TANTANGAN DUNIA KETENAGAKERJAAN RI DEWASA INI Oleh Yosminaldi Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia (ASPHRI), Dosen Polteknaker Kemnaker RI & Mantan Praktisi Senior HRD
Setelah sekian lama kursi Wakil Menteri Ketenagakerjaan RI (Wamenaker RI) kosong, akhirnya Presiden Jokowi mengangkat Afriansyah Noor – Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB) sebagai Wamenaker RI pada hari Rabu/15 Juni 2022 di Istana Negara. Menaker Ida Fauziyah mendapatkan pendamping dalam mengelola dunia ketenagakerjaan Indonesia yang sangat kompleks. Kursi Wamenaker adalah portofolio baru di Kementerian Ketenagakerjaan RI. Artinya, pengisian jabatan Wamenaker adalah pertama kali dalam sejarah Kementerian Ketenagakerjaan yang berkantor di Jalan Gatot Subroto Jakarta – Selatan tersebut.
Dengan pengisian jabatan Wamenaker RI
tersebut, tentu kita semua berharap ada kemajuan dalam pembinaan, pengelolaan
dan pengawasan ketenagakerjaan di Indonesia. Urusan ketenagakerjaan sangat
penting dalam mengelola keberlangsungan dunia usaha dan dunia industri (DUDI)
di Indonesia. Tanpa tenaga kerja yang kompeten dan professional, DUDI tak akan
dapat berkompetisi secara produktif, baik domestik maupun internasional.
Bagaimana peta situasi permasalahan
ketenagakerjaan Indonesia saat ini? Kenapa begitu banyak problema hubungan
industrial yang tak kunjung tuntas? Apa saja penyebab terjadinya perselisihan-2
hubungan industrial di internal perusahaan dan maraknya demo-2 pekerja/buruh?
Apa solusi-2 yang bisa ditawarkan agar dunia ketenagakerjaan dan dunia hubungan
industrial Indonesia bisa lebih positif, meningkatkan ketenangan berusaha, menarik
investor dan mensejahterakan kaum pekerja/buruh? Ijinkan penulis menyampaikan
beberapa pemikiran, masukan & solusi penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan
saat ini, semoga bisa menjadi tambahan informasi Wamenaker dalam mendampingi Menaker
untuk membenahi dunia ketenagakerjaan Indonesia menjadi lebih baik.
Agenda prioritas
Dunia ketenagakerjaan Indonesia
adalah bagian terpenting yang tak bisa dipisahkan dari dunia industri, bisnis
dan jasa yang makin menuntut ketenangan berusaha, keharmonisan dalam hubungan
industrial, professionalisme & kompetensi tenaga kerja serta produktivitas.
Ada beberapa hal penting dan krusial dalam
dunia ketenagakerjaan Indonesia saat ini yang membutuhkan perhatian khusus dari
Pemerintah yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Kemnaker RI sebagai
“leading sector” yang mengurus ketenagakerjaan.
Sejumlah issue penting tersebut
adalah tentang tindaklanjut atas Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU
Cipta Kerja, tingginya angka pengangguran, maraknya TKA China di Indonesia,
lemahnya sistem pengawasan ketenagakerjaan, formulasi Upah Minimum yang masih
belum disepakati organisasi serikat pekerja serta belum efektifnya lembaga
Tripartit sebagai wadah utama dalam membuat kesepakatan dan penyelesaian
hubungan industrial.
Terkait dengan Putusan MK No.
91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja, kita menunggu langkah-langkah
berikutnya dari Pemerintah bersama DPR-RI dalam menindaklanjuti secara positif
amar putusan MK tersebut agar “bencana hukum” tersebut tak terulang Kembali di
kemudian hari. Prinsip kehatian-hatian, transparansi atau keterbukaan serta
memberikan peluang keterlibatan aktif dari berbagai pihak yang terkait seperti
para akademisi dibidang msdm & hubungan industrial, asosiasi para
pengusaha, serikat-serikat pekerja, para tokoh masyarakat, bahkan organisasi
praktisi HRD dalam pembahasan ulang draf UU Ciptaker adalah sangat penting,
agar produk hukum yang sangat strategis ini benar-benar bisa diterima dan
diimplementasikan oleh semua pihak secara bijak, dewasa, berkeadilan dan
memberikan kemanfaatan bagi semua ‘stakeholders’ dunia industri dan dunia
ketenagakerjaan.
Dalam aspek tingginya angka
pengangguran, hal ini dikarenakan adanya ketidakcocokan antara pendidikan dan
pekerjaan atau “mismatch” antara sistem kurikulum pendidikan dengan kebutuhan teknis pekerja dari Dunia
usaha dan Dunia Industri (DUDI). Pengangguran terbuka, justru terbanyak dari
lulusan SMK. Hal ini menjadi sebuah ironis, dimana seharusnya lulusan SMK yang
notabene lebih banyak mendapatkan pelatihan secara teknis selama belajar di
sekolah, malah tak sepenuhnya bisa diterima oleh DUDI.
