DUA POROS CAPRES & CAWAPRES: STRATEGI, POLARISASI ATAU PERTARUHAN KEDAULATAN RAKYAT? Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik Kebangsaan & Demokrasi)

 Hingar bingar pencarian Cawapres untuk Ganjar dan Prabowo yang tak juga tuntas, memunculkan issue baru untuk mempasangkan Ganjar & Prabowo menjadi Capres dan Cawapres 2024. Menetapkan siapapun menjadi Capres dan Cawapres, jauh lebih mudah daripada mencari Cawapres kedua Bacapres diatas. 

Hal ini dikarenakan masing2 Parpol anggota Koalisi Ganjar dan Prabowo memiliki kandidat yang diusung dan diharapkan bisa menjadi Cawapres. Walhasil, ide menduetkan Ganjar dan Prabowo cukup masuk akal. Toh kedua koalisi ini sejatinya juga kelanjutan dari koalisi "incumbent" yang dikomandoi Jokowi.

Malah dengan keberlanjutan "Koalisi Jokowi" ini, jauh lebih memberikan prospek dalam memenangkan Pilpres 2024. Apalagi soliditas koalisi ini sudah sangat teruji dengan peran serta aktif mereka dalam mendukung Pemerintahan Jokowi selama dua periode.

Kenapa muncul ide satu poros koalisi pendukung Ganjar-Prabowo untuk melawan Anies-Muhamin? Apakah karena terjadi "deadlock" di masing2 kubu koalisi Ganjar dan koalisi Prabowo dalam menetapkan Cawapres atau atas arahan "Pak Lurah"? Sejauh mana kemungkinan terwujudnya ide koalisi Ganjar-Prabowo untuk bersatu? Bukankah ide tersebut cuma mencari jalan keluar kedua koalisi agar tetap solid atau justru membuat polarisasi baru "cebong-kampret" di Pilpres 2024?

KEMBALIKAN MARWAH KEDAULATAN RAKYAT

Sejatinya, sistem demokrasi memfokuskan kepada aspirasi dan pilihan rakyat secara bebas, jujur dan terbuka dalam memilih wakil mereka di Parlemen dan Presiden - Wakil Presiden di Pemilu dan Pilpres.

Indonesia adalah negara hukum sekaligus negara demokrasi. Salah satu ciri negara demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Pernyataan tersebut tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16 yang dikenal sebagai bapak demokrasi menjelaskan, demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam hal ini, rakyat memiliki kebebasan dalam berbagai lini kehidupan, termasuk aktivitas politik.

Pada hakikatnya, kekuasaan suatu negara demokrasi berada di tangan rakyat untuk kepentingan bersama. 

Di Indonesia, penerapan demokrasi didasari oleh Pancasila sila keempat yang berbunyi "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan" yang dijiwai oleh sila pertama, kedua, ketiga, dan kelima.

Namun faktanya, kedaulatan ditangan rakyat tersebut makin terbatas dan dibatasi oleh UU Pemilu dan Pilpres. Rakyat yang berdaulat, seharusnya diberikan ruang seluas-luasnya untuk mencalonkan dan memilih calon pimpinan negaranya. Faktanya justru sebaliknya. 

Parpol2 melalui koalisi, berkolaborasi dan bersinergi untuk kepentingan pragmatisme politik mereka untuk menentukan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden. Pencalonan Presiden dan Wapres oleh Parpol atau Koalisi harus minimal 20% kursi di Parlemen atau 25% suara secara nasional. 

Hal ini tentu sangat memberatkan dan hanya menguntungkan Parpol2 besar untuk mencalonkan Presiden dan Wapres. Koalisi terkesan untuk kepentingan jangka pendek yang "saling-menguntungkan", bahkan makin mempersempit ruang bagi kandidat2 potensial lain untuk bisa maju. 

Walhasil, negosiasi politik level elite parpol terlihat sangat "egois" dan meninggalkan aspirasi dan kedaulatan rakyat. Tak masuk akal negara dengan jumlah penduduk 270 juta Jiwa hanya (jika jadi) disodori dua pasang Capres dan Cawapres. 

Sederhananya, rakyat "ditodong" secara politik dan tak diberikan ruang untuk memilih kandidat lain yang mungkin bisa jadi akan menjadi pilihan mereka. Kedaulatan rakyat telah dibajak! Rakyat tak berkutik dan tak bisa berbuat apa2.

Terkesan sekali politik di negeri ini hanya dikuasai segelintir kaum elite politik yang berkuasa. Model ini tentu secara perlahan akan bahkan telah mematikan elan demokrasi. Rakyat hanya menjadi "tukang pilih" dan tak punya pilihan lain. Bisa jadi dengan terbentuknya hanya dua poros, justru kembali mentradisikan polarisasi "cebong-kampret" sebagaimana Pilpres dan Pemilu 2019 lalu.

Tak ada pilihan lain, DPR  dan Pemerintahan hasil Pemilu 2024 harus merevisi UU Pemilu dan UU Pilpres secara komprehensif. Buka mata, hati, telinga dan rohani anda agar semua keinginan rakyat bisa terserap kedalam aturan UU yang menjadi acuan hukum dalam negara demokrasi. 

Masa depan negeri ini akan dilanjutkan oleh Generasi muda sekarang! Ajari mereka berdemokrasi yang baik dan benar! Demokrasi bukan kekuasaan elitisme, namun kedaulatan rakyat yang menyerap sebesar-besarnya aspirasi dan menjadikan rakyat sebagai pertaruhan politik kebangsaan di negeri ini. 

Kita semua akan secara bergiliran untuk meninggalkan dunia fana ini. Wariskan sistem, aturan dan etika politik kebangsaan yang memberikan pembelajaran dan kebaikan untuk kemajuan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Bukan mewariskan keberlangsungan dan keberlanjutan sistem dinasti politik yang anti demokrasi. 

Berikan ruang dan tempat berkompetisi dalam politik secara lebih profesional, beretika dan berakhlak kepada setiap warga negara yang mampu! Negeri ini milik kita bersama, bukan milik sekelompok orang. Jika rakyat diam, belum tentu mereka setuju. Bisa jadi mereka tak punya daya. Namun mereka berhak bersuara. Suara hati nurani terdalam. 

Jika kesewenang-wenangan sudah merusak tata nilai dan ketentraman batin rakyat, tentu saja hal2 yang tak kita inginkan bisa saja terjadi. Kita tak menginginkan hal itu. Yang kita impikan kedaulatan rakyat terwujud secara proporsional dan adil. 

Mari kita semua berkomitmen membangun sistem politik yang santun, beretika, bermoral dan menjadikan kompetensi sebagai dasar persaingan politik yang sehat. Bagaimana bisa menjadi wakil rakyat dan Pemimpin yang baik dan benar, jika proses mendapatkannya saja sudah dilakukan dengan penuh kecurangan dan melanggar norma & kaedah etika serta aturan yag berlaku?

"Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya.― Mohammad Hatta. Pejuang, negarawan, ekonom, dan juga Wakil Presiden Indonesia 1902-1980.

Bekasi, 24 September 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)