SILAKAN MANUVER POLITIK, TAPI UTAMAKAN TANGGUNGJAWAB SEBAGAI PEJABAT PUBLIK Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Sospol, Ketenagakerjaan dan Hukum)
Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP) yang digagas Surya Paloh, telah terbentuk beberapa bulan lalu. Tiga Parpol yakni Nasdem, Demokrat dan PKS sepakat mengusung Anies Rasyid Baswedan menjadi Capres 2024. Namun, sampai saat ini Cawapres Anies masih belum ada kejelasan. Kesepakatan untuk mengusung Anies menjadi Capres 2024 sudah dilakukan sejak awal 2023 oleh ketiga Parpol diatas. Rakyat menunggu kepastian, siapa Cawapres Anies yang akan dipilih dan ditetapkan Anies sebagaimana sudah disepakati tiga parpol tersebut, bahwa Anies diberikan kewenangan mutlak untuk memilih pendampingnya di Pilpres 2024.
Begitu pula Ganjar Pranowo. PDIP dengan didukung beberapa Partai, seperti Perindo, PPP dan Hanura, juga sudah mengumumkan beliau secara resmi sebagai Capres 2024. Artinya, dukungan terhadap Ganjar sudah lebih dari cukup, jika dikaitkan dengan aturan 20% "Presidential Threshold". Namun, Cawapres Ganjar juga belum diumumkan ke publik sampai saat ini.
Berikutnya Prabowo Subianto. Sesuai hasil kesepakatan Partai Gerindra dengan PKB, mereka melalui Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) mengusung dan mencalonkan Prabowo-Muhaimin sebagai Capres dan Cawapres 2024. Namun, Koalisi ini dinilai masih rapuh, karena sudah hampir setahun belum ada kepastian resmi Muhaimin Iskandar sebagai Cawapres Prabowo. Tampaknya, Partai Gerindra masih memiliki alternatif lain untuk mencari Cawapres Prabowo yang lebih pas sesuai harapan dan keinginan elite internal Partai Gerindra.
PKB mulai meradang dengan situasi ketidakpastian ini. Bak kata pepatah minang "gantung tak bertali, berdiri tak bertanah", sejumlah kalangan di internal PKB mulai melirik pilihan koalisi berbeda bersama Parpol2 lain, agar sang Ketua bisa mulus menjadi Cawapres. Muhaimin sejak awal memang digadang-gadang oleh PKB menjadi Capres 2024. Namun dikarenakan elektabilitas yang rendah, level pencalonanpun didegradasi menjadi Cawapres.
Lantas, kenapa sampai sat ini ketiga Capres terkuat tersebut masih belum juga menetapkan Cawapresnya masing2. Apa yang melatar-belakangi mereka masih menunda pengumuman calon pendamping di Pilpres 2024? Apakah dikarenakan banyaknya tokoh2 yang ingin menjadi Cawapres atau memang strategi politik Parpol untuk melihat reaksi masyarakat alias "testing the water" sebelum benar2 mendapatkan Cawapres yang tepat dan sesuai harapan rakyat pemilih?
MANUVER, TAWAR-MENAWAR POLITIK & TANGGUNGJAWAB SEBAGAI PEJABAT PUBLIK
Kekuasaan dan jabatan politik memang sangat menggiurkan! Karena dengan kekuasaan, semua sumber daya yang ada bisa "dikuasai bahkan dimiliki" oleh Pemegang Kekuasaan.
Tak pelak lagi, semua Parpol bersama elite partai berjuang "all out" agar calon legislatif dan Capres-Cawapres mereka bisa duduk sebagaimana diharapkan. Segala cara dilakukan, agar jabatan impian tersebut bisa diraih. Bahkan, pesan etika politik "kotor" dari Niccolo Machiavelli pun dilakukan demi meraih kekuasaan. Etika dan moralitas standar publik tak lagi menjadi acuan. Yang ada hanya "etika dan moralitas" politik ala Machiavellisme.