Program revitalisasi vokasi oleh
Kemnaker RI sebagai salah satu strategi pemerintah dalam menurunkan tingkat
pengangguran, harus benar-benar melibatkan DUDI secara pro-aktif, partisipatif dan
komprehensif. DUDI sebagai “muara” dari lulusan SMK maupun Balai Latihan Kerja
(BLK) serta Lembaga-Lembaga Pelatihan Kerja swasta, adalah pihak yang akan menerima
para lulusan pendidikan dan pelatihan dari institusi pendidikan dan pelatihan
diatas untuk bekerja.
Sehubungan dengan maraknya “serbuan”
Tenaga Kerja Asing (TKA) China yang selalu menjadi polemik ditangah-tengah
masyarakat, harusnya mendapatkan perhatian utama Pemerintah cq Kemnaker RI.
Sudah menjadi pengetahuan luas di masyarakat, khususnya dunia ketenagakerjaan
Indonesia, bahwa mayoritas TKA yang masuk, khususnya dari RRC adalah
pekerja-pekerja level menengah kebawah yang sebenarnya bisa diisi oleh Tenaga
Kerja Indonesia. Hal ini bisa membuat kecemburuan sosial yang justru dapat
memicu keresahan bagi para Tenaga Kerja Indonesia.
Di tengah masih banyaknya jumlah
pengangguran atau pencari kerja di Tanah Air, isu membanjirnya tenaga kerja
asing (TKA) ke Indonesia tentu sangat memprihatinkan. Berdasarkan Data Badan
Pusat Statistik (BPS), dilaporkan bahwa angkatan kerja pada Februari 2022 sebanyak
144,01 juta orang, naik 4,20 juta orang dibanding Februari 2021. Penduduk yang
bekerja sebanyak 135,61 juta orang, naik sebanyak 4,55 juta orang dari Februari
2021. Sebanyak 81,33 juta orang (59,97 persen) bekerja pada kegiatan informal,
naik 0,35 persen poin dibanding Februari 2021. Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) Februari 2022 sebesar 5,83 persen, turun sebesar 0,43 persen poin
dibandingkan dengan Februari 2021.
Terdapat 11,53 juta orang (5,53 persen) penduduk usia kerja
yang terdampak COVID-19. Terdiri dari pengangguran karena COVID-19 (0,96 juta
orang), Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena COVID-19 (0,55 juta orang), sementara
tidak bekerja karena COVID-19 (0,58 juta orang), dan penduduk bekerja yang
mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 (9,44 juta orang).
Dari data-data BPS diatas, terlihat
dengan jelas bahwa Tenaga Kerja Indonesia masih banyak yang membutuhkan
pekerjaan di negeri sendiri.
Arus investasi memang dibutuhkan dan
menjadi salah satu prioritas pemerintah untuk memperkuat fondasi perekonomian
nasional, sekaligus menjadi pendorong pertumbuhan lapangan kerja baru. Namun,
ketika kepentingan menarik investasi kemudian diikuti dengan makin longgarnya
persyaratan perizinan bagi tenaga kerja asing, maka bisa dipahami jika banyak
pihak resah.
Kelonggaran ini berisiko mengancam
eksistensi dan peluang tenaga kerja lokal. Kalau berbicara di atas kertas,
memang dalam ketentuan yang berlaku, TKA tidak diperkenankan masuk ke dalam
pekerjaan yang tergolong kasar. TKA hanya diperkenankan masuk dalam pekerjaan
berkeahlian dan dituntut pula melakukan transfer teknologi serta kemampuan
mereka kepada tenaga kerja lokal. Namun dalam kenyataannya, sering terjadi
aturan itu hanya menjadi macan di atas kertas.
Sinyalemen tentang banyaknya TKA yang
menyerbu Indonesia harus diakui bukan sekadar isapan jempol. Di sejumlah
daerah, diketahui tidak sedikit TKA yang merebut kesempatan kerja yang
sebetulnya tergolong pekerjaan kasaran --menyisihkan peluang tenaga kerja lokal
yang membutuhkannya.
Berdasarkan hasil investigasi
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di tujuh provinsi, menemukan bahwa tidak
sedikit TKA ternyata bekerja sebagai tenaga kasar dengan bayaran yang tiga kali
lipat lebih tinggi daripada pekerja lokal (Republika, 27 April 2018).
