WAJAH PRAKTIK POLITIK KITA: ANTARA DEMOKRASI, KOMPETENSI & DINASTI Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Demokrasi dan Politik Ber-etika)

Bacawapres Ganjar dan Prabowo sampai saat ini belum juga tuntas dan final. Tarik-menarik kepentingan antar anggota Koalisi pendukung masing2 belum juga mencapai kesepakatan. 

Hal ini berbeda dengan Bacawapres Anies Baswedan. Nasdem bersama PKS langsung gaspol merangkul Cak Imin menjadi pasangan Anies. Artinya, terlihat kesiapan dan soliditas koalisi Nasdem bersama PKS dan PKB begitu kuat. 

Sesuai aturan KPU, jadwal pendaftaran Capres dan Cawapres dimulai 19 sd 26 Okt 2023. Waktu makin mendekat, namun kesepakatan Koalisi belum juga mantap. Kedua koalisi (pendukung Ganjar dan prndukung Prabowo) telah dihinggapi penyakit "syndrome pangeran". Sebuah penyakit kekuasaan yang mentradisikan keturunan sebagai pewaris kekuasaan Ibu atau Ayah yang sedang atau pernah berkuasa. 

Kekuasaan harus berlanjut, walaupun penggantinya berbeda. Bagi PDI-P, trah Soekarno harus menjadi pewaris pemegang kekuasaan di PDI-P setelah Megawati. Puan sejak beberapa tahun lalu digadang-gadang bisa menjadi Capres atau setidaknya Cawapres. Namun, elektabilitas Puan tak kunjung naik. 

Ternyata rakyat sudah mulai paham dan makin matang dalam berpolitik. Kompetensi sudah harus menjadi acuan dalam memilih calon Pemimpin. Tradisi dinasti alias nepotisme sudah tak zamannya lagi di era digital sekarang. 

Lalu, bagaimana dengan Koalisi pendukung Prabowo? Jokowi mulai melirik "perahu" Prabowo sebagai tambatan Politik masa depan keluarga dia. Hal ini terbukti dengan makin akrabnya Prabowo dengan Gibran di banyak kegiatan publik yang selalu diliput media. Begitu pula Kaesang. Sebagai Ketua Umum PSI, Kaesang tampaknya  mendukung sang Kakak untuk merapat ke Koalisi  pendukung Prabowo. Jokowi mulai secara bertahap "meninggalkan" PDI-P. 

Sepertinya Jokowi sudah capek sebagai "Petugas Partai". Sepuluh tahun menjadi Presiden, selalu berada dibawah bayang2 sang Ketua Umum Partai terbesar di Indonesia tersebut. Walhasil, Jokowi mendukung habis kedua puteranya terjun langsung ke kancah politik dengan "kendaraan" PSI dan merapat ke kubu Prabowo. 

Itulah wajah asli perpolitikan kita saat ini. Dinamika politik tarik-menarik, tawar-menawar kepentingan dan lobi2 transaksional yang berbungkus demokrasi. Faktor kompetensi bukan dimensi signifikan dalam mencari Pemimpin harapan. Aura nepotisme yang beraroma dinasti justru makin menyeruak. Etika dan moralitas dalam politik adalah sebuah kekalahan. Sepanjang tak melanggar aturan, nepotisme dan dinasti justru memberikan harapan masa depan.

POLITIK TAK MENGENAL KOMPETENSI

Dalam politik, kepentingan yang disepakati para pihak menjadi acuan utama bersama. (Rossenberg, 2021). Kekuasaan adalah tujuan utama dalam proses politik. Lobby2 dalam proses politik adalah sebuah keniscayaan. Hasil dan kesepakatan lobby politik, akan menjadi "guidance" Politisi dalam melakukan manuver2 demi kepentingan bersama. 

Segala cara, strategi, promosi dan narasi digunakan untuk mendapatkan legitimasi kekuasaan. Publik diyakinkan dengan jargon2 "menjanjikan" untuk masa depan yang lebih baik. Terlepas nanti jargon2 politik tersebut direalisasikan sebagai sebuah janji politik, itu urusan lain. 

