CIVITAS AKADEMIKA KAMPUS BERSUARA: WUJUD KEPRIHATINAN ATAU PARTISAN? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

 "Dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, bukan untuk memenuhi keserakahan manusia.” - Mahatma Gandhi

Dinamika politik negeri ini menjelang Pemilu & Pilpres 14 Februari 2024 makin meruyak dan beragam. Sinetron dunia politik praktis tak hanya "dimainkan" oleh kaum Politikus "pejuang kekuasaan & jabatan", namun mulai "menggoyang" wilayah kampus. 

Jika kaum Politikus hiruk-pikuk dengan segala jurus untuk meraih suara, kaum intelektual kampus tak tinggal diam bersuara nyaring. Mereka menyampaikan langgam keprihatinan mendalam atas situasi kepemimpinan negeri yang makin amburadul. Kepedulian yang memiliki resistensi politik, sebagai refleksi terdalam dari relung kejujuran nurani kaum cendekiawan "yang berumah diawan"  tersebut. 

Mereka terang2an menolak status quo yang makin tak ber-etika. Dimulai dari Petisi dan Pernyataan sikap atas tindakan penyimpangan demokrasi oleh Civitas Akademika UGM pada 31 Januari 2024, bergelinding secara linear ke Universitas Indonesia (UI) disusul Univ Hasanuddin, IPB, Unand dan banyak PTN/PTS di seantero nusantara. Fenomena ini   terjadi bak bola salju, makin membesar dan memberikan efek getar dunia politik kita.

Banyak rakyat mendukung kaum intelektual ini "turun gunung" untuk menyampaikan keprihatinan bahkan mengkritik penyalahgunaan kekuasaan yang makin tak terkendali. Namun disisi lain, pasti ada kelompok "anti-tesa" yang nota bene menyangkal deklarasi, pernyataan sikap atau manifesto sejumlah kampus tersebut dianggap sebagai kegiatan2 politik partisan yang diskenariokan. Inilah yang dinamakan sebagai "justifikasi" alias pembenaran demi kekuasaan.

CENDEKIAWAN NON PARTISAN

Cendekiawan seringkali dikaitkan dengan individu yang telah lulus dari perguruan tinggi atau universitas. 

Namun, Sharif Shaary, seorang dramawan terkenal dari Malaysia, menekankan bahwa hakikatnya tidaklah sesederhana itu. Ia berpendapat bahwa: "Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan. 

Seorang cendekiawan adalah pemikir yang sentiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. 

Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat."

Dari pemaparan diatas, jika kita memperhatikan fenomena kaum akademisi "turun gunung" untuk menyampaikan sebuah kebenaran moral, arah jalan lurus, tata etika & kepatutan kepada kaum elite kekuasaan, artinya tata kelola negara khususnya perilaku politik Penguasa sudah jauh melenceng dari nilai2 etika dan keadaban yang  seharusnya menjadi landasan moral dalam memainkan "gendang politik". 

Kaum intelektual kampus memang dituntut memiliki tanggungjawab moral untuk bisa menjadi penjaga nilai2 moralitas dan keadaban bangsa. Mereka bergelut di dunia keilmuan yang sarat dengan filosofi mulia keadaban, kepatutan, kepantasan dan kemanusiaan. 

Ilmu pengetahuan memiliki kerangka berfikir logis, rasional, objektif dan sistematis. Paradigma objektifitas yang steril dari kepentingan2 tertentu, adalah sebuah keniscayaan dalam perspektif dunia kampus. 

Maka dari itu, melakukan "counter attack" alias serangan balik dari tembok angkuh kekuasaan atas pernyataan sikap dan keprihatinan kaum cerdik-cendekia itu atas beragam "abuse of power" oleh Penguasa, adalah sebuah ketidakjujuran dalam berpolitik dan mengkhianati amanah rakyat.

Dunia politik memang penuh karut-marut kemunafikan dan skenario absurd. Namun, prinsip2 etika, moralitas, kepatutan dan keadaban sebagai nilai2 luhur kemanusiaan harus selalu dijunjung tinggi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. 

Mau dibawa kemana negeri dan bangsa ini jika kekuasaan diraih dengan proses tak beradab dan anti nilai moralitas? 


Kekuasaan memang ranah nikmat nan memabukkan tanpa batas. Parahnya, kaum elite kita tak pernah mau belajar dari beberapa kali kejatuhan Penguasa di negeri ini sejak orde parlementer (1959), orde  lama (1966) dan orde baru (1998).  

Penyakit "mabuk" kekuasaan dan terjebak dunia politik nan penuh berlumur kemunafikan, sering membuat mereka lupa diri. Mandat dan amanah rakyat yang seharusnya dijalankan dengan penuh hormat dan kemuliaan karena sudah terpilih secara demokratis, justru dijadikan sebagai peluang mempertahankan bahkan melanjutkan dinasti & nepotisme politik. 

Jika kesalahan atau ketidakbenaran diingatkan oleh kalangan intelektual, anda tak menggubris bahkan malah berbalik menyalahkan, lalu kepada siapa lagi kita mencari "Guru Bangsa"? Quo vadis Indonesia setelah Pemilu & Pilpres 2024?

Bekasi, 06 Februari 2024

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)