TANTANGAN DEMOKRASI INDONESIA: POLITIK DINASTI, NEPOTISME & DEMORALISASI Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Demokrasi, Politik & Kebangsaan)

 Partai Soldaritas Indonesia (PSI) yang mengidentikkan diri dengan Partai anak muda, baru2 ini membuat kejutan di dunia politik tanah air. Pemilihan dan penetapan Ketua Umum baru dilakukan tanpa kasak-kusuk Munas atau Munaslub sebagaimana Partai Kader lain dalam memilih calon Ketua Umumnya. PSI membuat "terobosan" baru dengan model "Kopdar" alias Kopi Darat. Pemilihan dan penetapan Ketua Umum baru dilakukan dengan super cepat. Kaesang, putera bungsu Jokowi itu setelah 2 hari menjadi anggota resmi PSI, langung "meroket" memegang tampuk tertinggi kekuasaan Partai, yakni Ketua Umum. 

Sepanjang sejarah perpolitikan modern di negeri ini, baru pertama kali sebuah Parpol di era reformasi yang menggadang-gadang sebuah perubahan dan perbaikan total model ala orba yang otoriter memilih anggota seumur jagung langsung menjadi Ketua Umum. 

Inilah fakta yang tak bisa diingkari. Logika publik dijungkirbalikkan oleh sebuah fakta yang kata Alm Gus Dur: "semua bisa diatur". Di negeri tercinta yang berasaskan Pancasila dengan lima sila dasar maha luhur itu, apapun bisa terjadi. Jika meminjam istilah kaum elite politik: "nggak ada aturan yang dilanggar". Itu sudah cukup. 

Di era sekarang, ukuran etika, moralitas dan kesantunan adalah urusan individual, bukan urusan publik. Sepanjang tak melanggar hukum, semua aman, semua beres. Satu keluarga menjadi caleg, tak ada aturan yang dilanggar. Melanggar komitmen, tak ada aturan yang dilanggar. Anak dan Mantu Presiden menjadi Walikota dan Ketua Umum Partai, tak ada pelanggaran hukum. 

Prinsipnya, setiap orang punya hak untuk menjadi apapun di negeri ini. Sayangnya, marwah nepotisme dan dinasti politik sangat kental. Walhasil, panggung politik diisi keluarga2 pejabat yang beraroma dinasti. 

Realita politik negeri ini kembali ke zaman baheula. Kekuasaan menjadi aji mumpung. Kepentingan keluarga, kerabat dan kelompok menjadi prioritas. Slogan bombastis "untuk bangsa dan negara" hanya diucapkan sebagai alasan pembenaran untuk meraih kekuasaan semata. Logika Demokrasi makin karut-marut. Kaum elite politik mencari panggung sesuka hati. 

Tak peduli rakyat masih banyak terbelit kesulitan ekonomi, para Pejabat terus saja bergoyang ria di setiap acara. Mereka suka lupa, empati dan peduli adalah sebuah amanah. Namun apa dikata, nurani mereka makin menjauh dari penderitaan rakyat. Rakyat cukup menjadi penonton panggung politik karut-marut itu. Mereka cukup mencoblos di 2024, setelah itu urusan elite politik mengatur dan berbagi kekuasaan.

PERTARUHAN DEMOKRASI SEBAGAI WARISAN

Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Demos” dan “Kratos”. Demos bermakna rakyat atau khalayak, sementara Kratos bermakna pemerintahan. Artinya, Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan yang mengijinkan dan memberikan hak, kebebasan kepada warga negaranya untuk berpendapat serta turut serta dalam pengambilan keputusan di pemerintahan. 

Namun, apa yang dicita-citakan sesuai konsep dan prinsip demokrasi masih jauh dari kenyataan. Demokrasi di negeri ini masih sebatas label untuk selebrasi lima tahunan yang disebut Pemilu dan Pilpres. 

Sistem dan aturan politik masih belum memberikan kesempatan dan peluang yang bermakna bagi rakyat kebanyakan. Implementasi sistem demokrasi hanya "dinikmati" segelintir kaum "the have" dan politik dinasti yang beraroma nepotisme. 

Biaya operasional politik yang tinggi serta budaya  kawulo-gusti yang masih kental, menghambat partisipasi    aktif rakyat di kancah perpolitikan nasional. Dunia politik makin menjauhkan mereka dalam ikut berperanserta secara pro-aktif. 

Rakyat hanya "boleh" ikut serta dalam politik disaat hari pencoblosan saja. Biarkan para Politisi bersama elite dan kaum konglo berkolaborasi & bersinegi melakukan manuver politik "untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat". 

Walhasil, setiap hari kita melihat drama2 politik kaum elite di media massa penuh dengan anomali tanpa jiwa. Mereka melakukan manuver2 "kosong" hanya semata-mata demi meraih suara untuk satu tujuan, kekuasaan. Logika politik yang bersandarkan idealisme makin ditinggalkan. Politik pragmatis menjadi sarana ampuh dalam mengatur strategi jitu menuju 2024. Machiavellisme diramu indah menjadi sebuah taktik penuh intrik. Kawan dan Lawan sudah menjadi agenda rutin. Prinsip dan Idealisme menjadi pilihan tak bermutu lagi bagi mereka. 

Sungguh kita makin terperosok ke dalam lubang warisan demokrasi yang tak lebih baik dari era orde baru. Dulu, kita mencaci maki dan menghina orde baru sebagai otoritarianisme dan diktator nepotisme yang anti nilai2 demokrasi dan Pancasila. 

Sayangnya, setelah 25 tahun era Reformasi bergulir, perubahan dan perbaikan itu tak pernah terwujud. Kita masih terjebak marwah Kolusi, Korupsi, Nepotisme dan Dinastisme yang makin tak bermoral. Kapankah cita2 Reformasi itu benar2 terwujud sebagaimana diharapkan diawal bangkitnya marwah perbaikan sistem demokrasi di awal di negeri tercinta ini? 

Hanya Tuhan yang tahu. Kita hanya bisa melakukan perubahan dan perbaikan, jika Politik dikembalikan kepada kehendak rakyat secara ikhlas, jujur dan berkeadilan, sesuai amanah hati nurani dan tidak dikuasai, dipengaruhi dan diatur oleh hanya segelintir kelompok elite politik saja.

"Politik menentukan siapa yang berkuasa, bukan siapa yang memiliki kebenaran.” ― Paul Krugman

Bekasi, 06 Oktober 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)