Kesetaraan, Kesejahteraan & Kompetensi Karyawan Di Era Digital
Masalah
ketenagakerjaan di Indonesia selalu menjadi berita menarik dan tak penah terselesaikan
secara tuntas. Tarik-menarik kepentingan antara kaum pengusaha dan kelompok
serikat pekerja terkait dengan harmonisasi hak dan kewajiban dalam kerangka
hubungan industrial, sudah menjadi isu klasik yang tak berujung. Masing-masing
pihak memiliki cara pandang atau persepsi berbeda dalam mensinergikan dan
mengimplementasikan sistem dan mekanisme hubungan industrial.
Pengusaha
masih melihat para pekerja sebagai bagian yang tak terpisahkan dari biaya
produksi alias ‘production cost’ dalam proses bisnis. Selain itu, Pekerja juga diposisikan
sebagai ‘objek’, bukan ‘subjek’ dalam manajemen bisnis perusahaan. Apalagi dianggap sebagai salah satu asset
perusahaan penting yang menjadi ‘tulang punggung’ atau backbone dalam
menjalankan proses bisnis meraih tujuan yang diharapkan.
Sementara,
pihak Pekerja melihat bekerja masih sebatas mencari nafkah lahir alias memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari, namun belum memikirkan peningkatan kompetensi,
kinerja dan produktivitas yang berdampak langsung terhadap profitabilitas
perusahaan. Bekerja belum dijadikan ajang memberikan kontribusi terbaik,
berkreasi dan berinovasi untuk mendukung gerak langkah perusahaan dalam
menghadapi kompetisi bisnis yang makin ketat.
Lemahnya
posisi tawar pekerja (bargaining position) dalam proses dan mekanisme hubungan
industrial, khususnya terkait dengan tuntutan hak dasar dan kesejahteraan,
menempatkan kaum pekerja di posisi yang kurang menguntungkan. Jumlah usia
angkatan kerja yang relatif melimpah, namun tidak dibarengi dengan kualitas,
kapabilitas, pendidikan dan kompetensi yang memadai, menjadikan mereka harus
menerima apa adanya, asalkan bisa bekerja.
Walhasil,
prinsip kesetaraan antara pengusaha dengan pekerja dalam konsep hubungan
industrial masih sebatas impian dan belum terwujud menjadi sebuah keseimbangan
yang berdampak langsung terhadap peningkatan bisnis dan kesejahteraan kedua
belah belah pihak.
Di era
revolusi 4.0 dan society 5.0, dinamika hubungan industrial terus bergulir
seiring dengan perkembangan dunia usaha & dunia industri yang makin ketat.
Kemajuan teknologi digitalisasi berdampak langsung kepada optimalisasi Sumber
Daya Manusia (SDM). Hal tersebut tentu saja berpengaruh langsung terhadap tingkat
pengangguran. Teknologi otomasi, digitalisasi dan artificial intelligence
(AI) yang makin massif, telah secara langsung menggantikan tenaga manusia.
Model
bisnis padat karya yang banyak menggunakan pekerja, digantikan/tergantikan oleh
teknologi canggih yang akurat, cepat, efektif dan maksimum. Ironisnya, disaat
jumlah tenaga kerja meningkat, percepatan kemajuan teknologi canggih justru
meminimalisir penggunaan tenaga manusia. Hal ini menjadi tantangan yang harus
dicarikan solusinya oleh semua “stakeholder” dunia usaha dan dunia industri,
khususnya dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Lalu, apa langkah-langkah efektif
yang bisa dilakukan untuk mengatasi permasalahan hubungan industrial dan
tantangan era digitalisasi yang cenderung dehumanisasi tersebut?
Dimensi kesetaraan adalah salah satu prinsip utama dalam sistem dan mekanisme Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Hal ini bisa kita lihat pada Pasal 6, UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dimana disebutkan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari Pengusaha”.
