KISRUH HASIL PEMILU-PILPRES 2024: PERLUKAH HAK ANGKET? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

 "Politik yang baik adalah politik yang berpihak pada kebenaran dan keadilan." - Nelson Mandela (Mantan Presiden Afrika Selatan & Peraih Nobel Perdamaian)

Pemilu dan Pilpres 2024 yang dilaksanakan pada 14 Februari 2024 telah selesai. Tahapan berikutnya, fase paling penting dan sensitif, yakni proses perhitungan dan rekapitulasi suara mulai TPS, PPS Kecamatan sampai ke KPU Pusat masih terus berlangsung. 

Berdasarkan aturan, pengumuman hasil perhitungan suara secara nasional dijadwalkan pada 20 Maret 2024. Artinya, sejak tanggal tulisan ini dibuat, tahapan pengumuman hasil pemilu dan pilpres 2024 masih sekitar 3 (tiga) minggu lebih lagi. 

Namun sayangnya, proses dan hasil perhitungan suara yang diumumkan KPU melalui sistem informasi "SIREKAP", banyak menimbulkan kegaduhan. Data yang dipublikasikan sistem informasi milik KPU tersebut tidak sama dengan data rekapitulasi yang dibuat kubu paslon 01 maupun 03. Disisi lain, hasil perhitungan cepat alias "Quick Count" oleh sejumlah lembaga survey yang mendapatkan rekomendasi dan "legitimasi" dari KPU, telah mengumumkan hasil Pemilu dan Pilpres 2024 tepat mulai pukul 15.00 WIB pada 14 Februari 2024. 

Dari hasil QC tersebut, Paslon 02 memperoleh suara sekitar 58%, Paslon 01 mendapatkan suara sekitar 24% dan Paslon 03 meraup suara sekitar 17%. Konon, hasil perhitungan QC yang berdasarkan formula dan metodologi ilmiah tersebut sudah jamak digunakan dimana-mama, khususnya untuk perhitungan cepat hasil Pemilu dan Pilpres. 

Di sejumlah negara Eropa, Asia dan Amerika latin, metodologi perhitungan suara dengan formulasi QC7 dijadikan pedoman standar untuk mengetahui pemenang. Dari pengalaman, perbedaan dan selisih hasil QC dengan perhitungan manual tak begitu signifikan. Perbedaannya antara 0.5 sd max 2% saja. 

Disinilah metode QC dianggap dan diyakini valid sebagai acuan cepat untuk mengetahui pemenang Pemilu atau Pilpres. Dengan hasil QC 6 (enam) lembaga survey yang "diakui" KPU tersebut, kubu Paslon 02 dengan sigap langsung menggelar selebrasi kemenangan sorenya di Istora Senayan Jakarta. 

Seperti sebuah adegan sulap, Istora Senayan ternyata sudah siap menerima Prabowo-Gibran dengan segenap pendukung dan peralatan/perlengkapan acara plus "rundown". Sungguh sebuah selebrasi hebat yang benar2 telah disiapkan beberapa hari sebelumnya. 

Artinya, kubu Paslon 02 sangat PD untuk menang Pilpres. Semua tersusun rapi, terencana dan penuh gemerlap. Hasil Pemilu dan Pilpres 2024 yang sejatinya baru akan diumumkan pada 20 Maret 2024, langsung di- fait accompli oleh kubu 02. 

Seolah-olah pengumuman resmi hasil Pemilu dan Pilpres 2024 nanti hanya sekedar ajang legalitas pemenang saja dan hasil QC sudah memberikan sebuah kepastian, walaupun terjadi selisih sampai 6 atau 7%. Hal ini jamak terjadi dii negara2 demokrasi yang masih belum mapan (Pepinsky, 2014).

Lantas, dengan hasil QC dan selebrasi Paslon 02 yang begitu "menggetarkan" kubu lawan serta masih bergulirnya perhitungan resmi oleh KPU, apakah kubu 01 dan 03 menerima begitu saja? Ternyata disinilah dimulai kegaduhan dan kekisruhan perhitungan suara hasil Pemilu dan Pilpres 2024. Kedua kubu lawan Paslon 02 tersebut terang2an tak menerima hasil sementara yang diumumkan oleh KPU melalui SIREKAP. 

Berdasarkan informasi resmi dari media2 "mainstream" dan laporan tim masing2 kubu Paslon 01 dan 03, banyak ditemukan kecurangan2 sejak awal perhitungan suara di TPS sampai ke rekapitulasi di KPU. Kekisruhan ini makin hari semakin membesar dan muncul usulan untuk dilakukan proses politik di DPR RI melalui Hak Angket. 

