MK MEMUTUS BATAS USIA CAPRES & CAWAPRES: KEWENANGAN ATAU KEBABLASAN? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Demokrasi dan Keadilan Hukum)

 Dalam pekan ini, menurut informasi dari sumber2 yang layak dipercaya, Mahkamah Konstitusi (MK) akan memutus uji materi gugatan terkait batas usia Capres dan Cawapres dari min 40 tahun ke minimal 35 tahun atau bahkan 25 tahun. Terkait gugatan dari beberapa Parpol dan sejumlah Pejabat ini, MK relatif lama membuat Putusan. Hal ini bisa jadi berbagai alasan teknis maupun non teknis secara hukum. Isi gugatan terkait batas usia minimal ini memang sangat sensitif dan politis ditengah-tengah pertarungan dua Bacapres untuk mencari Bacawapres. 

Kita tahu, kedua Bacawapres (Prabowo dan Ganjar) sampai saat ini masih gamang, galau dan grogi untuk memilih siapa yang akan menjadi pasangan mereka menuju Pilpres 2024. Tarik menarik kepentingan Parpol di masing2 Koalisi sangat ketat dan kuat. Apalagi dengan ikutnya Jokowi sang Presiden untuk "cawe-cawe" dalam penentuan Bacapres dan Bacawapres. 

Adalah logis dan rasional, jika Jokowi yang akan berakhir masa jabatan Presidennya di akhir 2024 untuk mengambil ancang2 politis demi keberlangsung program dan perlindungan hukum terkait kasus2 selama dia berkuasa jika dibawa ke ranah hukum oleh Presiden berikut yang bukan bagian dari poros politik dia. Kedua puteranya secara fenomenal dilibatkan dalam percaturan politik nasional. Seperti aji mumpung, Jokowi mendukung total Kaesang untuk "merebut" PSI untuk menjadi kendaraan politik pasca berkuasa, sekaligus memberi jalan lapang untuk Kaesang bisa langsung berkiprah di Pemilu dan Pilpres 2024. 

Begitu pula Gibran, dia digadang-gadang untuk menjadi Bacawapres Prabowo. Hari2 menjelang Pemilu dan Pilpres 2024, Jokowi lebih banyak fokus untuk mengatur strategi politik jangka panjang untuk keberlangsungan dinasti dia. Secara aturan dan legalitas, tak ada yang dilanggar. Politik memang strategi meraih kekuasaan dengan segala cara namun tetap memperhatikan aturan hukum. Urusan menerabas etika, moralitas dan kesantunan adalah salah satu taktik politik yang sudah menjadi perilaku elite politik sehari-hari. 

Tak ada lagi fatsoen dalam berpolitik praktis di negeri ini. Sepanjang tak melanggar aturan hukum, apapun yang dilakukan adalah sah2 saja. Inilah salah satu "warisan dan dampak buruk" euforia demokrasi sejak tumbangnya rezim otoriter Soeharto pada tahun 1998. 

MK SUDAH KEBABLASAN

Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga negara sebagai pelaku kekuasaan kehakiman merdeka guna menyelenggarakan peradilan demi tercapainya keadilan dan penegakan hukum. Dibentuk pada 13 Agustus 2003 dengan sistem rekrutmen berdasarkan pengajuan oleh presiden, DPR, dan MA (Mahkamah Agung).

Tidak seluruh negara di dunia menyebut institusi yudikatif tersebut dengan nama Mahkamah Konstitusi. Misalnya di Prancis dikenal Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel) dan Belgia dengan Arbitrase Konstitusional (Constitutional Arbitrage). Mereka memiliki ciri-ciri serupa karena bukan lembaga pengadilan dan independen dari MA.

Berdasarkan Pasal 24C ayat 1 UUD 1945, tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi adalah:

1) Melaksanakan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir pada putusan final untuk menguji perundang-undangan terhadap Undang-Undang Dasar.

2) Menghentikan sengketa kewenangan institusi negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.

3) Memutuskan pembubaran partai politik.

4) Memutuskan konflik hasil pemilihan umum (pemilu).

Selain tugas dan kewenangan diatas, kewajiban Mahkamah Konstitusi

Selain tugas dan wewenang diatas diantaranya memberikan putusan berdasarkan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkaitan dengan dugaan tindak pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atas Undang-Undang Dasar.

Pelanggaran yang dimaksud tercantum pada UUD 1945 Pasal 7A ayat (1) sampai (5) serta ditegaskan Pasal 10 ayat (2). Yakni perbuatan melawan hukum seperti korupsi, mengkhianati negara, suap, perilaku melanggar ketentuan pidana lainnya, perbuatan cela, dan/atau tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sesuai UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) Tahun 1945.

Dari tugas, kewenangan dan kewajiban MK sebagaimana diatur tegas dan jelas oleh Konstitusi Negara alias "Grundnorm" diatas, terlihat secara eksplisit MK tak punya kewenangan untuk merubah isi UU apalagi terkait dengan usia Bacapres dan Bacawapres. Kewenangan MK adalah MENGUJI UU, bukan MERUBAH ISI UU. Perubahan materi UU adalah domain Pembuat UU, yakni Presiden dan DPR-RI (Eksekutif dan Legislatif) sebagaimana sistem dan mekanisme "open legal policy" yang diatur jelas oleh Konstitusi Negara.

Kesimpulannya, MK telah sangat jauh melanggar tugas, kewenangan dan kewajiban sebagaimana diatur oleh UUD 1945.

Sangat disayangkan jika Hakim2 MK tak paham dan tak melaksanakan amanah UUD 1945 secara konsisten dan konsekwen untuk perkembangan dan kemajuan sistem Demokrasi di Indonesia.

Para Hakim MK harus berani independen, mandiri, berintegritas dan profesional dalam setiap pengambilan putusan hukum yang berdampak langsung kepada stabilitas politik dan kemajuan sistem demokrasi di negeri tercinta ini. 

Dahulukan kepentingan dan masa depan bangsa daripada kepentingan sesaat demi kepentingan sebuah kelompok atau pribadi. Jabatan Hakim MK adalah jabatan mulia dan agung. Setiap putusan MK memberikan efek luar biasa bagi keberlangsungan sistem politik yang sedang dibangun. 

Jangan jadikan hukum sebagai alat kepentingan politik. Jadikan hukum sebagai pedoman untuk memberikan keadilan bagi semua pihak demi kepentingan bangsa dan negara kedepan.

"Hati nurani adalah suara abadi daripada kebenaran dan keadilan, yaitu suara yang tidak dapat dibungkam oleh apa-apa pun juga." - Anonim

Bekasi, 10 Oktober 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)