GAJI ASN/TNI/POLRI 2024 NAIK 8%, BAGAIMANA DENGAN KENAIKAN UMK 2024? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Ketenagakerjaan)

 Berdasarkan info dari media massa arus utama (mainstream), Presiden telah menyampaikan RUU APBN 2024 dan Nota Keuangan di depan Parlemen di Senayan pada 16 Agustus 2023. Salah satu materi penting APBN 2024 adalah kenaikan gaji ASN/TNI/POLRI sebesar 8% mulai 2024. 

Selain itu, juga dibarengi kenaikan tunjangan pensiunan ASN/TNI/POLRI sebesar 12%. Ini artinya, Pemerintah harus menyiapkan tambahan anggaran gaji sebesar sekitar 52 triliun rupiah pada tahun 2024.

Bak gayung bersambut, usulan kenaikan gaji ASN/TNI/POLRI yang disampaikan Presiden tersebut disetujui langung oleh Komisi XI DPR-RI. 

Sungguh, sistem dan proses kenaikan gaji ASN/TNI/POLRI setiap tahun sangat lancar, mudah dan tanpa banyak hambatan serta lika-liku proses yang harus dilalui seperti kenaikan gaji/upah karyawan swasta khususnya Upah Minimum Provinsi/Kabupaten/Kota. 

Sistem kenaikan gaji ASN cukup diusulkan Presiden (setelah sebelumnya dilakukan rapat2 Menkeu dengan Komisi XI DPR-RI) pada sidang tahunan di setiap 16 Agustus, lalu palu persetujuan diketok resmi oleh Pimpinan DPR sebagai bentuk persetujuan. 

Hal ini tentu berbeda tajam dengan sistem dan proses kenaikan Upah Minimum untuk Pekerja Swasta setiap akhir tahun yang penuh lika-liku dan dinamika tarik-menarik antara kepentingan Pengusaha dan Pekerja. Tuntutan kaum buruh untuk mendapatkan upah minimum yang layak dan pantas (menurut versi kaum buruh) melalui unjuk rasa, demonstrasi dan bahkan mogok kerja pun dilakukan sebagai strategi "bargaining" alias tawar menawar menuju proses perundingan dan penetapan final Upah Minimum.

Pertanyaannya, kenapa kenaikan upah minimum yang menjadi jaring pengaman untuk melindungi kesejahteraan minimal kaum pekerja sebagaimana diatur UU ketenagakerjaan tersebut selalu tidak mencapai kesepakatan antara Perwakilan Pengusaha dan Perwakilan Serikat Pekerja? 

Masalah Upah minimum sudah menjadi problema klasik di dunia ketenagakerjaan Indonesia sampai saat ini. Hal ini dikarenakan belum adanya regulasi dan formulasi tepat yang disepakati oleh kedua belah pihak dalam hubungan kerja alias hubungan industrial yang berlaku. 

Beberapa kali regulasi tentang perhitungan upah minimum dirubah oleh Pemerintah bersama Parlemen. Namun, belum satupun regulasi yang mengatur Upah Minimum yang disetujui oleh mayoritas Serikat Pekerja di negeri ini. 

Apa solusi terbaik yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kebuntuan ini? Cukupkah lembaga tripatit (Pengusaha, Pekerja dan Pemerintah) saja yang berperan dalam penyusunan upah minimum? Tepatkah keputusan final untuk upah minimum Provinsi, Kota dan Kabupaten menjadi kewenangan Gubernur?

GONTA-GANTI ATURAN UPAH MINIMUM

Kebijakan Upah Minimum berlaku setelah dikeluarkannya Permenaker No 05 tahun 1989. Dasar penetapan upah minimum adalah Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) & Indeks Harga Konsumen (IHK). 

Setelah itu direvisi dengan Permenaker Per-01/Men/1990. Dalam revisi ini diatur bahwa Upah minimum merupakan upah pokok ditambah tunjangan tetap. Selain itu, ketentuan pembayaran upah pokok paling rendah 75% dari Upah Minimum. 

Pada 1996 melalui Kepmenaker No 81 tahun 1995, KFM diganti menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Komponen KHM adalah makanan, minuman, perumahan, sandang dan aneka kebutuhan lainnya. 

Berdasarkan Permenaker No 3 tahun 1997, KHM menjadi rujukan dalam penyusunan Upah Minimum Regional (UMR) yang berlaku 2 tahun. 

Pada tahun 1999, keluar Permenaker No 1 tahun 1999 yang mengatur upah minimum sebagai upah pokok termasuk tunjangan tetap yg terdiri atas UMR tingkat I, UMR tingkat II, Upah Minimum Sektoral (UMSR) tingkat I dan UMSR tingkat II. 

Lanjut ke Kepmenakertrans No 226 tahun 2000, diatur perubahan beberapa istilah, UMR tingkat I menjadi UMP, UMR tingkat II menjadi UMK, UMSR tingkat I menjadi UMS Provinsi dan UMSR tingkat II menjadi UMS Kabupaten/Kota.

Pada 2006, Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) diganti menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sebagaimana diatur Permenaker No 17 tahun 2005. Komponen KHL terdiri atas 7 (tujuh) kelompok kebutuhan: makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi, rekreasi dan tabungan. 

Melalui Permenakertrans No 13 tahun 2012, Pemerintah merevisi komponen KHL menjadi 60 komponen dari sebelumnya 46. Lalu, berdasarkan PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan, UMSK dihapus.

Pada 2015, Pemerintah mengeluarkan PP 78/2015 sebagai turunan UU 13 tahun 2003. 

