SEJARAH PANJANG HARI BURUH (MAY DAY) Oleh Yosminaldi, SH. MM (Ketua FK-HR EJIP & Praktisi Senior HRD)
“Buruh adalah awal dan tanpa memiliki modal. Modal hanyalah buah hasil kerja. Tidak akan pernah ada keuntungan, jika buruh tidak pernah ada. Buruh berada diatas modal dan patut mendapat pertimbangan yang lebih tinggi”-Abraham Lincoln
Peringatan 1 Mei sebagai hari buruh internasional atau yang lebih dikenal dengan sebutan May Day sangat lekat dengan peristiwa yang terjadi di lapangan Haymarket, Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) pada 4 Mei 1886. Peristiwa Haymarket sangat berkaitan dengan aksi mogok kerja yang sudah berlangsung pada April 1886.
Saat itu,
kemuakan kaum pekerja atas dominasi kelas borjuis telah mencapai puncaknya. Hal
tersebut memicu ratusan ribu orang dari kelas pekerja memilih bergabung dengan
organisasi pekerja 'Knights of Labour' yang bercita-cita menghentikan dominasi
kelas borjuis. Perjuangan kelas pekerja saat itu menemukan momentumnya di kota
Chicago.
Chicago
pada masa itu merupakan salah satu kota yang menjadi pusat pengorganisiran
serikat-serikat pekerja di negara AS. Gerakan serikat pekerja di Chicago sangat
dipengaruhi ide-ide International Workingsmen Association. Mereka
juga telah melakukan berbagai propaganda tanpa henti sebelum bulan Mei tiba.
Masih di
bulan April menjelang 1 Mei 1886, sekitar 50.000 pekerja
sudah melakukan aksi mogok kerja dengan cara turun ke jalan. Mereka mendesak
pemerintah memberlakukan peraturan 8 (delapan jam) kerja dalam sehari.
"Tahun
1830-an telah muncul tuntutan agar jam kerja dijadikan 10 (Sepuluh) jam.
Tetapi, itu pun kemudian dianggap terlalu lama, dengan patokan sebaiknya
kehidupan seorang individu dalam sehari terbagi menjadi delapan jam kerja,
delapan jam rekreasi, dan delapan jam tidur atau istirahat. Pada hari-hari
berikutnya, jumlah buruh yang ikut aksi mogok makin bertambah. Para buruh saat
itu membawa anak-anak serta istrinya untuk berdemonstrasi sambil meneriakkan
tuntutan mereka. Dampak dari aksi mogok kerja yang berlangsung secara masif ini
melumpuhkan sektor industri di Chicago. Bahkan, membuat panik kalangan borjuis.
Pada 1 Mei
1886, sekitar 350.000 buruh yang
diorganisir oleh Federasi Buruh Amerika melakukan demonstrasi dan aksi mogok
kerja di berbagai negara bagian AS. Dua hari kemudian, pemerintah setempat kian
khawatir karena aksi mogok terus berlanjut dan semakin membesar akhirnya
mengutus sejumlah aparat polisi untuk meredam aksi demonstrasi yang berlangsung
di pabrik McCormick. Polisi yang diutus pemerintah saat itu menembaki
demonstran secara membabi-buta. Para buruh pun berhamburan untuk menyelamatkan
diri. Dalam kejadian ini empat orang dinyatakan tewas sementara yang mengalami
luka-luka tak terhitung jumlahnya.
Kejadian itu menimbulkan amarah di
kalangan buruh. Sebagian dari mereka menganjurkan aksi balas dendam menggunakan
senjata. Di antaranya yang sepakat dengan aksi itu yakni kaum anarkis yang
dipimpin Albert Parsons dan August Spies. Keduanya merupakan anggota aktif
organisasi Knights of Labour.
Mereka
menyerukan kepada para buruh agar mempersenjatai diri dalam demonstrasi yang
dilakukan pada hari berikutnya.
Pada 4 Mei
1886, para buruh kembali menggelar aksi di bundaran lapangan Haymarket. Kali
ini skalanya sangat besar. Demonstrasi yang berlangsung saat itu tidak hanya
menuntut soal pemberlakuan delapan jam kerja tapi juga sebagai bentuk protes
tindakan represif polisi terhadap buruh. Demonstrasi berjalan damai pada
awalnya. Bahkan beberapa waktu berselang, sebagian demonstran memilih
membubarkan diri karena cuaca buruk.
