GIBRAN TETAP CAWAPRES: PARPOL KOALISI PRABOWO PATUH KE JOKOWI? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik Kebangsaan dan Demokrasi)

 Hari ini, Golkar yang katanya Partai besar, Profesional, Partai kader dan menjunjung tinggi penegakkan sistem demokrasi, secara resmi mendeklarasikan Prabowo-Gibran sebagai Bacapres-Cawapres 2024 dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) dibawah pimpinan Prabowo. Bisa jadi, dua parpol pendukung KIM lainnya, PAN & Partai Demokrat akan menyusul mendeklarasikan hal yang sama. 

Tampaknya Parpol2 anggota KIM tak berani dan tak mampu menolak "intervensi kekuasaan" untuk tidak mencalonkan Gibran yang sedang menjadi berita kontroversial saat ini. Kita tahu, Gibran telah diberikan "karpet merah" oleh MK yang dikomandoi sang Paman untuk bisa memenuhi persyaratan menjadi Cawapres. MK telah dijadikan lembaga justifikasi secara hukum untuk memuluskan sang  "Putera Mahkota" untuk maju di Pilpres 2024 nanti. Bak kata pepatah "anjing menggonggong, khafilah tetap berlalu", Gang Prabowo tak ambil pusing dengan hiruk-pikuk "Gibran". 

Mereka tetap keukeuh untuk mencalonkan "Sang Pangeran" untuk menjadi Bacawapres Prabowo di Pilpres 2024. Padahal, jika dianalisa secara mendalam serta melihat kontroversi dan kecaman yang berkembang di masyarakat, bisa jadi Putusan MK tersebut akan menurunkan elektabilitas Prabowo sebagai Capres 2024. Namun mereka tetap yakin, bahwa "faktor" Gibran akan menjadi faktor yang bisa memenangkan Prabowo, bukan malah sebaliknya sebagai "kartu mati".

Bagaimana konstelasi final poros Koalisi Prabowo setelah Golkar mendukung Gibran? Apakah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat dan Partai Bulan Bintang (PBB) akan juga mengikuti pilihan Golkar untuk mencalonkan tokoh kontroversial tsb? Benarkah Gibran akan mampu menjadi "Kartu As" bagi Poros Prabowo untuk meraih suara kaum milenial dan abangan Jawa?

MERITOKRASI VERSUS DINASTI

Sistem politik kita untuk menegakkan aturan2 berdemokrasi, lebih banyak dikelola secara serampangan. Hal ini terlihat nyata dalam pembuatan aturan2 pemilu dan pilpres yang tidak memfokuskan kepada kualitas dan kualifikasi calon wakil rakyat dan calon Bupati, Walikota, Gubernur bahkan Presiden sekalipun. 

UU Parpol tak lebih sebagai regulasi yang mengatur prosedur dan tahapan dalam pencalonan seseorang, namun kurang tegas dalam mengatur persyaratan yang menjadikan meritokrasi sebagai landasan utama. Sebagai contoh, untuk menjadi calon legislatif, cukup berpendidikan min SMA dan syarat2 lain sebagai standar administratif. 

Begitu pula untuk menjadi Bupati, Walikota, Gubernur dan Presiden-Wakil Presiden,  cukup lulus SLTA tanpa tambahan kompetensi2 tertentu sebagai persyaratan untuk mengisi jabatan publik yang maha penting tersebut. Anehnya, jika Pemerintah membuka lowongan untuk jabatan2 diluar Kepala Daerah atau Presiden-Wapres seperti Tim Satgas, lembaga2 ad hoc dan sejenisnya, menetapkan persyaratan2 sangat tinggi dan ketat. Apalagi sistem seleksi yang dilakukan sangat prosedural dengan menggunakan lembaga2 psikologi independen untuk memastikan IQ, EQ dan segudang test tertulis dan ketrampilan2 yang diinginkan. 

Meritokrasi adalah sistem politik yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan atau kelas sosial. Kemajuan dalam sistem seperti ini didasarkan pada kinerja, yang dinilai melalui pengujian atau pencapaian yang ditunjukkan. Meskipun konsep meritokrasi telah ada berabad-abad lamanya, istilah ini sendiri diciptakan pada tahun 1958 oleh sosiolog Michael Dunlop Young dalam bukunya yang berjudul "distopia politik" dan satirenya yang berjudul "The Rise of the Meritocracy".

Inilah ironi faktual dalam sistem seleksi calon jabatan politik dengan jabatan2 akademik dan jabatan2 birokratis. Pengisian jabatan2 publik yang bersifat politis, dilakukan dengan pola sistem rekrutmen dan seleksi oleh Partai Politik dengan persyaratan minim dan penuh aroma transaksional politis. Sedangkan untuk jabatan2 strategik yang justru sangat memberikan dampak kepada kelancaran, keberlangsungan dan keberhasilan program2 Pemerintah, dilakukan pola rekrutmen dan seleksi sangat ketat dan terkadang absurd.

Walhasil untuk jabatan2 publik yang bernuansa politis, diisi oleh orang2 yang kurang memenuhi kompetensi sebagaimana diharapkan sesuai tuntutan jabatan, bahkan kental bernuansa nepotisme, kekerabatan dan dinasti.

Jangan pernah berharap bisa mendapatkan Pemimpin publik yang kompeten, profesional, berintegritas dan visioner, jika sistem rekrutmen dan seleksi jabatan2 publik yang notabene akan memahami, melayani dan meningkatkan kesejahteraan rakyat tersebut masih terpolusi anomali transaksionalisme, subjektifitas, like and dislike serta anti kompetensi.

Parpol dalam merekrut dan menseleksi calon2 wakil rakyat serta calon2 Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan Negara, harus mulai untuk lebih mengutamakan kompetensi, kualifikasi dan spefisikasi jabatan sesuai tuntutan dan tantangan bangsa kedepan. Pertimbangan kantong2 suara memang penting, namun jauh lebih penting mengutamakan sosok yang "the right man on the right place", bukan "the wrong man on the right" place yang akan merugikan dan membuat rakyat menderita selama 5 (lima) tahun.

"Mitos kepemimpinan yang paling berbahaya adalah bahwa para pemimpin dilahirkan dari faktor genetik kepemimpinan. Itu tidak masuk akal! Pada kenyataannya, pemimpin itu dibentuk bukan dilahirkan." -Warren G. Bennis

Berastagi, 21 Oktober 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)