STRATEGI PENCITRAAN DIRI: PERLUKAH KOMPETENSI? Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Sosial-Politik, Hukum & Ketenagakerjaan)

 Era sekarang adalah era pencitraan. Sistem demokrasi yang mengakui kebebasan, keberagaman dan penyampaian pendapat oleh setiap orang, diberikan ruang yang pasti, sebagai bentuk dari kedaulatan rakyat yang menjadi prinsip utama demokrasi.

Sistem demokrasi berbeda dengan otokrasi atau diktator seperti di era Soeharto (1966 sd 1998), dimana kebebasan berpendapat dan mempromosikan diri adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan. Hanya Penguasa beserta lingkaran kekuasaan yang boleh mencitrakan diri di media massa. Pencitraan diri oleh orang lain, apalagi menyampaikan pendapat yang berbeda bahkan kritik, adalah sesuatu yang tabu.

Sejak runtuhnya Pemerintahan orde baru pada 1998, semuanya berubah total. Kebebasan berpendapat, mengekspresikan diri serta melakukan kritik kepada Penguasa menjadi sesuatu yang lazim dan dilindungi oleh UU. Parpol2 yang di era orba hanya boleh 3 (tiga) Partai Politik, di era reformasi muncul puluhan parpol.

Sejak 1998, rezim yang berkuasa silih berganti. Dimulai dari BJ Habibie, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sampai Joko Widodo. 

Nuansa perpolitikan di era reformasi bak siang dan malam jika dibandingkan dengan era orba yang sangat "sentralistik", ororiter bahkan diktator. Di era revolusi industri 4.0 yang disusul dengan "society 5.0 ini, kecanggihan teknologi informasi (IT) makin menyeruak dan membuat setiap orang memiliki ketergantungan kepada gadget yang menjadi sumber segala informasi dan komunikasi inter personal.

Jika dikaitkan dengan sistem demokrasi terbuka yang memberikan peluang besar setiap orang untuk mencitrakan dirinya ke masyarakat umum melalui teknologi informasi, perlukah kompetensi diri menjadi salah satu kunci atau cukup promosi pencitraan kosong sebagai solusi?

PENCITRAAN DIRI YANG MEMARJINALKAN KOMPETENSI

Sekarang ini, untuk menjadi Pejabat di level Walikota, Bupati, Gubernur bahkan Presiden sekalipun, strategi pencitraan diri menjadi solusi pasti agar dikenali para pemilih. Anda tak harus pintar atau memiliki segudang gelar akademis yang diraih dengan berdarah-darah. Cukup dengan modal besar, dukungan jaringan luas, apalagi keturuan trah Pejabat yang sedang berkuasa, bisa menjadi Walikota, Bupati, Gubernur bahkan Presiden di Republik tercinta ini.

Masyarakat kita yang mayoritas masih berpendidikan rendah (lulusan SD dan SMP sekitar 70%) dan berlevel ekonomi rendah, tak berfikir panjang untuk memilih calon Pemimpin mereka. Mereka cukup tahu nama, anak siapa dan dari partai mana, plus selipan amplop dengan nilai seikhlas dan secukupnya, pasti akan mengingat dan memilih calon tsb.

Mayoritas pemilih tak butuh pengecekan "track record", kinerja, pendidikan dan prestasi si calon. Jika mereka sudah kenal melalui pola pencitraan diri via baliho, media "mainstream" dan media sosial,  bisa saja akan terlena dan mendapatkan tempat di hati dan fikiran mereka.

Mayoritas pemilih tak peduli bagaimana si calon sudah menjabat nanti. Yang penting kenal dan terkenal menjadi dasar memilih. Urusan kinerja dan kompetensi bukan kepentingan mereka. Dalam fikiran mereka, jika si calon sudah menjabat jabatan publik, nanti ada para elite di lingkaran kekuasaannya yang akan melakukan kontrol dan sejenisnya.

Strategi pencitraan diri sangat dipahami oleh para Politisi untuk meraih mimpi. Mereka berlomba dengan sepenuh hati, agar misi dramatisasi diri tersebut bisa berhasil dan membawa rezeki. Walhasil, kita banyak melihat Pejabat2 publik yang muncul dari hasil pencitraan diri. Urusan kompetensi alias "the right man in the right place" adalah urusan nanti. 

Mulai saat ini, rakyat kita khususnya para pemilih, harus benar2 menyelidiki kompetensi dan prestasi seorang calon Pejabat publik. Tak cukup menjadi Pejabat publik yang memimpin wilayah dengan kompleksitas tinggi, hanya diisi oleh Politisi karbitan hasil pencitraan dramatisasi bahkan nepotisme dinasti.

Negeri ini membutuhkan orang2 berkompetensi untuk bisa menyelesaikan segudang permasalahan bangsa agar bisa mencari solusi. Pencitraan diri bukan tindakan haram dalam meraih simpati pemilih. Namun, basis kompetensi harus dijadikan prioritas dalam memilih Pemimpin handal, berintegritas, memiliki visi dan gagasan cerdas dan profesional, agar setiap masalah bangsa ini bisa diselesaikan secara tuntas!

Di masa lalu, pemimpin adalah bos. Namun kini, pemimpin harus menjadi partner bagi mereka yang dipimpin. Pemimpin tak lagi bisa memimpin hanya berdasarkan kekuasaan struktural belaka - Erich Fromm

Bekasi, 25 Juni 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)