Heboh 27M, Kredibilitas Kabinet & Pemberantasan Korupsi Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Sospol, Hukum & Ketenagakerjaan)
Menpora Dito disebut-sebut dalam proses hukum kasus korupsi BTS di Kejagung RI. Kasus BTS yang merugikan negara 8T tersebut telah menyeret Johny G Plate - Menkominfo sebagai tersangka. Kasus korupsi ini bisa disebut sebagai salah satu Mega Korupsi yang banyak merugikan uang negara. Kejagung bergerak cepat dengan mentersangkakan JGP Politikus Partai Nasdem. Walhasil, relasi politik Nasdem dengan Pemerintahan Koalisi yang dinakhodai Jokowi menjadi buruk.
Menpora Dito disebut telah menerima dana 27M terkait kasus korupsi BTS. Menurut informasi dari Kejagung RI, Dito akan dipanggil sebagai saksi pada Senin/10 Juli 2023. Kasus ini kedepan akan makin banyak mengungkap siapa saja elite politik yang terlibat. Sudah pasti JGP tak mau menerima risiko sendirian. Dia akan "bernyanyi" merdu dengan menyebut satu-persatu orang2 yang terlibat. Hal ini bisa jadi sebagai tindaklanjut sang Ketua Umum Partai Nasdem yang meminta agar kasus korupsi ini dibuka seterang-terangnya tanpa pandang bulu.
Menpora Dito masih tergolong Menteri baru di kabinet Pemerintahan Jokowi. Beliau diangkat sebagai pengganti Zainuddin Amali yang mundur untuk berikutnya menjadi Wakil Ketua Umum PSSI yang mendampingi Erick Tohir sebagai Ketum PSSI. Lalu, apa harapan kita terhadap Kejaksaan Agung RI dalam menangani kasus yang menghebohkan dunia perpolitikan di tanah air ini?
TANTANGAN KEMANDIRIAN KEJAGUNG & KREDIBILITAS PEMERINTAH
Kejaksaan Agung RI sebagai salah satu lembaga penegak hukum yang mewakili Pemerintah dalam melakukan penyidikan terhadap saksi2 kasus korupsi BTS ditantang untuk mampu mandiri, objektif dan profesional.
Sebagai lembaga hukum yang berada secara langsung dibawah Presiden, tentu saja penanganan kasus korupsi BTS ini bak makan buah simalakama bagi Kejaksaan Agung RI.
Namun, sebagai lembaga yang diberikan amanah oleh negara, Kejagung RI harus selalu berpedoman pada prinsip2 dan asas2 negara hukum, dimana supremasi hukum alias "supremacy of law" harus ditegakkan.
Jika Kejagung RI berani, gamblang dan lugas dalam memproses secara hukum kepada JGP, maka proses penyelidikan dan penyidikan kepada Menteri2 lain yang mungkin terlibat dalam kabinet Jokowi bahkan kepada elite parpol lainpun, harus juga dilakukan secara adil, objektif dan profesional.
Presiden Jokowi harus menunjukkan sikapnya kepada publik bahwa penegakkan hukum, khususnya kejahatan "extraordinary crime" seperti kasus korupsi adalah kejahatan yang sangat merugikan keuangan negara dan tak bisa ditolerir. Proses hukum harus dijalankan secara benar, adil, tanpa diskriminatif dan transparan.
Asas "presumption of innocence" harus dijadikan landasan dalam proses penyelidikan dan penyidikan sampai di meja hijau. Artinya, setiap warga negara, apapun jabatannya, siapapun dia, jika diproses secara hukum harus dihargai hak2nya sebagai orang yang belum bersalah.
Selain itu, prinsip "equality before the law" atau persamaan dihadapan hukum juga harus diimplementasikan secara tegas, adil dan transparan. Semua orang, siapapun dia, apapun jabatannya, tak ada yang kebal hukum. Jika melanggar hukum, ada bukti hukum yang kuat, wajib diproses sesuai aturan hukum positif yang berlaku.
Pemerintahan Jokowi harus memberikan ruang gerak seluas-luasnya kepada Kejaksaan Agung RI untuk melaksanakan proses hukum secara independen dan tanpa tekanan dari elemen apapun di internal Pemerintah maupun eksternal seperti elite Partai2 Politik, khususnya Parpol anggota Koalisi Pemerintah yang sedang berkuasa (the ruling parties).
Tak ada pilihan lain selain memproses semua pihak yang diduga terlibat dalam kasus korupsi BTS tersebut seadil-adilnya, transparan dan profesional. Bisa jadi kasus BTS ini menjadi warisan sangat bernilai bagi Pemerintahan Jokowi dalam penegakkan hukum, khususnya pemberantasan korupsi sebelum beliau mengakhiri masa jabatan Presiden di akhir 2024 nanti.
Kasus korupsi BTS bisa memberikan 2 pesan dan ujian kepada pemerintah: Berani bersikap dan bertindak tegas, tanpa pandang bulu dan profesional dalam penegakkan hukum & pemberantasan korupsi atau mempertontonkan kepentingan politik praktis-pragmatis menuju 2024 dengan melakukan diskriminasi dan intervensi hukum untuk elite parpol pendukung pemerintah dalam koalisi.
"Jika Anda harus melanggar hukum, lakukanlah untuk merampas kekuasaan yang korup; untuk kasus-kasus lain pelajarilah lebih dulu." - Julius Caesar
Bekasi, 08 Juli 2023
Komentar
Posting Komentar