Janji2 dalam politik adalah sebuah "senjata" ampuh dalam menaklukkan hati pemilih. Janji2 politik yang "absurd" pun diobral murah demi memikat hati pemilih. Belum lagi strategi "serangan fajar" yang sudah menjadi budaya politik di Indonesia. 

"Ada uang, abang disayang. Tak ada uang, abang melayang". Itulah fakta dan realita politik praktis di negeri ini. Koalisi dan Parpol2 jarang bicara tentang kompetensi. Sebuah kata yang merangkum makna lengkap terkait kemampuan, kapasitas dan kualitas calon wakil rakyat, calon Presiden dan Wakil Presiden. 

Kompetensi dalam politik, berada pada urutan kesekian bahkan tak begitu signifikan. Pemimpin dalam dunia politik tak harus memiliki kompetensi. Calon pemimpin cukup memiliki syarat populer, dekat dengan kekuasaan bahkan kalau bisa turunan langsung Penguasa. Sistem dinasti menjadi sebuah hal lumrah. Nepotisme sudah menjadi budaya. Yang penting bagaimana berkuasa sampai tujuh turunan. 

Bak siang dan malam, pencarian calon pemimpin pada sebuah organisasi perusahaan, justru lebih mengutamakan kompetensi. Dimensi Kompetensi merupakah harga mati. Karena tanpa kompetensi yang berisikan kapabiltas, abilitas, integritas dan kualitas, bisa dipastikan organisasi perusahaan tak akan meraih tujuan yang diinginkan bahkan bisa ambruk.

Proses rekrutmen dan seleksi calon pemimpin di organisasi perusahaan memiliki aturan dan persyaratan ketat. Spesifikasi jabatan alias "Job specification" menjadi pedoman utama untuk mendapatkan calon pemimpin yang sesuai dengan tugas, tanggungjawab, fungsi, peran dan kewenangan dalam sebuah jabatan.

Perusahaan mati2an mendapatkan seorang "talent" untuk memenuhi idealisme manajemen SDM yang bernama "THE RIGHT MAN ON THE RIGHT PLACE", bukan "THE WRONG MAN IN THE WRONG PLACE". Walhasil, tak ada lobby2, kepentingan dan subjektifitas dalam pola rekrutmen dan seleksi pada organisasi perusahaan. 

Jadi, tak salah jika manajemen negara menjadi karut-marut dan tak memiliki konsep dan visi yang jelas. Pola rekrutmen dan seleksi politik sangat kental aroma nepotisme, dinasti dan transaksional. Konsep kenegarawanan dalam politik praktis menjadi sebuah "barang langka". 

Politik adalah aktifitas dan proses siapa dapat apa, jabatan apa dan untuk kepentingan kita. Politik di negeri ini sudah makin menjauh dengan amanah pembukaan konstitusi negara. Salah satu tujuan membentuk Pemerintahan menurut Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dstnya. Faktanya, kepentingan kelompok dan oligarki lebih terlihat makan marak. 

Mencari kekuasaan dan jabatan publik, apalagi jabatan yang dipilih secara demokratis melalui Pemilu dan Pilpres lebih mengutamakan tujuan dan kepentingan kelompok yang sedang berkuasa. Kita menghimbau kepada para Politisi beserta Parpol2 yang menjadi sarana utama praktik demokrasi, agar kembali menjalankan praktik2 politik yang bermarwah kepentingan rakyat banyak, membela dan melindungi segenap tumpah darah dan bangsa serta menjadikan tujuan bernegara sebagai pilar utama dalam menjalankan kekuasaan menuju negara yang lebih sejahtera, maju dan berkeadilan. Silakan melakukan manuver politik dengan sejuta cara, namun tetap dalam koridor nilai2 demokrasi, keberadaban  keadilan dan menjadikan hukum sebagai Panglima.

"Alasan mengapa ada begitu sedikit politisi wanita adalah karena terlalu merepotkan untuk merias wajah di dua wajah." - Maureen Murphy.

Bekasi, 14 Oktober 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)