REVOLUSI INDUSTRI 4.0: TANTANGAN & PELUANG SDM INDONESIA Oleh: Yosminaldi, SH. MM (Mahasiswa Doktoral MSDM Univ. Negeri Jakarta) Ketua Umum FK-HR EJIP, ASPHRI & Praktisi Senior HRD
Sejarah
Industrialisasi dunia dimulai dengan Revolusi Industri 1.0 pada akhir abad
ke-18, dengan munculnya mesin bertenaga uap dan penemuan alat tenun yang secara
radikal mengubah bagaimana barang-barang diproduksi. Seabad kemudian, berlanjut
dengan Revolusi Industri 2.0, dengan penemuan listrik dan jalur perakitan yang memungkinkan
produksi barang-barang secara massif. Pada
1970-an, Revolusi Industri ketiga atau 3.0 dimulai dengan kemajuan dalam
otomatisasi bertenaga komputer yang memungkinkan kita memprogram mesin dan
jaringan.
Revolusi
Industri keempat alias 4.0 adalah Revolusi Industri yang menggabungkan
teknologi otomatisasi dengan teknologi cyber. Dalam Revolusi ini, tren
otomatisasi dan pertukaran data dalam teknologi manufaktur, termasuk sistem
cyber-fisik, Internet of Things (IoT), komputasi awan dan komputasi kognitif.
Saat ini,
Revolusi Industri 4.0 tersebut, telah mengubah ekonomi, pekerjaan, dan bahkan
budaya kehidupan serta aktifitas masyarakat itu sendiri. Banyak teknologi fisik dan digital yang
digabungkan melalui analitik, kecerdasan buatan, teknologi kognitif, dan
Internet of Things (IoT) untuk menciptakan perusahaan digital yang saling
terkait dan mampu menghasilkan keputusan yang lebih tepat.
Perusahaan
digital dapat berkomunikasi, menganalisis, dan menggunakan data untuk mendorong
tindakan cerdas di dunia fisik. Singkatnya, revolusi ini menanamkan teknologi
yang cerdas dan terhubung tidak hanya di dalam perusahaan, tetapi juga
kehidupan sehari-hari kita.
Revolusi
Industri 4.0 telah mendorong inovasi-inovasi teknologi yang memberikan dampak disrupsi atau perubahan
fundamental terhadap kehidupan masyarakat.
Perubahan-perubahan tak terduga menjadi fenomena yang akan sering muncul
pada era Revolusi Industri 4.0. Kita menyaksikan pertarungan antara taksi
konvensional versus taksionline atau ojek pangkalan vs ojek online.
Publik
tidak pernah menduga sebelumnya, bahwa ojek/taksi yang populer dimanfaatkan masyarakat untuk kepentingan
mobilitas manusia berhasil ditingkatkan kemanfaatannya dengan sistem aplikasi
berbasis internet. Dampaknya, publik
menjadi lebih mudah untuk mendapatkan layanan transportasi dan bahkan dengan
harga yang sangat terjangkau.
Yang
lebih tidak terduga, layanan ojek online tidak sebatas sebagai alat transportasi
alternatif tetapi juga
merambah hingga bisnis
layanan antar (online delivery order). Dengan
kata lain, teknologi
online telah membawa perubahan
yang besar terhadap
peradaban manusia dan ekonomi.
Menurut
Prof Rhenald Kasali (2017), disrupsi tidak hanya bermakna fenomena perubahan
hari ini (today
change) tetapi juga
mencerminkan makna fenomena perubahan hari esok (the future change).
Prof Clayton M.Christensen, ahli administrasi bisnis
dari Harvard Business
School, menjelaskan bahwa era
disrupsi telah mengganggu atau merusak
pasar-pasar yang telah ada
sebelumnya, tetapi juga mendorong
pengembangan produk atau
layanan yang tidak terduga
pasar sebelumnya, menciptakan konsumen yang beragam
dan berdampak terhadap harga yang semakin murah.
