MENUJU PEMILU & PILPRES 2024: BERKUASA ITU BUKAN MEMILIKI, NAMUN MENGAYOMI Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)
"Ikutilah seorang pemimpin ketika dia benar, tinggal bersamanya ketika dia masih benar, tetapi tinggalkan dia ketika dia salah" - Anonim
Politik itu identik dengan kekuasaan. Tujuan akhir proses politik adalah meraih kekuasaan. Bagaimana agar bisa meraih kekuasaan di lembaga legislatif (Pembuat UU) atau kekuasaan di lembaga eksekutif (penyelenggara pemerintahan negara).
Di negara yang memiliki sistem Demokrasi, apalagi negara seperti Indonesia yang mendasarkan "way of life" nya pada nilai2 Pancasila, proses dalam meraih kekuasaan itu dilakukan melalui sistem elektoral alias pemungutan suara (vote) dari rakyat yang memenuhi persyaratan sesuai UU.
Suara mayoritas rakyat akan menentukan siapa yang akan duduk di kursi legislatif dan kursi empuk Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, bahkan Kepala Desa. Artinya, peraihan jabatan yang memiliki sejumlah kewenangan sesuai legalitas itu berdasarkan mandat dan amanah mayoritas rakyat yang memilih calonnya.
Maka dari itu, tak ada alasan apapun bagi seorang Pejabat Daerah dan Pejabat Negara untuk menjadi arogan dalam menjalankan amanah rakyat. Meminjam peribahasa minang: "Gadang waang dek digadangkan urang". Artinya, anda bisa menjadi orang besar atau Pejabat itu karena dipilih dan diangkat oleh masyarakat. Itulah filosofi dasar atas status dan kedudukan seorang Pemimpin di masyarakat.
Namun sungguh sangat disayangkan sekali, banyak Pejabat2 legislatif dan eksekutif lupa diri bahkan tak tahu diri denga statusnya tersebut. Setelah mendapatkan jabatan yang dimandatkan dan diamanahkan rakyat, mereka langsung tancap gas untuk mewujudkan aspirasi diri sendiri dan kelompoknya. Masih bagus jika aspirasi itu untuk kebaikan dan kemaslahatan rakyat. Parahnya, realisasi aspirasi itu justru untuk kepentingan diri sendiri dan kelompok politiknya.
Banyak jargon2 "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat", "semua demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara", hanya sebatas "lip service" yang tak bermakna. Kemunafikan terjadi dimana-mana. Disaat kampanye, mereka mengumbar begitu banyak janji2 muluk bahkan absurd. Yang penting, dengan janji2 tak masuk akal yang sangat memikat rakyat itu, mereka bisa meraih impian politik.
Apakah nanti bisa terwujud atau diwujudkan, itu urusan lain. Bahkan dalam meraih jabatan dan kekuasaan yang diimpikan itu, mereka melakukan segala cara, bahkan cara2 yang diharamkan oleh agama. Ajaran Machiavelli tentang konsep curang dan kotor dalam berpolitik, menjadi pedoman umum kaum Politikus. Seolah-olah konsep Machiavellisme itu sebuah keniscayaan dalam berpolitik.
Filosofi etika, kesantunan, kepatutan dan keberadaban bukan menjadi bagian proses politik. Padahal, cara2 tak baik dan tak benar serta melawan arus nilai2 hati nurani manusia waras itu selalu memiliki konsekwensi langsung kepada ketidak-adilan dan menimbulkan konflik di tengah-tengah masyarakat.
KEKUASAAN YANG MENGAYOMI
Benar kata orang bijak, kekuasaan bisa begitu memabukkan, bukan hanya dalam arti membuat ketagihan, tetapi juga membuat pemegang kekuasaan bisa bertindak di luar akal sehat; menabrak segala norma, aturan, dan kepatutan. Itulah yang sekarang sedang kita lihat dari tindakan2 kaum elite di negeri ini mulai level Penguasa terendah sampai level tertinggi.
Dengan kekuasaan ditangan, mereka "terbenam" dengan puja-puji orang2 sekeliling serta laporan2 "Asal Bapak Senang" (ABS) yang sering tak sesuai antara isi laporan dengan fakta di lapangan. Penguasa merasa kekuasaan yang notabene adalah mandat dan amanah mayoritas rakyat yang memilihnya, adalah menjadi milik pribadi yang bisa dilakukan semaunya sendiri tanpa memperhatikan dan memikirkan konsekwensi dan kepentingan rakyat banyak. Rasa menjadi Pejabat, sering disalah-artikan dan dimaknai sebagai "Raja" seperti negara2 yang berbentuk Monarki.
