KENAIKAN UPAH MINIMUM TAHUNAN: PROBLEMATIK KLASIK KETENAGAKERJAAN RI YANG TAK BERKESUDAHAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH,MM

 Undang-undang lahir dari perundingan yang tak selamanya bersih

- Goenawan Mohamad, 

Setiap akhir tahun, khususnya 3 (tiga) bulan pada akhir tahun (Okt, Nov dan Des) adalah bulan2 penting, krusial dan strategis bagi dunia ketenagakerjaan kita. 

Pada 3 bulan itu, kasak-kusuk, karut-marut dan grabag-grubug dalam penyusunan Upah Minimum Provinsi dan Kota/Kabupaten selalu menjadi issue panas. Pengusaha dan Serikat Pekerja bersama Pemerintah (Tripartit) melakukan diskusi, negosiasi dan mencari solusi bersama agar Upah Minimum tahun depan bisa disepakati. 

Dengan berpedoman kepada aturan UU, PP bahkan Permenaker dan Kepmenaker RI, proses negosiasi, penyusunan dan penetapan Upah Minimum berlangsung alot. Selalu saja dalam setiap keputusan Gubernur untuk Upah Minimum, mendapatkan penolakan oleh kaum buruh (SP). 

Untuk kenaikan Upah Minimum yang sedang dan sudah ditetapkan Pemerintah pada Nov 2023, rata2 kenaikan Upah Minimum mulai 1.8% sd 8%. Artinya, rerata kenaikan Upah Minimum di setiap daerah tidak sama. 

Menaker RI mengeluarkan Permenaker No 51 tahun 2023 yang mengatur cukup jelas formula kenaikan Upah Minimum, yakni mengacu kepada kenaikan inflasi, pertumbuhan ekonomi dan indeks tertentu di masing2 daerah. 

Hampir semua SP menolak aturan yang dikeluarkan Menaker RI tsb. Mereka menuntut kenaikan Upah Minimum 2024 sekitar 15%. Alasannya, kenaikan harga2 sembako, BBM, listrik, PAM, transportasi dll sangat tinggi, bahkan menggerus penghasilan bulanan pekerja. 

Secara aturan, memang prinsip dan konsep Upah Minimum hanya untuk pekerja dibawah masa kerja 1 (satu) tahun. Namun faktanya, banyak pekerja dan buruh yang sudah bekerja diatas 1 (satu) tahun bahkan puluhan tahun masih menerima Upah selevel Upah Minimum. 

Kenaikan Upah mereka setiap tahun hanya mengikuti kenaikan "cost of living adjustment" alias COLA yang mengacu kepada rata2 kenaikan inflasi yang dirilis BPS.

Lalu, bagaimana solusi agar problematika klasik Upah Minimum yang selalu berulang setiap akhir tahun tersebut bisa menemui.jalan tengah kesepakatan oleh Pengusaha dan Serikat Pekerja? Bagaimana peran pemerintah sebagai katalisator dalam pola tripartit di Dewan Pengupahan? Perlukah diperkuat lembaga Pengupahan dengan menambah perwakilan organisasi2 ketenagakerjaan terkait?  

PERLU KETERBUKAAN & KEJUJURAN

Kepentingan dan tarik menarik antara pihak Pengusaha dan Serikat Pekerja dalam hal pengupahan, selalu menjadi probelamatika klasik yang tak berkesudahan. 

Pengusaha selalu memiliki paradigma "dengan membayar sekecil-kecilnya, mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya". Sementara Pekerja memiliki paradigma berlawanan, "dengan bekerja sesuai aturan, tugas dan pekerjaan yang diberikan, ingin mendapatkan imbalan selayaknya dan seadil-adilnya". 

Persepsi kedua belah pihak dalam hal pengupahan, sepertinya belum "satu suara". Pengusaha masih memiliki "mindset" kapitalisme liberal yang selalu melihat pekerja sebagai objek dalam sistem produksi dan operasional perusahaan. Pekerja masih dianggap sebagai "cost" yang membebani sistem produksi. Pekerja masih belum dirawat seperti layaknya sebuah aset bernilai yang bisa memberikan keuntungan berganda untuk kepentingan jangka panjang perusahaan. 

Ada kevakuman dalam irisan kepentingan bipartit ini, khususnya dalam hal implementasi hak dan kewajiban sebagaimana konsep hubungan industrial yang dinamis, adil dan harmonis. 

Disinilah peran penting dan strategis Pemerintah sebagai "mediator dan moderator" dalam mencari solusi jalan tengah yang bisa disepakati oleh kedua belah pihak. Sayangnya, Pemerintah masih belum bisa secara optimal dan maksimal memainkan peran strategis tersebut. 

Walaupun sudah didukung sejumlah aturan2 baru yang bertujuan mencarikan solusi untuk sistem pengupahan yang layak, adil dan transparan, ketidakpuasan kaum buruh selalu saja muncul dalam bentuk demo2 dan unjuk rasa penolakan atas angka Upah Minimum yang dikeluarkan Pemerintah cq Gubernur.

Diperlukan duduk bersama semua "stakeholders" ketenagakerjaan untuk mencari solusi terbaik dalam hal sistem pengupahan nasional. Tak masanya lagi model "Tripartit" yang berkonsep "parochial" tersebut dijadikan acuan dalam penyelesaian masalah pengupahan di Indonesia. 

Dunia ketenagakerjaan tida hanya milik dan tanggungjawab kaum Pengusaha, Pemerintah dan Pekerja (Tripartit). Masih ada sejumlah komponen hubungan industrial yang belum dilibatkan secara pro-aktif dalam mencari solusi dan menerobos kebuntuan pengupahan yang makin karut-marut itu. 

Perwakilan Akademisi, Asosiasi Praktisi HRD, Tokoh2 Masyarakat dan  Perwakilan Mitra2/Supplier, bisa diajak untuk ikut serta memberikan masukan pemikiran dan solusi kreatif dalam menerobos kebuntuan sistem upah minimum tersebut. Saatnya Pemerintah bersama Asosiasi Pengusaha dan Serikat Pekerja membuka diri untuk tidak menjadikan masalah pengupahan sebagai urusan "internal tripatit" yang berwatak eksklusif. Keterbukaan, kebersamaan dan kejujuran adalah kunci paling pas untuk menyelesaikan permasalahan2 pelik ketenagakerjaan, khususnya solusi Upah Minimum.

Bekasi, 23 November 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)