Kedua kubu Paslon 01 dan 03 sepertinya sudah tak mempercayai proses hukum di MK. Hal ini dikarenakan kredibilitas MK sebagai institusi penegakkan hukum dan keadilan telah merosot tajam sejak peristiwa "Paman Usman" yang memuluskan Gibran untuk bisa maju menjadi Cawapres.

PENYELESAIAN POLITIK ATAU HUKUM?

Jalur apa sebaiknya digunakan untuk menyelesaikan kekisruhan dan sengketa hasil pemilu dan pilpres 2024? Jika kita konsisten berpijak sebagai negara hukum (rechtstaat) sebagaimana disebutkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 bahwa "Indonesia adalah Negara Hukum", maka perselisihan dan sengketa tentang hasil pemilu dan pilpres 2024 seharusnya dibawa ke jalur Mahkamah Konstitusi (MK).

Syarat permohonan sengketa hasil pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Selain itu, terdapat pula ketentuan lanjutan terkait sengketa pilpres yang tertuang dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. 

Menurut Pasal 74 ayat (3) UU MK, Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU hanya dapat diajukan dalam jangka waktu maksimal 3 hari sejak Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional.

“Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilihan umum secara nasional,” dikutip dari Pasal 74 ayat (3) UU MK.

Dalam hal sengketa pilpres, pemohon adalah pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) peserta pemilu. Permohonan diajukan untuk menggugat penetapan paslon yang masuk pada putaran kedua maupun terpilihnya pasangan capres dan cawapres.

Dalam hal permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas terkait kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon.

Pemohon juga harus menguraikan permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.

Kemudian, MK akan menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) kepada KPU dalam jangka waktu 3 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK.

“MK menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi kepada KPU dalam jangka waktu paling lambat 3 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi,” bunyi Pasal 76 UU MK.

Berdasarkan Pasal 77 UU MK, terdapat empat jenis amar putusan MK terkait sengketa pemilu, yaitu:

a) Permohonan tidak dapat diterima saat MK berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak dapat memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74.

b) Permohonan dikabulkan saat MK berpendapat bahwa permohonan beralasan.

c) Membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar saat permohonan dikabulkan oleh MK sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

d) Permohonan ditolak saat MK berpendapat bahwa permohonan tidak beralasan.

Dari penjelasan diatas, tak bisa disangkal lagi, penyelesaian sengketa Pemilu dan Pilpres harus dibawa ke ranah yang tepat, sebagaimana sistem, mekanisme dan prosedur hukumnya secara terinci sudah diatur jelas dalam aturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif).

Namun, kenapa justru fokus penyelesaian sengketa pemilu dan pilpres 2024 ini oleh kubu Paslon 01 dan 03 lebih banyak mengarah ke jalur politik? 

Hal ini tentu sudah bisa diduga oleh mayoritas publik. Kredibilitas MK yang seharusnya menjadi lembaga dan benteng keadilan untuk pihak2 yang tertindas, justru telah tercoreng keras oleh kasus Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan Gibran untuk bisa menjadi Cawapres. 

MK butuh waktu untuk kembali bangkit dan memulihkan citra dan reputasinya dimata masyarakat. Walaupun Ketua MK sudah dicopot sebagai sanksi atau pelanggaran etika oleh MKMK, namun sepanjang beliau masih berada di MK sebagai Hakim MK dan masih melakukan proses gugatan terkait status pencopotannya ke PTUN ata lembaga2 hukum terkait, maka kekawatiran kubu Paslon 01 dan 03 atas Putusan sengketa Pemilu dan Pilpres 2024 bisa dimengerti dan dimaklumi. 

Jadi, jangan heran kedua kubu Paslon pesaing 02 ini selain tetap melakukan gugatan sengketa ke MK, mereka juga memanfaatkan celah politik di Parlemen. Walaupun proses Hak Angket di DPR RI akan memakan waktu yang cukup lama serta semua kemungkinan bisa terjadi, setidaknya jalur politik ini nantinya bisa merepotkan percaturan politik dan ketangguhan kubu Paslon 02 dalam menghadapi gempuran kedua kubu lawan yang notabene memiliki jumlah suara mayoritas di DPR RI. 

Konsistensi, keteguhan dan kemandirian kubu Paslon 01 dan 03 sungguh diuji jika mereka jadi melaksanakan Hak Angket ini. Jika salah satu kubu Paslon "tergoda" atas bujuk rayu kekuasaan yang cawe2 mendukung Paslon 02, maka harapan hanya tinggal menunggu putusan jalur Hukum MK yang dipelintir oleh Masyarakat sebagai singkatan Mahkamah Keluarga.

Bekasi, 24 Februari 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)