Mabuk kekuasaan ini sejalan dengan teori filsuf Perancis Michel Foucault (1926-1984) yang melihat bahwa pengetahuan (kaum elite) bukanlah sesuatu yang netral dan objektif, tetapi merupakan hasil dari hubungan kekuasaan. Artinya, Pengetahuan yang dimiliki kaum elite politik ini digunakan untuk memengaruhi individu, mengontrol perilaku, dan menjaga ketertiban sosial untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Untuk konteks saat ini, kaum terdidik dan intelektual yang sedang berada dalam tim pemenangan capres-cawapres akan mengerahkan pengetahuannya untuk melegitimasi kepentingan politik elektoralnya.
Watak rasionalitas, objektifitas, dan moralitasnya mau tidak mau harus dikoridori oleh kepentingannya. Inilah yang dinamakan ironi politik kekuasaan.
Niccolo Machiavelli (1469-1527) seorang filsuf, politikus, dan penulis Italia yang terkenal itu, dikarenakan pemikirannya yang kontroversial dan cenderung realis dalam politik.
Menurut dia, manusia lebih memilih untuk mengambil keuntungan pribadi daripada mematuhi prinsip moral atau agama.
Pandangan ini tercermin dalam karyanya yang paling terkenal, “The Prince” (1532), dimana Machiavelli menyarankan bahwa seorang penguasa harus mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara yang diperlukan, bahkan jika itu sekalipun mengabaikan moral dan etika.
Menurut ajaran Machiavellian, Penguasa harus berani menggunakan kekerasan, tipu muslihat, dan manipulasi untuk mempertahankan kekuasaannya.
Selain itu, Machiavelli juga menentang pandangan agama yang menganggap kebaikan hati dan moralitas sebagai hal yang utama dalam politik. Menurutnya, dalam politik, kebaikan hati dan moralitas hanya akan menghambat pencapaian tujuan yang diinginkan.
Sebagai seorang realis, Machiavelli sedang mengkonstruksi pengetahuannya atas realitas politik yang dialaminya. Pandangan ini bisa jadi sebagai bentuk otokritik bagi bangsanya terhadap relasi politik dan moral.
Jika benar kaum elite dan politisi kita menggunakan ajaran Machiavellism dalam implementasi politik elektoralnya, sungguh hal ini sangat bertentangan dengan nilai2 Pancasila.
Negara kita sampai saat ini masih menjadikan Pancasila sebagai dasar bernegara. Dasar utama dalam setiap gerak langkah segenap rakyat Indonesia. Namun faktanya, gaung nilai2 Pancasila hanya ada pada agenda2 formal kenegaraan, bukan pada tataran implementasi.
Filosofi Pancasila yang notabene adalah hasil perenungan terdalam "the founding fathers" itu, ibarat "hidup segan, mati tak mau". Kemarukan kaum politisi yang begitu "haus dan lapar", telah banyak menabrak nilai2 etika, moralitas, kepatutan dan keadaban yang tertuang dalam Pancasila.
Hukum dipelintir untuk kepentingan keberlanjutan kekuasaan. Sistem dinasti dan nepotisme dijadikan sebuah pembiasaan, kebiasaan dan berujung kepada "kebudayaan baru".
Kaum elite politik negeri ini sungguh lupa daratan dengan adagium "hidup hanya sekali, setelah itu mati". Mereka benar2 mabuk dengan kekuasaan yang harusnya bisa memberikan kedamaian, keadilan, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat serta mengayomi segenap rakyat tersebut.
Paradigma berfikir mereka sudah jauh dari konsep dan tujuan kekuasaan yang seharusnya mengayomi, bukan melayani diri dan kelompok sendiri. Kekuasaan sudah dijadikan HAK MILIK PRIBADI. Makanya tak aneh terjadi begitu banyak penyimpangan2 dalam menjalankan kekuasaan.
Mereka lupa, rakyat memperhatikan semua gerak-gerik dan setiap langkah yang dilakukan. Walhasil, hukum alam pasti terjadi. Karma bagi kejahatan politik itu sudah cukup dijadikan contoh pada kejatuhan Soeharto pada 1998 lalu.
Cukuplah masa kelam politik kita sampai disitu. Mari kita berpolitik yang mendidik dan mencerdaskan rakyat. Bukan menjadikan rakyat sebagai "bancakkan" untuk kepentingan elektoral lima tahunan.
Bekasi, 31 Januari 2024
Komentar
Posting Komentar