PENCALONAN GIBRAN SEBAGAI CAWAPRES: MEMBANGUN DINASTI, MERUSAK DEMOKRASI? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik Kebangsaan dan Demokrasi)
Sejak tumbangnya era Orde baru yang otoriter dan diktator pada 1998, kita semua sepakat untuk membangun era Reformasi. Sebuah era baru sebagai antitesa dari era sebelumnya yang penuh Kolusi, Korupsi, Nepotisme (KKN), anti Demokrasi serta sarat dengan aroma dinasti dan kekerabatan. Kita berharap, demokrasi harus ditegakkan agar suara rakyat benar2 menjadi pilar utama dan acuan dalam memilih wakil rakyat dan pemimpin yang amanah untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara.
Euforia politik yang hingar-bingar, begitu berkelindan di satu dekade setelah pendeklarasian era reformasi 1998. Reformasi diharapkan sebagai titik awal untuk kembali ke cita2 para pendiri bangsa (Founding Fathers) 1945 menuju politik perubahan, perbaikan dan jalan lurus sistem berdemokrasi.
Namun, setelah beberapa kali pergantian kepemimpinan nasional yang dimulai BJ Habibie, Megawati, SBY dan Jokowi sampai sekarang, cita2 yang pernah bergaung keras sejak 1998 tersebut makin menampakkan kemunduran dalam implementasinya. Aura dan aroma gaya berpolitik era orde baru kembali muncul, bahkan dengan wajah lebih sangar, vulgar, tanpa rasa malu dan arogan!
Walaupun jabatan Presiden sebagaimana termaktub pada salah satu pasal UUD 1945 terbaru sudah dibatasi maksimal dua periode, faktanya justru memunculkan strategi2 politik baru yang mencoba mencari celah2 hukum untuk keberlangsungan kekuasaan. Kolaborasi dan kolusi sejumlah Parpol dalam wujud Koalisi menjadi salah satu taktik politik paling pragmatis untuk "memperpanjang" kekuasaan.
Koalisi bukan lagi gabungan kerjasama Partai2 Politik untuk mencari Calon Pemimpin Nasional berkualitas, kompeten, profesional, berintegritas dan visioner, namun malah menjadi alat penguasa untuk melestarikan kekuasaan dengan alasan keberlanjutan dan keberlangsungan pembangunan.
Parpol2 anggota Koalisi dibuat tak berkutik, manut, taat dan patuh, demi tujuan berbagi jabatan setelah nanti menang pada Pemilu dan Pilpres. Mereka rela "taat" dan manut serta tak mengajukan calon2 yg jauh lebih kompeten demi pragmatisme politik. Mereka mau mengkhianati logika publik demi kepentingan jangka pendek Parpol, mereka tak memikirkan efek buruk dari sistem kaderisasi partai yang tak lagi dianggap punya nilai mencetak calon2 Pemimpin Bangsa masa depan.
RAKYAT SEBAGAI BENTENG DEMOKRASI
Sebagus dan sehebat apapun taktik, manuver dan strategi politik kaum Politisi, suara rakyat adalah benteng terakhir penegakkan demokrasi. Suara dan pilihan rakyat untuk memilih wakil2nya di lembaga legislatif, Kepala Dearah dan Presiden-Cawapres adalah "final and binding" alias final dan mengikat.
Hasil pemilihan umum dan pilpres adalah hasil pengumpulan dan pendataan aspirasi dan amanah rakyat. Merekalah sumber kekuasaan. Kedaulatan tertinggi di negara demokrasi adalah rakyat. Rakyat pemilih memberikan amanah kepada wakil2, kepala2 daerah dan presiden-wapres yang mereka inginkan, agar nantinya bisa mewujudkan aspirasi dan harapan rakyat untuk bisa lebih sejahtera, adil dan makmur sebagaimana disebutkan pada Pembukaan (Preambul) UUD 1945.
Satu2nya cara agar suara rakyat benar2 terwujud secara nyata sesuai amanah secara faktual adalah penyelenggaraan pemilu dan pilpres yang jujur, adil, bersih dan terbuka. Lembaga2 penyelenggara pemilu dan pilpres di pusat dan daerah (KPU dan Bawaslu) harus benar2 menjadi wasit yang netral, jujur dan bersih.
Mereka telah dipilih, dibiayai dan diberikan amanah untuk menyelenggarakan pemilu dan pilpres oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat.
Pemilu dan Pilpres yang penuh dengan kecurangan adalah Pemilu dan Pilpres yang mengkhianati dan membohongi amanah rakyat. Biarkan pola, strategi, taktik dan manuver2 politik dengan segala macam cara dan menghalalkan segala cara terjadi di lapangan.
Dalam politik, menghalalkan segala cara adalah sebuah keniscayaan. Jargon Machiavellism sudah begitu mengakar di benak dan jiwa kaum Politisi. Namun, ujung2nya adalah suara rakyat yang menentukan. Rakyat pemilih harus diberikan pemahaman, pembelajaran dan pendalaman terhadap kualifikasi, kompetensi, integritas dan visi calon2 wakil rakyat, kepala daerah dan presiden-wapres yang maju pada pemilu dan pilpres 2024 nanti.
Silakan para politisi melakukan "serangan fajar" atau apapun brntuknya sebagaimana manuver di dunia politik, namun Hati Nurani yang sudah menjadi pilihan adalah sebuah keputusan final yang tak bisa dibeli dengan uang!
"Politik bukan hanya tentang senjata dan amunisi atau propaganda, ini tentang bagaimana kita bereaksi terhadapnya." - Anonim
Medan, 22 Oktober 2023
Komentar
Posting Komentar