UU CIPTAKER UNTUK SIAPA? Oleh: Yosminaldi, SH.MM (Ketua Umum ASPHRI, Mantan Praktisi HRD, Dosen MSDM & Pengamat Hubungan Industrial)
Mengamati
hiruk-pikuk ketenagakerjaan akhir-akhir ini, khususnya terkait dengan
penyusunan UU Omnibus Law yang salah satu bagiannya tentang ketenagakerjaan
melalui Klaster Cipta Tenaga Kerja (Ciptaker), maka kita perlu hati-hati,
teliti dan waspada atas rencana materi pada Klaster Ciptaker tersebut.
Berdasarkan informasi terkini dari sejumlah media massa, dari semua Klaster
yang dibahas di Parlemen (DPR-RI), Klaster ketenagakerjaan adalah bagian paling
alot dan mendapatkan banyak penolakan dari kaum buruh.
Kita melihat,
Pemerintah bersama DPR-RI sepertinya terlalu memaksakan penyelesaian RUU Ciptaker
tersebut sesuai target waktu, bukannya membicarakan substansi dan materinya,
agar bisa diterima oleh semua pihak, khususnya kaum buruh. Penolakan demi
penolakan telah dilakukan kaum buruh melalui sejumlah demonstrasi dan juga
dengar pendapat serta suara-suara buruh di berbagai media sosial. Hal ini
menunjukkan bahwa Klaster Cipta Kerja menjadi issue paling sensitif dalam
mekanisme hubungan industrial saat ini.
Undang-Undang
adalah peraturan tertinggi dalam hirarki perundang-undangan RI setelah Pancasila
sebagai “Ursprungnorm”, UUD atau Konstitusi sebagai “Grundnorm” & Tap MPR.
UU adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama Presiden. UU memiliki kedudukan sebagai
aturan main bagi seluruh rakyat Indonesia, guna mengatur kehidupan bersama
dalam rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk negara. Undang-Undang berasal dari
Bahasa Inggeris: Legislation dan dalam Bahasa latin: Lex, Legis
yang berarti hukum.
UU hanya
berisikan pokok-pokok penting yang mengatur tentang hal-hal yang terkait dengan
topik dan judul UU sebagai acuan dasar dan referensi dalam penyusunan Peraturan
Pemerintah (PP) sebagai Peraturan Pelaksana. Jadi, pembahasan dan penyusuan UU
haruslah benar-benar matang, objektif, akomodatif dan mengikuti situasi dan
kondisi yang terjadi saat itu dan jauh kedepan.
Kembali ke
penyusunan UU Ciptaker, bisa dikatakan hampir semua organisasi buruh menolak
isi dan materi UU tersebut, dikarenakan menurut mereka, telah mereduksi hak-hak
kaum buruh secara signifikan dan mereka hanya dianggap sebagai objek dalam
mekanisme hubungan industrial, bukan sebagai subjek dan aset dalam sistem
bisnis dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Penyusunan sebuah peraturan
penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak, khususnya kaum buruh yang
notabene jumlahnya puluhan juta orang, membutuhkan koordinasi, diskusi dan
akomodasi semua pihak terkait, agar implementasi peraturan tersebut bisa
berjalan dengan baik, ujung-ujungnya akan meningkatkan kinerja, motivasi dan produktifitas
kaum buruh.
Keluarkan Klaster
Ketenagakerjaan Dari RUU Ciptaker
Dengan kuatnya
penolakan kaum buruh atas klaster ketenagakerjaan di RUU Ciptaker, diperkirakan
akan memicu unjuk rasa besar-besaran kaum buruh, jika Pemerintah & DPR
masih tetap ngotot untuk melanjutkan pembahasan dan finalisasi RUU yang
terkesan sepihak dan dipaksakan tersebut. Gencarnya penolakan kaum buruh, perlu
diperhatikan dan dipertimbangkan sebagai masukan, agar proses penyusunan RUU
Ciptaker bisa selesai dan diimplementasikan sesuai harapan kita bersama.
Penolakan tegas
kaum buruh atas penyusunan RUU Ciptaker tersebut akan menjadikan UU Ciptaker
nantinya sebagai Peraturan yang sah secara legal-prosedural, namun tidak
mendapatkan legitimasi faktual oleh salah satu pihak yang memiliki kepentingan
dalam relasi mekanisme hubungan industrial, yaitu Pekerja/Buruh.
Ada sejumlah
poin2 penting yang selalu dipermasalahkan oleh kaum buruh, terkait dengan
penyusunan RUU Ciptaker, yaitu penghilangan upah minimum kabupaten/kota, mekanisme
pemutusan hubungan kerja yang dipermudah, hak upah atas cuti hilang, cuti haid
hilang, karyawan kontrak atau alih daya seumur hidup dan nilai pesangon
dikurangi (Kompas, 28 September 2020). Poin2 diatas sangat terkait dengan
kesejahteraan dan masa depan kaum buruh, yang tentunya mendapatkan penolakan
secara tegas.
Kita paham dan
menyadari bahwa kepentingan Pengusaha juga harus bisa diakomodir dalam
penyusunan materi dan isi RUU Ciptaker. Namun, berdasarkan pengamatan penulis,
kepentingan bisnis kaum pengusaha dalam penyusunan RUU Ciptaker ini masih
sangat kental dan terakomodasi secara optimal. Sementara disisi lain, banyak
klausul-klausul yang merugikan kaum buruh, setidaknya mereduksi hak-hak mereka
sebagaimana sudah diatur UU No 13 Tahun 2003. Maka dari itu, salah satu solusi
cepat dan efektif untuk menuntaskan permasalahan yang makin berdampak tidak
kondusif dalam relasi dan mekanisme hubungan industrial ini adalah dengan
mengeluarkan klaster ketenagakerjaan dari draft RUU Ciptaker dan Kembali dilakukan
pembahasan ulang secara terstruktur, sistematis, komunikatif dan “mutual
benefits” antara pihak-pihak terkait dan “stakeholders”, agar tersusun sebuah
klaster ketenagakerjaan yang benar-2 memenuhi aspirasi pihak-pihak yang terikat
dengan UU tersebut nantinya.
Keterbukaan,
kejujuran dan saling mengerti bagi masing-masing pihak, terkait dengan hak dan
kewajiban dalam penyusunan materi dan isi UU Ciptaker adalah kunci utama, agar
tercipta sebuah peraturan ketenagakerjaan yang akan mewujudkan hubungan
industrial harmonis, dinamis, kondusif dan berkeadilan, sebagaimana tujuan
utama dari Hubungan Industrial Indonesia. Mendengarkan masukan, saran dan
rekomendasi dari salah satu pelaku hubungan industrial dalam hubungan kerja di
perusahaan, misalnya Praktisi HRD, adalah sebuah keniscayaan, agar dalam UU
Ciptaker tersebut nantinya benar-benar berisikan materi dan isi yang
komperehensif dan progresif. Salam Hubungan Industrial Indonesia yang lebih
baik!
Bekasi, 28 September 2020
Komentar
Posting Komentar