KASUS JOHNNY G PLATE: PENEGAKKAN HUKUM ATAU INTERVENSI KEKUASAAN?
Oleh: Yosminaldi (Doktor MSDM Lulusan
Univ Negeri Jakarta, Dosen MSDM & Hubungan Industrial, Pengamat Hukum &
Ketenagakerjaan)
Baru saja kita dikejutkan dengan penetapan tersangka dan
dilanjutkan penahanan oleh Kejaksaan Agung RI terhadap Menteri Komunikasi &
Informasi (Menkominfo) Johnny G Plate mulai tanggal 17 Mei 2023, setelah diperiksa
selama 2 jam oleh 4 orang Tim Penyidik Kejagung.
Penetapan sebagai tersangka tersebut, terkait dengan
perkara dugaan korupsi proyek pembangunan BTS 4G dan infrastruktur pendukung
paket 1, 2, 3, 4 dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2020
s/d 2022.yang merugikan negara sebesar Rp 8,032 triliun.
Berdasarkan informasi valid, Tersangka disangka
melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31
Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20
Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Penetapan Johnny G Plate sebagai tersangka, terjadi
disaat relasi politik Partai Nasdem khususnya Ketua Umum Surya Paloh dengan
Presiden Jokowi berada pada titik paling rendah. Hal ini tentu memunculkan
banyak penafsiran dari publik, apakah penetapan dan penahanan Johnny G Plate
benar-benar murni terkait dengan proses hukum yang notebene berdasarkan bukti-bukti
hukum yang kuat sebagaimana mestinya, atau dikarenakan adanya intervensi
Pemerintah cq Presiden Jokowi yang makin gerah dengan manuver “pembelotan”
Partai Nasdem terkait dengan pencalonan Anies Baswedan sebagai Presiden RI
2024?
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara
Hukum. Hal ini tertulis jelas pada Pasal 1 ayat (3) UUD 1945: “Negara Indonesia
adalah negara hukum,”. Artinya, setiap tindakan Pemerintah maupun Rakyat, harus
didasarkan kepada hukum positif yang berlaku. Hal tersebut bertujuan untuk
mencegah adanya tindakan sewenang-wenang dari pihak Pemerintah atau Penguasa ataupun
tindakan rakyat yang dilakukan menurut kehendaknya sendiri.
Kembali pada kasus Johnny G Plate diatas, sepanjang
Kejaksaan Agung RI sudah melakukan proses penyelidikan dan penyidikan yang
berpedoman kepada aturan hukum, serta memiliki bukti-bukti hukum kuat yang bisa
menyeret Menkominfo sekalipun, tentu saja tak ada alasan pembenar apapun untuk
tidak
mengambil tindakan-tindakan hukum tegas dan terukur, sebagaimana diatur
jelas pada hukum positif yang berlaku, dalam hal ini UU Tindak Pidana Korupsi
(UU Tipikor).
Patut dicatat, momen waktu penangkapan dan penahanan
Johnny G Plate yang juga Sekjen Partai Nasdem tersebut, bisa saja
dikait-kaitkan dengan kepentingan politik alias intervensi kekuasaan, disaat
hubungan politik Partai Nasdem dalam Koalisi Pemerintahan Jokowi berada pada
titik terendah akibat Partai Nasdem telah secara ‘sepihak’ mencalonkan Anies Baswedan
yang nota bene adalah antitesa rezim Jokowi sebagai Presiden RI 2024.
Secara ‘positive thinking’, harusnya kita
mengapresiasi langkah dan tindakan berani Kejaksaan Agung RI dalam menjadikan
Johnny G Plate sebaga tersangka serta melakukan penahanan sebagaimana mestinya.
Kejaksaan Agung harus konsisten dan professional dalam melakukan tindakan
apapun, terkait kasus Johnny G Plate. Kredibilitas Kejaksaan Agung sedang
diuji, apakah tindakan hukum dengan menetapkan Menkominfo tersebut sebagai tersangka
benar-benar murni atas dasar hasil penyelidikan dan penyidikan yang sesuai
aturan hukum yang berlaku atau dipengaruhi oleh intervensi anasir2 kekuasaan,
sebagaimana dipersepsikan oleh publik.
Sebagaimana diketahui, Jaksa Agung berada dibawah Presiden
RI dan menjadi anggota Kabinet yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden
RI. Namun disisi lain, sebagaimana diatur pada UU No 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, disebutkan bahwa Kejaksaan adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang (Pasal 2 ayat 1).
Satu Pasal pada UU No 16 Tahun 2004, yakni Pasal 2 ayat 2 secara tegas menyebutkan: “Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. Artinya, walaupun Kejaksaan cq Jaksa Agung berada dibawah Presiden, namun dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang tersebut bersifat mandiri, merdeka dan bebas dari intervensi siapapun dan pihak manapun.
JANGAN TEBANG PILIH
Dengan banyaknya Menteri dan Pejabat Pemerintah yang
menjadi tersangka, ditangkap, ditahan dan, diproses serta menerima vonis hukum
dari Pengadilan atas dugaan kasus korupsi, diharapkan Pemerintah cq Kejaksaan
Agung beserta jajaran dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menegakkan
hukum secara konsisten, konsekwen dan tidak tebang pilih.
Hal ini untuk menghapus anggapan dan dugaan di
masyarakat, tentang masih kuatnya pengaruh dan intervensi kekuasaan dalam
proses hukum, khususnya terhadap oknum-oknum Pejabat tertentu yang berhubungan
dengan relasi politik dan kepentingan politik Penguasa.
Pelajaran penting apa yang bisa kita diambil dari kasus
ini? Dari kasus diatas, terlihat jelas bahwa jabatan Jaksa Agung sebagai
Pimpinan tertinggi lembaga penegakkan hukum yang mewakili negara dalam bidang
penuntutan dan kewenangan lain yang diatur UU, sangat rentan untuk bisa
dijadikan sebagai alat untuk kepentingan politik.
Untuk masa mendatang, diharapkan jabatan-jabatan yang
terkait dengan penegakkan hukum seperti Jaksa Agung sebagai Pucuk Pimpinan
Lembaga Kejaksaan, harus bebas dari kepentingan politik. Artinya, Jaksa Agung seharusnya
diisi oleh Jaksa Karir yang memiliki prestasi, berintegritas, tegas, berani,
mandiri dan professional. Semoga.
Komentar
Posting Komentar