Perubahan mendasar dari PP 78 tahun 2015 adalah: jika sebelum keluar PP 78/2015 Upah Minimum ditetapkan Gubernur,  diusulkan Bupati/Walikota dan direkomendasikan Dewan Pengupahan, dimana angkanya berdasarkan survey komponen KHL dan negosiasi Wakil Pengusaha dan Wakil Pekerja. Maka sesudah keluar PP 78/2015, Upah minimum ditetapkan Gubernur berdasarkan rumus (UM lama+inflasi+pertumbuhan ekonomi). Disini rekomendasi dan hasil survey tidak lagi menjadi acuan utama. Dari aturan diatas, terlihat ada proses yang hilang, yakni negosiasi antara wakil Pengusaha dan Wakil Pekerja.

Berdasarkan PP No 36 tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan turunan UU Ciptaker, rumus perhitungan upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Adapun rumusnya adalah berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi ditambah tingkat inflasi Provinsi. 

Ditengarai, rumus perhitungan kenaikan Upah Minimum sebagaimana diatur PP 36/2021 cukup ribet dan "complicated" dengan model rumus batas atas dan batas bawah yang membingungkan.

Walhasil, Pemerintah melalui Menaker mengeluarkan Permenaker No 18 tahun 2022 tentang penetapan Upah Minimum 2023. Pada regulasi Permenaker yang terkesan "melanggar" aturan diatasnya yakni PP 36 tahun 2021, Menaker RI membuat formula baru dalam menetapkan Upah Minimum 2023. 

Ada 3 (tiga) variabel sebagai dasar perhitungan Upah Minimum: Petumbuhan Ekonomi, Inflasi dan Indeks tertentu. Selain itu ditetapkan batasan maksimal nilai UM, tak boleh lebih dari 10%. 

Aturan yang dibuat Menaker ini tentu saja menimbulkan pro dan kontra, khususnya dari Pihak Pengusaha. Apindo menolak tegas regulasi tersebut dan berencana melakukan uji materil ke Mahkamah Agung (MA). Apindo juga akan melakukan gugatan ke PTUN, apabila Gubernur menetapkan Upah Minimum yang bertentangan dengan PP 36 tahun 2021. Namun, gugatan uji materil Apindo ke MA tersebut ditolak/tidak diterima oleh MA berdasarkan Putusan MA no 72 P/HUM/2022. Artinya, Permenaker N0 18 tahun 2022 tetap berlaku secara hukum.

PERLU TEROBOSAN UPAH MINIMUM

Berdasarkan lika-liku dan dinamika penyusunan dan penetapan Upah Minimum sebagaimana dijelaskan diatas, diperlukan sejumlah terobosan baru agar masalah klasik Upah Minimum di Indonesia bisa dituntaskan dan menjadi kesepakatan semua pihak terkait, khususnya Pengusaha dan Pekerja, sebagai berikut:

1. Tim Dewan Pengupahan yang terdiri dari perwakilan Tripartit (Pengusaha, Pekerja dan Pemerintah) harus diperluas dan ditambah dengan perwakilan Perguruan Tinggi (Akademisi) dan Praktisi HRD (Pentapartit).

Keterlibatan Akademisi dan Praktisi HRD akan memberikan kontribusi signifikan dalam penyusunan Upah Minimum dari sisi sains dan keilmuan (Akademisi) serta sisi objektifitas (realitas-faktual) hubungan industrial dalam praktik dunia usaha & dunia industri. 

Praktisi HRD secara "genuine" dan objektif dapat memberikan masukan2 realistis dan faktual terkait kondisi dan situasi bisnis perusahaan mikro dan makro. 

Walaupun secara "de jure" Praktisi HRD di perusahaan sebagai perwakilan Manajemen, namun melalui Asosiasi atau Forum HRD yang ada, mereka bisa membuat rekomendasi objektif berdasarkan data dan fakta lapangan di dunia bisnis untuk kepentingan dan masa depan bipartit (Pengusaha & Pekerja), khususnya dalam aspek pengupahan.

2. Kembali ke formula Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dengan menyepakati aspek2 yang akan disurvey secara bersama-sama oleh perwakilan 5 (lima) "stakeholders" dalam Pentapartit, agar mendapatkan angka realistis dan sesuai dengan fakta dan kebutuhan sesungguhnya. Hal ini jika sudah disepakati, akan memberika  dampak positif terhadap motivasi, kinerja dan produktivitas Pekerja. Disamping itu, implementasi sistem "reward & punishment" harus ditegakkan secara konsisten oleh Perusahan, agar terjadi keadilan bagi semua Pekerja.

3. Pemerintah harus membuat pola sistem subsidi kepada pekerja, agar beban Pengusaha bisa dikurangi. Misalnya dalam hal subsidi biaya transportasi, perumahan, kesehatan, pendidikan serta sembako yang menjadi kebutuhan rutin Pekerja.

4. Perlu lebih memberdayakan dana iuran BPJS Ketenagakerjaan yang lumayan besar untuk membantu meringankan beban biaya atau turut serta memberikan subsidi kepada biaya2 rutin pekerja secara lebih massif, efektif dan signifikan.

5. Berikan kewenangan seluas-luasnya kepada Gubernur masing2 di wilayahnya untuk menetapkan Upah Minimum sesuai kondisi inflasi dan biaya hidup real.

Apapun caranya, penetapan Upah Minimum tak bisa lagi sekedar "business as usual" yang terus berulang setiap tahun tanpa ada solusi WIN-WIN bagi kepentingan Pengusaha dan Pekerja. Semoga permasalahan klasik UM ini bisa segera terselesaikan tuntas dan Pemerintah sebagai "Leading Sector" harus bisa berperan secara optimal dan maksimal untuk perbaikan dan kebaikan dunia ketenagakerjaan Indonesia.

Bekasi, 17 September 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)