Program kesejahteraan karyawan dapat mencakup berbagai hal selain memberikan upah layak dan tunjangan yang adil-proporsional, seperti program kesehatan melalui BPJS Kesehatan atau asuransi Kesehatan swasta, pengadaan klinik di perusahaan, ‘regular medical check up’, ‘loan policy’, program umroh, family gathering, yearly event for appreciation, senam sehat rutin, dan lain-lain sebagainya.
Sementara itu, budaya perusahaan yang sehat dapat dibangun dengan mempromosikan praktik kerja yang sehat, memberikan akses ke sumber daya yang mendukung kesejahteraan karyawan, dan memberikan penghargaan dan pengakuan atas kontribusi karyawan yang berprestasi.
Program kesejahteraan karyawan adalah investasi jangka panjang bagi perusahaan, karena dapat meningkatkan kinerja karyawan, motivasi dan produktivitas serta mempertahankan karyawan yang berkinerja baik. Dengan memberikan akses ke sumber daya dan fasilitas yang mendukung kesejahteraan karyawan, perusahaan dapat membantu karyawan merasa dihargai dan diakui atas kontribusi mereka, serta memotivasi mereka untuk terus meningkatkan kinerja mereka.
Peningkatan Kompetensi Karyawan
Pakar Manajemen Stephen Robin mengatakan, kompetensi adalah suatu keahlian atau kapasitas setiap orang untuk mengerjakan tugas-tugas dalam suatu pekerjaan, yang mana kemampuan tersebut didasarkan pada factor pisik dan intelektual.
UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan bahwa kompetensi adalah kemampuan seseorang mengenal wawasan, ketrampilan, sikap kerja yang sesuai dengan standar atau aturan yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Perusahaan harus menyusun program-program yang bisa meningkatkan kompetensi karyawan. Misalnya membuat program pelatihan yang berdasarkan atas Analisa kebutuhan pelatihan atau ‘training need analysis’, agar tujuan pelatihan untuk meminimalisir ‘gap’ yang dibutuhkan untuk menjalankan tugas dan pekerjaan.
Selain
itu, penambahan tugas dan tanggungjawab kerja kepada karyawan yang berkinerja
baik, akan memberikan rasa percaya diri bagi karyawan tersebut untuk memberikan
kontribusi terbaik kepada perusahaan.
Penciptaan
lingkungan kerja yang kondusif, dimana tercipta keterbukaan, saling menghormati
dan menghargai antara sesama karyawan serta komunikasi yang efektif, akan
memberikan rasa keterikatan atau “engagement” karyawan terhadap perusahaan.
Peran atasan dalam penciptaan lingkungan kondusif sangat penting, karena atasan
memiliki pengaruh yang bisa diikuti oleh seluruh karyawan. Dengan terwujudnya
lingkungan kerja yang kondusif, secara otomatis ayang membentuk Kerjasama tim
atau ‘teamwork’ yang solid.
Tantangan
utama dalam meningkatkan implementasi sistem dan mekanisme hubungan industrial
di era digital adalah, bagaimana kedua belah pihak yang menjadi pemeran utama
di perusahaan, yakni Pengusaha & Pekerja bisa saling memahami, menyadari
dan berkomitmen untuk menciptakan aura kesetaraan dalam proses dan mekanisme
hubungan industrial, memberikan kompensasi dan kesejahteraan yang layak dan
manusiawi agar terwujud ketenangan bekerja serta menyusun sistem yang terukur
dan jelas dalam meningkatkan kompetensi karyawan.
Model
implementasi Kesetaraan, Kesejahteraan & Kompensasi (3K) di perusahaan,
jika dilaksanakan dengan komitmen tinggi oleh bipartit di perusahaan, insya
Allah akan makin meningkatkan kualitas implementasi sistem dan mekanisme
hubungan industrial Indonesia yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana
dicita-citakan bersama. Semoga. Bekasi#19052023.
Komentar
Posting Komentar