DUET ANIES-MUHAIMIN: PENGKHIANATAN POLITIK ATAU KONSISTENSI PIAGAM KOALISI? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati moralitas dan etika politik)
Tak ada hujan, tak ada badai, jagat politik Indonesia diamuk keriuhan berita Anies akan berduet dengan Cak Imin dari PKB. Tentu saja banyak masyarakat kaget dan bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi dengan relasi internal Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) yang berisikan 3 Parpol (Nasdem, PKS & Demokrat)? Kenapa Koalisi yang digadang-gadang sangat solid dan sebentar lagi akan mengumumkan Cawapres Anies justru terbuka didepan publik malah rapuh dengan "pembelotan" Anies menggandeng Cak Imin? Bukankah dengan manuver dadakan tsb, Anies telah mengkhianati kesepakatan bersama KPP?
Lagi2, rakyat disuguhi pentas manuver politik yang menggerus logika dan akal sehat publik. Apa sebenarnya yang terjadi? Benarkah politik semata-mata hanya mengutamakan kepentingan tanpa peduli etika politik yang menjadi dasar moralitas untuk berkuasa? Siapa yang sebenarnya melanggar komitmen Koalisi? Atau ada intervensi Penguasa (Jokowi cawe2) dalam menduetkan Anies-Muhamin? Banyak interpretasi2 publik berseliweran atas fenomena politik di KPP ini.
KESANTUNAN POLITIK VS POLITIK NORMATIF
KPP dibangun melalui jalan terjal berliku. Kesepakatan 3 parpol KPP untuk menjadikan Anies menjadi Capres 2024 sudah disetujui secara bulat. Namun, untuk posisi Cawapres Anies, sejatinya belum tercapai kesepakatan "utuh dan bulat" untuk memberikan kewenangan penuh kepada Anies dalam memilih Cawapresnya sendiri. Hal ini terlihat jelas dari manuver terang2an Partai Demokrat untuk selalu memunculkan sosok AHY dalam beberapa pentas Anies di depan publik. Kita sering melihat, AHY mendampingi Anies di bbrp aktifitas publik. Bahkan disaat Anies berangkat dan pulang Umroh, AHY setia mengantar dan menjemput Anies. Ini menunjukkan keinginan dan harapan tinggi Demokrat untuk mempasangkan Anies-AHY.
Namun, AHY sepertinya terlihat masih kurang yakin dengan peluang Bacawapres Anies. Hal ini terlihat dengan manuver2 personal AHY dengan bertemu Puan dari PDI-P. Ini menunjukkan AHY "pasang kuda2" atau "worst case scenario" mencari peluang lain. Hal ini bisa jadi membuat Nasdem menjadi ragu atas komitmen utuh Demokrat di KPP. Sementara di pihak lain, Cak Imin berada dalam posisi tak jelas sebagai Cawapres Prabowo, terkait dengan bergabungnya Golkar dan PAN untuk mendukung Prabowo sebagai Capres 2024. Cak Imim tentu saja galau. Peluang dia untuk menjadi Cawpres Prabowo yang sudah dibangun sejak setahun lalu bisa ambyar.
Dari manuver2 politik yang dilakukan AHY ke PDI-P yang "dibalas" oleh Nasdem dengan menghubungi PKB untuk menduetkan Anies-Muhaimin, terlihat jelas konflik "duri dalam daging" antara Demokrat - Nasdem sudah "membusuk" dan akhirnya "meledak". Nasdem tak ragu memunculkan duet Anies-Cak Imin tanpa berkonsultasi dulu dengan dua Parpol lain (PKS & DEMOKRAT). PKS sepertinya sudah benar2 memberikan kewenangan penuh kepada Anies untuk melakukan apapun, agar mendapatkan pasangan terbaik. Namun Demokrat tak rela dengan penduetan Anies -Cak Imin, karena AHY justru sudah lebih banyak berkomunikasi dengan Anies dan memiliki peluang besar untuk menjadi Bacawapres Anies.
Benarkah manuver Anies dan Nasdem sebagai sebuah pengkhianatan politik? Bagi Demokrat, bisa saja memaknainya seperti itu. Tapi tidak bagi Nasdem dan Anies. Hal ini dikarenakan dalam salah satu kesepakatan di Piagam Koalisi tertulis jelas bahwa Anies diberikan kewenangan penuh memilih Bacawapres dan berhubungan dengan Parpol2 lain.
Namun bagaimanapun juga, etika, keadaban, moralitas dan kesantunan dalam berpolitik harus menjadi pedoman tertinggi. Bisa jadi secara normatif, ada kejelasan tertulis yang bisa dimaknai secara harfiah , namun relasi kemanusiaan yang berlandaskan saling menghormati, saling berkomunikasi, saling menghargai dan menjunjung tinggi etika dan kesantunan harus menjadi prioritas bersama.
Hukum dan norma2 tertulis yang kaku dan dimaknai demi kepentingan politik praktis pragmatis, justru akan merusak soliditas kebersamaan. Etika dan kesantunan yang mengutamakan komunikasi yang saling memberikan manfaat dan kesepahaman, justru akan memberikan dampak jangka panjang dalam membangun keberlanjutan Koalisi Politik.
Sangat disayangkan, hanya karena kesalahpahaman dan kurang memperhatikan etika, kesantunan dan fatsoen politik yang berlandaskan akal sehat, soliditas sebuah koalisi yang sudah dibangun "berdarah-darah" seperti KPP akhirnya ambruk.
Rakyat pendukung yang tadinya penuh harap untuk nantinya melabuhkan aspirasinya, makin galau dan bahkan mendapatkan persepsi penurunan kredibiltas kepada parpol2 yang menjadi harapan masa depan mereka. Konsistensi dalam politik tak lagi dihiraukan. Idealismepun tak punya tempat di ranah politik. Yang terjadi hanya kepentingan2 politik sesaat yang meminggirkan etika dan kesantunan publik. Kita tak lagi menemukan Politisi2 berjiwa negarawan. Yang muncul ke publik hanya manuver2 sesaat yang cuma mengejar kepentingan politik jangka pendek. Inikah pembelajaran politik yang kita wariskan kepada kaum generasi muda penerus cita2 bangsa?
"Politik tidak sekedar meraih kekuasaan dengan menjadikan kepentingan sebagai Panglima. Politik juga mengajarkan kita untuk tetap memiliki etika, moralitas dan kesantunan. Fakta politik adalah pelajaran nyata generasi muda untuk melanjutkan keberlangsung bangsa dan negara" - Dr. M. HATTA (Proklamator dan Bapak Bangsa Indonesia)
Bekasi, 31 Agustus 2023
Komentar
Posting Komentar