Kaum buruh
yang tersisa dalam aksi itu hanya sekitar ratusan orang. Tapi pada saat itu
malah datang sekitar 180 polisi yang meminta demonstrasi segera
dibubarkan. Ketika orator terakhir hendak turun dari mimbar, tiba-tiba terjadi
satu ledakan bom dari barisan polisi. Satu orang tewas pada kejadian itu,
sementara 70 orang lainnya mengalami luka serius. Pihak polisi merespons
ledakan tersebut dengan menembaki kerumunan buruh yang masih
berkumpul. Akibatnya, delapan buruh tewas dan 200 orang buruh mengalami
luka-luka.
"Peristiwa
The Haymarket Martyr itu yang dikenang sampai sekarang setelah International
Working Men's Association dalam sidangnya di Paris tahun 1889 menetapkan hari itu
sebagai Hari Buruh Sedunia.
Hari Buruh di Indonesia
Di Indonesia, penetapan hari buruh
yang jatuh pada 1 Mei juga memiliki kisah panjang. Bahkan sempat mengalami
perubahan beberapa kali. Hal itu terkait kondisi politik yang berkembang di
masa itu.
Pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto, May Day diidentikkan
dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya. Karena
itu, penetapan hari buruh internasional pada 1 Mei pada masa Orde Baru sempat
ditiadakan.
Langkah
awal pemerintahan Soeharto untuk
menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian
Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja. Presiden Soeharto menunjuk
Awaloedin Djamin menjadi Menteri Tenaga Kerja pertama era Orde Baru. Ia dipilih
karena latar belakangnya sebagai perwira polisi. Menurut Soeharto,
Awaloedin merupakan sosok yang tepat untuk mengisi jabatan itu karena dinilai
mampu menghadapi kaum buruh.
"Bulan
Mei 1966, Awaludin mengusahakan agar 1 Mei 1966 tidak dirayakan lagi karena
dianggap berkonotasi kiri. Namun usaha itu belum berhasil karena serikat buruh
masih kuat. Baru sejak 1 Mei 1967, peringatan Hari Buruh dihapus," (Asvi
Warman Adam, dalam kolom Opini Kompas, 8 Oktober 2003).
"Indonesia
pernah memiliki serikat buruh yang berorientasi kelas, khususnya pada era
Demokrasi Terpimpin melalui Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Ketika Orde Baru berkuasa, serikat buruh berorientasi kelas ini dibasmi secara
brutal, yang melahirkan trauma sejarah panjang hingga sekarang. Karena serikat
buruh saat itu masih kuat maka Peringatan hari buruh Pada 1 Mei
1966 masih diadakan oleh Awaloedin setelah mendengar pertimbangan Soeharto.
Peringatan
diadakan cukup meriah dengan di isi acara pawai kendaraan melewati istana.
Seusai peringatan 1 Mei itu, Awaloedin melemparkan gagasan bahwa tanggal itu
tidak cocok untuk peringatan buruh nasional. Selain itu, peringatan may day
selama ini telah dimanfaatkan oleh SOBSI/PKI.
"Sementara
itu, secara diam-diam saya mempersiapkan ketentuan pemerintah untuk mencabut
tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh," demikian pengakuan Awaloedin Djamin
yang kemudian juga pernah menjadi Kepala Polri itu,
seperti dikutip dari tulisan Asvi Warman Adam dalam Kompas (Kolom Opini) 'Hari
Buruh Seyogianya Libur Nasional', 1 mei 2004.
Perkembangannya
kemudian, serikat buruh digiring untuk berorientasi ekonomis. Hal itu dimulai
dengan penyatuan serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam
Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang kemudian menjadi Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia (SPSI).
"Penataan
hari buruh nasional kemudian dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja pada era Soeharto sebagai
peringatan empat tahun berdirinya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FSBI) pada
tahun 1973," Kompas, 20 Februari 1986. FSBI adalah wadah bersatunya
organisasi-organisasi buruh di seluruh Indonesia yang sebelumnya
terpencar-pencar dalam berbagai organisasi.
FSBI
pada masa Orde Baru sangat dekat dengan pemerintah, bahkan terkesan sebagai
birokrat, sehingga nasib buruh pun masih tidak banyak berubah. Bahkan, banyak
pula dari kalangan buruh yang tidak tahu keberadaan organisasi ini. Selain itu,
FSBI juga belum sepenuhnya independen karena masih didanai pemerintah. Pada
1986, muncul ide untuk menarik iuran sendiri dari para anggotanya.
Selama
masa pemerintahan Orde Baru, buruh masih melakukan upaya pemogokan kerja, meski
tak ada aksi unjuk rasa besar yang berarti seperti saat ini. Pada masa itu
pula, tuntutan buruh akan upah layak, cuti haid, hingga upah lembur mulai
digaungkan.
