajaan alias monarki. Dalam negara bersistem monarki, kekuasaaan tertinggi berada ditangan Raja. Raja memiliki kekuasaan absolut. Tak ada pihak manapun yang bisa menegur sang Raja jika salah dalam menjalankan Pemerintahan. Semua yang dilakukan Raja adalah sebuah keniscayaan, sebuah kewajaran, bahkan sebuah perilaku religius yang turun atas perintah langit.
RAJA Louis XIV dari Perancis pernah menyatakan kepada anggota Parlemen Paris pada 13 April 1655, L’etat c’est moi (negara adalah saya). Louis XIV merupakan penguasa absolut yang menganggap dialah penguasa tunggal yang harus dipatuhi.
Pernyataan tersebut menyulut gerakan perlawanan rakyat terhadap sang raja yang absolut dan menimbulkan Revolusi Prancis dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternite (kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan).
Keberadaan sistem Monarki bisa jadi karena sekelompok orang mengkultuskan seseorang karena keyakinan mistis ataupun memang terbentuk karena sekelompok orang yang memiliki kekuatan fisik membentuk sebuah dinasti kekuasaan di sebuah wilayah tertentu (Wagner, 1987).
Negeri Nusantara tercinta yang berlandaskan Filosofi mulia-agung Pancasila ini bukanlah negara bersistem monarki absolut. Sistem bernegara di Indonesia yang berbentuk Demokrasi, tertulis jelas dalam Konstitusi Negara UUD 1945 Pasal 1 ayat 2: "Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".
Selain itu, wujud nyata negara Demokrasi, juga bisa dilihat pada Pasal 6A UUD 1945 yang mengatur Pemilihan Presiden dan Wapres secara langsung, Pasal 18 ayat 3 dan 4 yang mengatur pemilihan anggota2 DPRD Provinsi, Kota dan Kabupaten serta pemilihan Gubernur, Walikota dan Bupati. Pasal 19 ayat 3 tentang pemilihan anggota DPR-RI serta Pasal 22C ayat 1 yang mengatur pemilihan anggota DPD-RI.
PEMIMPINMU MENUNJUKAN SIAPA KAMU
Kembali ke sistem Demokrasi yang dianut RI, maka para Pemimpin negara dipilih oleh rakyat secara demokratis, yang secara teknis diatur dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Maka dari itu, pilihan Pemimpin hasil Pemilu, Pilkada dan Pilpres, adalah wujud dari amanah dan mandat rakyat yang memilih. Aspirasi rakyat terserap dari hasil pemungutan suara. Siapapun pemenangnya, dialah wujud nyata aspirasi rakyat untuk bisa memimpin mereka menuju tujuan bersama yang dicita-citakan.
Namun, sering aspirasi rakyat tersebut lebih banyak terkontaminasi oleh "racun2" hasil pencitraan bodong yang tak sesuai dengan fakta sebenarnya. Polesan kosmetika politik yang sangat menarik nan penuh "pesona profesionalisme", mampu membuai dan menusuk relung2 terdalam kejiwaan kaum pemilih. Belum lagi "serangan fajar" yang selalu menjadi "senjata" andalan kaum kandidat yang memiliki ambisi politik pragmatisme.
Konsep gagasan, rekam jejak, visi dan misi yang seharusnya menjadi acuan utama dalam memilih calon Pemimpin, tak begitu menjadi "mainstream" alias arus utama dalam preferensi memutuskan pilihan. Logika kompetensi dikalahkan oleh arus besar pencitraan dan relasi transaksional.
Perlu diingat, mayoritas pemilih kita adalah kelompok masyarakat berpendidikan rendah (SD dan SMP) yang sangat rawan terbius pencitraan semu. Hal ini paralel dengan mayoritas pemilih ber-ekonomi lemah alias kelas ekonomi berlevel menengah kebawah. Arus "serangan fajar" dalam bentuk bagi2 fulus yang massif sangat berpengaruh dalam memutuskan pilihan disaat menjelang waktu pencoblosan.
Walhasil, fakta sosial masyarakat kita yang rawan menjadi bancakkan politik pragmatisme ala pencitraan bodong plus penyuapan "serangan fajar" memiliki konsekwensi logis yang signifikan dalam proses Pemilu dan Pilpres.
Jadi, siapapun yang akan menjadi Anggota Legislatif serta Presiden-Wakil Presiden hasil Pemilu dan Pilpres 2024, sejatinya adalah pilihan nyata kondisi faktual masyarakat kita. Sepanjang hasil Pemilu dan Pilpres 2024 dimenangkan secara bersih, jujur, transparan dan adil, kita hormati sebagai bentuk nyata kedaulatan rakyat.
Namun, kemenangan Pemilu dan Pilpres yang diraih dengan penuh "tricky" dan kecurangan yang massif, tentu saja bukan lagi hasil aspirasi dan pilihan rakyat. Justru itu sebuah pengkhianatan dan pembohongan terhadap aspirasi, amanah dan kepercayaan rakyat yang berdaulat.
Mari kita kawal Pemilu dan Pilpres 2024 yang benar2 menunjukkan aspirasi, suara dan amanah mayoritas rakyat yang berdaulat sebagaimana disebutkan dalam Konstitusi Negara UUD 1945. Selamat Pemilu dan Pilpres 2024.
Semoga Negeri ini mendapatkan Pemimpin2 Bangsa yang berakhlak, berintegritas, kompeten, cerdas dan amanah!
Bekasi, 11 Februari 2024
Komentar
Posting Komentar