LGBT, KITA & MASA DEPAN ANAK BANGSA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pembelajar Seumur Hidup)

 Kita patut bersyukur kepada Allah Swt dan mengucapkan Alhamdulillah, karena rencana pertemuan kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual & Transgender) se ASEAN yang akan diadakan bulan Juli 2023 akhirnya batal diselenggarakan di Indonesia. 

Pembatalan ini sudah diduga sebelumnya, karena kaum LGBT tak akan mendapat tempat di Negara yang berlandaskan kepada ideologi negara PANCASILA, Hukum Dasar alias Konstitusi UUD 1945 dan mengakui 6 (enam) agama resmi yang dianut total penduduk no 4 di dunia ini.

Di sejumlah negara2 di benua Eropa, Amerika, Australia, Afrika bahkan bbrp negara Asia, LGBT mulai diakui negara sebagai kelompok terpinggirkan yang membutuhkan pengakuan resmi sesuai asas Hak Asasi Manusia. Prinsip dasar kebebasan Individual di sejumlah negara yang menganut paham liberalisme bahkan ateisme tersebut, menjadi bagian terpenting dalam memberikan penghormatan dan pengakuan terhadap keyakinan dan keinginan individu secara personal. 

Namun, situasi dan kondisi tersebut tak bisa langsung diimplementasikan untuk semua negara di dunia. Masing2 negara memiliki aturan hukum dan landasan filosofis berbangsa dan bernegara yang berlatar belakang sejarah politik kebangsaan yang unik dan historis.

Simpul sejarah perjuangan kaum LGBT sedunia untuk selalu mendapatkan pengakuan secara resmi, selalu penuh dinamika dan memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum muda khususnya generasi milenial. Hal ini dikarenakan konsep LGBT mengedepankan konsep sikap perlawanan atau kaedah anti mainstream, dimana mereka menabrak secara terang2an kodrat ilahi yang hanya membagi jenis kelamin dan ketertarikan sexual manusia menjadi 2 (dua) yakni kaum Adam dan kaum Hawa.

Dengan menggunakan konsep dan "mindset" perlawanan atas status quo yang kaku dan tak memiliki variasi sexual tersebut, kaum LGBT ini konsisten dengan keberbedaan tajam dalam penerapan relasi sexual sesama jenis. Mereka menjadikan perilaku menyimpang yang mengikuti hasrat psikologis-irrasional tersebut sebagai sebuah "trend" yang dianggap sebagai keberadaan normal dan wajar yang harus mendapatkan pengakuan resmi, seperti juga hubungan sexual bagi jenis kelamin yang berbeda.

Lantas, kenapa "trend" LGBT makin "menggila", agresif dan merebak secara massif ke seluruh penjuru dunia dengan bendera warna pelangi tersebut? Apa motif utama mereka untuk selalu konsisten melakukan ekspansi "ideologi" sesat tersebut ke negara2 lain, khususnya negara yang menjadikan agama sebagai dasar dan sendi2 kehidupan dan bermasyarakat? 

TANTANGAN ERA DIGITAL VS KONTEKSTUALISASI AGAMA

Era digitalisasi, revolusi 4.0 dan society 5.0 saat ini sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup dan kehidupan masyarakat. Teknologi informasi dan komunikasi sudah menjadi sarana publik yang penting dan handal dalam mendukung setiap aktivitas relasi bisnis, pendidikan, sosial, politik, pertahanan dan keamanan, dan aspek2 lainnya.

Serbuan arus informasi2 yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan, tentu berdampak positif terhadap peningkatan wawasan, pengetahuan, peradaban dan kompetensi seluruh anak bangsa. Namun, informasi2 "sampah" yang memberikan dampak buruk bahkan merusak mentalitas generasi muda, sungguh sebuah bencana teknologi yang harus diantisipasi secara terencana & komprehensif. 

Semua "stakeholders" yang memiliki tanggungjawab moral untuk keberlangsungan peradaban bernuansa religius yang anti terhadap kesesatan dan penyesatan ajaran agama, harus segera merumuskan langkah2 strategis yang implementatif. Peran orang tua, kaum ulama, tenaga pendidik, apalagi Pemerintah sebagai "leading sector" dalam mengelola negara, harus lebih pro-aktif melakukan identifikasi permasalahan, agar bisa menyusun dan merumuskan strategi dan langkah2 antisipasi jangka panjang yang efektif.

Keberadaan Agama harus dijadikan pedoman utama yang efektif dan implementatif dalam mengantisipasi masuknya anasir2 toxic negatif yang merusak sendi2 kehidupan masyarakat yang religius dan berkeadaban.

Formalisme dan seremoni ritual yang menjadi tiang agama sebagai rutinitas keseharian, harus diejawantahkan secara lebih "membumi" dan lebih kontekstual, agar benar2 mampu menangkal "arus sesat" dan penyesatan konsep sexualisme kepada kaum generasi muda dan milenial.

Pendekatan ritual-formal  dalam memberikan edukasi kepada generasi muda dan milenial tersebut harus dikombinasikan dengan contoh2 nyata positif dan teladan kehidupan dari kaum tua dan elite bangsa.

Retorika kosong tanpa kebenaran faktual akan menciptakan aura ketidakpercayaan terhadap apapun yang akan disampaikan kepada generasi muda dan milenial. Mereka butuh keteladanan. Mereka butuh kredibilitas dan satu kata dengan perbuatan (walk the talk), bukan NATO alias No Action Talk Only.

Keterpurukan implementasi nilai2 etika dan moralitas anak bangsa akhir2 ini tak bisa dilepaskan dari peran dan perilaku orang tua dan elite bangsa yang sering mempertontokan watak dan tabiat kemunafikan. Apa yang mereka pelajari di sekolah dengan segudang materi pelajaran teoritikal yang bernuansa idealistis, ternyata jauh berbeda di alam nyata saat mereka lulus dan menjadi bagian dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan.

Dengan model kontekstualisasi agama yang rill dan keteladanan nyata yang positif, diharapkan generasi muda milenial anak bangsa tak akan terpengaruh oleh ideologi sesat LGBT yang jelas2 anti ajaran agama, anti Pancasila dan anti adat istiadat serta tradisi luhur budaya bangsa yang sudah berlangsung secara turun-temurun.

Tak ada ruang sekecil apapun bagi kaum sesat LGBT di Indonesia sampai kapanpun. Indonesia memang bukan negara agama, namun negeri ini berlandaskan kepada ajaran2 agama yang selalu hidup ditengah-tengah masyarakat. Mentolerir, menerima bahkan mengakui LGBT dengan alasan apapun, berarti melanggar hukum positif, ajaran agama dan dasar negara Pancasila yang menempatkan KETUHANAN sebagai sila pertama. Artinya, segala sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat di negeri ini harus selalu berdasarkan dan berpedoman kepada 6 (enam) ajaran2 agama yang diakui secara resmi di negeri nusantara tercinta ini.

"Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat(mu), bukan (mendatangi) perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)." - Al Qur'an Surat An Naml Ayat 55

Bekasi, 13 Juli 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)