Komisi
Upah yang saat itu dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan buruh juga mulai
bersuara adanya proses penetapan upah yang tidak adil bagi buruh. Teten Masduki yang
ketika itu menjadi juru bicara di Komisi Upah mengungkapkan bahwa buruh di
Indonesia tak pernah diikut sertakan dalam menentukan upah yang seharusnya
mereka terima.
Badan
pengupahan yang ada, tidak pernah memihak pada kepentingan buruh karena serikat
buruh resmi yang diakui pemerintah lemah dan dilemahkan.
Era Reformasi
Aksi
unjuk rasa ribuaN buruh dan mahasiswa kembali dilakukan pada 1 Mei 2000. Ketika
itu, para buruh menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan hari buruh dan hari libur
nasional.
Unjuk
rasa yang disertai dengan mogok kerja besar-besaran di sejumlah wilayah di
Indonesia itu membuat gerah para pengusaha. Pasalnya, aksi mogok berlangsung
hingga satu minggu.
PT
Sony Indonesia mengancam akan hengkang ke Malaysia apabila
para pekerjanya tidak kembali bekerja. Kemudian ancaman ini membuat khawatir
pemerintah, karena jika PT Sony Indonesia saja berani hengkang maka perusahan
elektonik lainnya diprediksi akan mengambil langkah serupa.
Di
sisi lain, buruh bersikeras meminta kepada pemerintah agar menetapkan 1 Mei
sebagai hari libur nasional. Sejumlah pegawai terancam diputus kontrak oleh
perusahaan lantaran ikut dalam aksi ini.
"Pada
tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea mengatakan, 1 Mei tak akan
dijadikan hari libur nasional. Pasalnya, Pemerintah telah menetapkan 15 hari
libur nasional, sehingga terlalu berlebihan jika hari itu dijadikan hari
libur," dikutip dari Kompas, 24 April 2002.
Tidak ada perkembangan apapun soal
tuntutan buruh agar 1 Mei dijadikan hari buruh dan hari libur nasional selama
masa pemerintahanGus Dur atau
pun Megawati.
Memasuki
masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
belum tampak tanda-tanda dikabulkannya tuntutan para buruh.
Namun,
pada masa ini tuntutan yang dilancarkan tidak lagi soal libur nasional, tetapi
juga soal revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial yang kemudian
membuahkan BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenegakerjaan.
Era SBY
Saat
masih menjabat, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono mengaku tidak sepakat dengan
rencana buruh untuk melakukan aksi mogok nasional. Menurutnya, hal itu hanya
akan merugikan perusahanan dan juga pekerja.
Meskipun
saat itu ia tak melarang adanya aksi, namun SBY meminta agar mogok nasional dan
aksi demo besar-besaran dipikirkan kembali.
"Saya
mendapat informasi, kalau benar, akan ada rencana mogok nasional oleh para
pekerja. Unjuk rasa, protes itu hak. Mogok bisa terjadi dalam kehidupan
demokrasi. Yang saya harapkan berpikirlah sekali lagi apakah mogok nasional itu
membikin baik keadaan atau memperburuk keadaan," ujar Presiden dalam sambutan
peresmian perluasan fasilitas produksi Grup Tempo di Cikarang, Jawa Barat,
Selasa (18/4) seperti dikutip dari Kompas, 19 April 2006.
Selama
memimpin, SBY punya kebiasaan melakukan lawatan ke luar kota atau pun keluar
negeri di saat Jakarta dikepung demo besar-besaran pada 1 Mei.
Pada
tahun 2006, satu pekan sebelum demo buruh, SBY memutuskan menyerahkan tugasnya
sementara kepada Wapres JK karena dirinya melakukan lawatan ke negara-negara di
Timur Tengah selama 10 hari.
Pada
tahun itu pula, Menkokesra Aburizal
Bakrie menyatakan pemerintah tak akan
menetapkan hari buruh sebagai hari libur nasional pada tahun ini atau pun
tahun 2007 dengan alasan apa pun.
Sikap
pemerintah tidak berubah hingga akhirnya pada tahun 2013 SBY resmi
menandatangani Peraturan Presiden yang menetapkan bahwa 1 Mei sebagai hari
libur nasional bersamaan dengan perayaan hari buruh yang doperingati seluruh
penduduk dunia.
"Hari
ini, saya tetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional dan dituangkan dalam
Peraturan Presiden," kicau Presiden melalui akun Twitter resminya,
@SBYudhoyono, Senin (29 Juli 2013) malam.
Rencana
ini sebelumnya pernah disampaikan SBY ketika menerima pimpinan konfederasi dan
serikat pekerja di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/4/2013). Presiden saat itu
didampingi Wakil Presiden Boediono dan para menteri.
Komentar
Posting Komentar