Maka dari itu, peningkatan sistem dan
mekanisme pengawasan dari Dinas Ketenagakerjaan di Kota/Kabupaten adalah sebuah
prioritas utama. Lemahnya pengawasan ketenagakerjaan terkait dengan perijinan
TKA, penerapan aturan perundangan-undangan ketenagakerjaan di bidang K3,
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Upah Minimum Kota/Kabupaten dan persyaratan
kerja yang lain, sangat merugikan Pekerja. Isu tentang lemahnya sistem dan
mekanisme pengawasan ketenagakerjaan, tak lepas dari minimnya jumlah tenaga
pengawas di masing-masing disnaker kota/kabupaten.
Pemerintah harus memberikan perhatian
khusus dengan menambah anggota tim pengawas ketenagakerjaan ini secara
proporsional, sesuai dengan kebutuhan minimal di setiap kantor Disnaker. Hal
ini bertujuan untuk meminimalisir pelanggaran atas regulasi ketenagakerjaan
yang berlaku oleh perusahaan.
Upah Minimum
Berbicara tentang Upah Minimum Provinsi
(UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), sampai saat ini tetap masih belum
terselesaikan secara tuntas. Persoalan Upah Minimum sudah menjadi masalah
klasik setiap tahun dan selalu menimbulkan gejolak dalam hubungan industrial.
Hal ini bisa dilihat dari unjuk rasa dan pengerahan massa buruh, memblokade
jalan hingga “sweeping” ke pabrik-pabrik, agar buruh yang masih bekerja
meninggalkan pekerjaannya untuk turun berdemonstrasi menuntut UMK sesuai
perhitungan buruh.
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang baru disahkan yaitu Undang Undang Nomor
11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, pengertian upah adalah hak buruh/pekerja
yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha
atau pemberi kerja kepada buruh/pekerja, yang ditetapkan dan dibayarkan menurut
suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau perundang-undangan yang berlaku,
termasuk tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan
yang telah dilakukan.
Dengan berjalannya waktu, kebijakan
penentuan atau metode penghitungan upah minimum mengalami perubahan dari waktu
ke waktu, di antaranya upah ditentukan didasarkan pada Kebutuhan Fisik Minimum
(KFM), berubah menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM), lalu berubah menjadi
Kebutuhan Hidup Layak (KHL).
Dasar dari penentuan upah tersebut
adalah Permenakertrans No 7 Tahun 2003 dan keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
13 Tahun 2012 tentang komponen dan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak
untuk pekerja lajang dalam sebulan dengan 3000 kilo kalori per hari. Angka upah
minimum yang didapatkan pada saat itu dari hasil survei kebutuhan hidup layak.
Periode 2016 hingga tahun 2021,
penentuan upah minimum berdasarkan Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 yakni
penentuan upah didasarkan pada komponen laju pertumbuhan ekonomi dan laju
inflasi dalam satu tahun. Undang Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020 juga
mengadopsi formula tersebut dalam penentuan upah minimumnya. Hal ini juga yang
masih menjadi catatan para buruh/pekerja yang tergabung dalam serikat pekerja.
Praktis penentuan upah ini hingga
kini masih menimbulkan pro dan kontra terutama dari kalangan pekerja yang belum
menerima dan pengusaha yang cenderung menerima sementara unsur pemerintah
sebagai penengah. Sehingga penentuan upah ini belum dapat memenuhi kepuasan
kedua belah pihak terutama pihak pekerja. Terlepas dari pro dan kontra
penentuan upah setiap tahun selama lima tahun terakhir ini telah ditentukan
dengan formula rumusan tersebut.
Tuntutan upah minimum provinsi atau
kabupaten/kota yang tinggi dapat berdampak pada berpikirnya pemilik
modal/pabrik untuk melakukan mobilitas sosial-ekonomi, dengan cara memindah
lokasi pabrik ke wilayah dengan tenaga kerja dengan upah lebih murah. Hal ini
menyebabkan adanya gelombang PHK bagi pekerja di wilayah tersebut. Konsekuensi
mobilitas sosial tersebut bisa menimbulkan konflik antara pekerja dan
pengusaha, bahkan pemerintah ikut untuk menengahi permasalahan tersebut. Perlu
dicarikan formulasi tepat standar kenaikan UMK secara regular setiap tahun
dengan disepakati oleh pihak pengusaha dan serikat pekerja, agar masalah klasik
perburuhan ini bisa diselesaikan secara komprehensif.
Keterlibatan semua pemangku
kepentingan selain asosiasi pengusaha, pemerintah dan serikat pekerja dalam
dunia ketenagakerjaan, sangat diperlukan. Misalnya dengan mengikutsertakan
kalangan akademisi dan asosiasi2 praktisi HRD yang notabene adalah pelaku
langsung dalam hubungan industrial di perusahaan. Dengan makin banyaknya keterlibatan
semua pihak dalam dunia ketenagakerjaan, diharapkan akan merumuskan solusi
terbaik yang bisa diterima sebagai formulasi standar UMK secara komprehensif
dan memiliki keberlakuan jangka panjang. Selamat bertugas Pak Wamenaker Baru!
Komentar
Posting Komentar