Alotnya proses tawar-menawar politik oleh masing2 Parpol dan kelompok pendukung tokoh2 potensial untuk mengajukan masing2 kandidatnya untuk menjadi pasangan ketiga Capres (Ganjar, Prabowo dan Anies) menunjukkan proses tawar-menawar politik masih tetap berlangsung. Berdasarkan pemetaan pengkubuan Capres 2024, memang secara "de facto" hanya ada tiga kubu Capres sesuai survey elektabilitas banyak lembaga survey. Diluar ketiga kandidat terkuat Capres tersebut, sepertinya memang tak ada tokoh lain yang memiliki potensi untuk mendapatkan dukung menjadi Bacapres 2024. Hal ini dikarenakan elektabilitas mereka yang jauh sangat rendah. Walhasil, mereka merubah target dengan "hanya" akan menjadi Cawapres untuk salah satu dari 3 Capres diatas. Disinilah intens terjadi "tawar-menawar dan negosiasi politik" oleh masing2 Parpol dan koalisi terhadap Bacapres2 yang ada.
Sampai detik ini, manuver2 politik dengan model pencitraan didepan publik, saling berkunjung ke tokoh2 nasional dan tokoh politik, makan siang bersama "by design", bahkan merapat ke Presiden Jokowi, dianggap sebagai elemen2 penting untuk melihat respon publik.
Rakyat setiap hari disuguhi kegiatan2 manuver politik para tokoh yang berlomba-lomba mencari simpati Parpol dan Koalisi yang sudah terbentuk. Parahnya, kegiatan manuver berbau politis tersebut justru lebih kental dan menonjol dibanding mereka lebih fokus ke tugas pokok dan tanggungjawab sebagai Pejabat Publik yang digaji dan difasilitasi dari uang rakyat. Politik "aji mumpung" dengan memanfaatkan jabatan publik dan fasilitas negara digunakan seoptimal dan semaksimal mungkin. Elan tanggungjawab terhadap tugas negara yang dimandatkan telah dilupakan. Orientasi dan target mereka, bagaimana bisa menjadi Cawapres dari ketiga tokoh Capres terkuat tersebut.
Satu hal lain yang patut kita sayangkan, Presiden Jokowi sebagai Kepala Pemerintahan dan Kepala Negara yang harusnya netral, fair dan adil kepada semua bacapres dan bacawapres justru ikut "cawe-cawe" secara terbuka dan aktif mendukung Capres tertentu. Rakyat makin bingung dengan manuver2 politik elite2 negara yang terkesan lebih fokus meraih ambisi kemenangan di Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang.
Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sebagaimana disebutkan pada salah satu Pasal UUD 1945 hanya menjadi penonton pasif yang tak punya kuasa apa2. Padahal dari suara merekalah Para Pemimpin dan Anggota Legislatif bisa duduk manis di kursi jabatan publik yang menggiurkan tersebut. Terlihat sekali aura politik di negeri ini hanya "milik" segelintir kelompok via Partai Politik dan Pejabat Publik yang aji mumpung.
Akhir dari tulisan ini, kita menghimbau dan berharap kepada elite partai dan pejabat2 pemerintah yang sedang berkuasa agar tetap fokus kepada tugas2 utama sebagai Pejabat publik. Masih banyak permasalahan ekonomi, pendidikan, budaya dan kesejahteraan rakyat yang harus ditangani dan diselesaikan saat ini. Mencalonkan diri sebagai Capres dan Cawapres ketika masih menjabat resmi di jabatan publik, sangat rawan untuk disalahgunakan dan berdampak kepada keberlangsung penyelenggaraan negara.
Selayaknya, jika pejabat publik mencalonkan diri untuk jabatan Presiden, Wakil Presiden dan Anggota Legislatif, harus melepaskan jabatan tersebut, agar bisa benar2 fokus untuk melakukan kegiatan meraih jabatan yang diinginkan tersebut, bukan malah terkesan menjadikan jabatan publik sebagai aji mumpung untuk memanfaatkan kekuasaan yang ada untuk meraih impian kekuasaan berikutnya.
"Politik adalah cara merampok dunia. Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa". ― W.S. Rendra (1935-2009)
Komentar
Posting Komentar