KAESANG MENJADI KETUM PSI: TRAGEDI, PENETRASI ATAU ILUSI POLITIK? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik Kebangsaan, Demokrasi & Hukum)
Dunia Politik tanah air dikagetkan dengan diangkatnya Kaesang (Putera bungsu Jokowi) sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Selang sehari setelah Kaesang menjadi anggota PSI, esoknya dia langsung didapuk sebagai Ketua Umum Partai yang loyal kepada rezim Jokowi tersebut.
Sangat terlihat gamblang dan telanjang, PSI mempertontonkan sebuah tragedi politik yang kurang mendidik, dengan mengangkat anggota yang baru "seumur jagung" menjadi Ketua Umum.
Betul, apapun yang dilakukan di internal sebuah Parpol seperti PSI adalah hak penuh segenap Pengurus dan Anggota Partai. Namun, untuk Partai sekelas PSI yang telah memiliki banyak anggota di sejumlah Badan Legislatif, telah merusak sistem dan tatanan politik tanah air dalam pola perekrutan serta sistem kaderisasi Partai.
Partai telah menjalankan Politik pragmatis yang kurang menghargai sistem kaderisasi dan kompetensi dalam memilih Pemimpinnya. Rakyat disuguhi model manajemen Partai murahan tanpa sedikitpun merasa risih dalam menunjuk seorang kader baru yang tak punya pengalaman apa2 di bidang politik, selain berstatus sebagai anak Presiden.
KEPENTINGAN POLITIK SESAAT
PSI sejak awal berdirinya, memang sangat dekat dan menjadi salah satu Partai baru yang sangat loyal kepada Rezim Jokowi. Sejumlah Petinggi PSI diangkat Jokowi sebagai Pejabat Negara sebagai bentuk kompensasi atas loyalitas tanpa batas PSI tersebut. Sebut saja nama Raja Juli Antoni yang pernah menjadi Ketua Umum PSI dan terakhir sebagai Ketua Dewan Pembina PSI menjadi Wakil Menteri Agraria.
Ditengarai pengangkatan secara mendadak Kaesang sebagai Ketua Umum PSI sebagai bagian strategi dan skenario besar untuk karir politik Kaesang kedepan. Kaesang digadang-gadang akan menjadi salah satu kandidat terkuat Walikota Depok. Tentu saja dengan jabatan baru sebagai Ketua Umum PSI, makin memperkuat citra dia untuk bisa melenggang mulus menjadi orang no 1 di Kota Depok tersebut.
Ada satu dugaan menarik yang bisa jadi nantinya akan terbukti dimasa mendatang, yakni PSI menjadi "Kendaraan Politik" keluarga Jokowi untuk keberlangsungan dinasti setelah Jokowi tak lagi menjabat sebagai Presiden setelah Pilpres 2024.
Dugaan ini bisa saja benar, sebagaimana SBY menjadikan Partai Demokrat dan Megawati menjadikan PDI-P sebagai "Tunggangan" Politik keluarga dan kerabatnya agar tetap berkibar di ranah politik nasional.
Secara aturan, tak ada satupun perundang-undangan atau peraturan yang dilanggar dengan model politik dinasti ala SBY, Megawati dan Jokowi tersebut. Namun dikhawatirkan, dengan strategi dinasti politik via Parpol, akan menutup rapat peluang sistem kaderisasi untuk mencetak para politisi muda mumpuni.
Pola Kawulo-Gusti atau Patron-Klien dalam dunia politik tanah air terasa makin kental. Bukannya melihat kompetensi, pengalaman serta karir politik yang mampu membentuk Politikus2 hebat, Parpol2 malah membuat sistem "jalan-pintas" yang kental dengan aura nepotisme di internal Parpol.
Memang tak semua Parpol di tanah air menggunakan sistem dan pola dinasti keluarga seperti Demokrat, PDIP atau PSI. Masih banyak Parpol2 yang tetap mengutamakan dan menghargai aspek2 kompetensi, kompetisi dan karir politik yang bertingkat dalam mencetak Politikus2 handal. Sebut saja Partai Golkar, PAN, PKS, Gerindra, Hanura dan banyak Parpol2 lainnya.
Kita berharap agar Parpol benar2 menjadi "kendaraan politik" bagi para Politikus untuk meraih kekuasaan, guna mewujudkan aspirasi segenap rakyat dan tujuan bernegara yang melindungi dan menyejahterakan seluruh warga negara Indonesia.
Partai politik harus menjadi sarana efektif dalam memperjuangan cita2 berbangsa dan bernegara, bukan hanya untuk kepentingan sesaat bagi segelintir atau sekelompok orang. Parpol harus mandiri dan independen serta mampu mencetak Politisi2 handal yang tidak saja berjuang untuk kepentingan Partai, namun yang lebih penting adalah memberikan kontribusi positif untuk tegaknya negara hukum yang demokratis.
"Politisi semuanya sama. Mereka berjanji untuk membangun jembatan, meski tidak ada sungai." - Nikita Krushchev.
Bekasi, 25 September 2023
Komentar
Posting Komentar