Dengan
demikian, era disrupsi akan terus melahirkan perubahan-perubahan yang
signifikan untuk merespon tuntutan
dan kebutuhan konsumen di
masa yang akan datang. Perubahan
di era disrupsi
menurut Prof Kasali
(2017) pada hakikatnya tidak
hanya berada pada perubahan cara atau
strategi tetapi juga pada pada aspek fundamental bisnis. Domain era disrupsi
merambah dari mulai struktur
biaya, budaya hingga
pada ideologi industri. Implikasinya, pengelolaan
bisnis tidak lagi
berpusat pada kepemilikan individual, tetapi menjadi
pembagian peran atau kolaborasi atau gotong-royong.
Di
dalam dunia perguruan tinggi, fenomena disrupsi ini dapat kita lihat dari
berkembangnya riset-riset kolaborasi antar peneliti dari berbagai disiplin ilmu
dan perguruan tinggi. Riset tidak lagi
berorientasi pada penyelesaian masalah (problem solving) tetapi didorong untuk
menemukan potensi masalah maupun potensi nilai
ekonomi yang dapat membantu masyarakat
untuk mengantisipasi berbagai
masalah sosial ekonomi dan politik di
masa depan.
Tantangan
SDM Indonesia Di Era Revolusi Industri 4.0
Revolusi
industri 4.0 telah membuka peluang yang luas bagi siapapun untuk maju.
Teknologi informasi yang semakin mudah terakses hingga ke seluruh pelosok
wilayah, menyebabkan semua orang dapat terhubung didalam sebuah jejaring
sosial. Banjir informasi seperti yang diprediksikan Futurolog Alvin Toffler (1970)
menjadi realitas yang ditemukan di era Revolusi Industri saat ini.
Informasi
yang sangat melimpah ini menyediakan manfaat yang besar untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun perekonomian.
Melimpahnya informasi tentunya tidak hanya
membawa pengetahuan positif tetapi juga negatif. Kemampuan seseorang untuk
mengolah pengetahuan (knowledge) menjadi kearifan (wisdom) dalam lingkungan sosialnya akan menentukan tingkat ketahanannya
diera informasi. Dengan demikian, tindakan share and resharing informasi
telah didasari oleh nilai-nilai etis
sehingga tidak akan menciptakan eskalasi kegaduhan publik.
Tantangan
Revolusi Industri generasi keempat ini tidak hanya menyediakan peluang, tetapi
juga tantangan bagi generasi milineal. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai pemicu Revolusi Industri juga diikuti dengan implikasi lain seperti pengangguran, kompetisi manusia vs mesin,
dan tuntutan kompetensi yang semakin tinggi.
Menurut
Prof Dwikorita Karnawati (2017), revolusi industri 4.0 dalam lima tahun
mendatang akan menghapus 35% jenis pekerjaan. Bahkan pada 10 tahun yang akan
datan, jenis pekerjaan yang akan hilang bertambah menjadi 75%. Hal ini disebabkan pekerjaan yang diperankan oleh manusia
setahap demi setahap digantikan dengan teknologi digitalisasi program.
Dampaknya,
proses produksi menjadi lebih cepat dikerjakan dan lebih mudah didistribusikan secara masif dengan keterlibatan
manusia yang minim. Di Amerika Serikat, misalnya, dengan berkembangnya sistem
online perbankan telah memudahkan proses
transaksi layanan perbankan. Akibatnya, 48.000 teller bank harus menghadapi
pemutusan hubungan kerja karena alasan efisiensi.
Bahkan
menurut survey McKinsey, sebuah korporasi konsultan manajemen multinasional, di Indonesia sebanyak 52,6
juta lapangan pekerjaan berpotensi digantikan dengan sistem digital. Dengan kata
lain, 52% angkatan kerja atau merepresentasikan 52,6 juta orang akan kehilangan
pekerjaan. Dengan demikian, Revolusi industri dapat mengancam makin tingginya
pengangguran di Indonesia.
Peluang
SDM Indonesia Di Era Revolusi Industri 4.0
Era
revolusi industri 4.0 membuka kesempatan bagi sumber daya manusia (SDM) di sektor
manufaktur untuk memiliki keahlian yang sesuai dengan perkembangan teknologi
terkini. Untuk itu, diperlukan pelaksanaan program peningkatan keterampilan
(up-skilling) atau pembaruan keterampilan (re-skilling) para tenaga kerja
berdasarkan kebutuhan dunia industri saat ini.
Perombakan
kurikulum pendidikan dengan lebih menekankan pada bidang Science, Technology,
Engineering, Arts, dan Mathematics (STEAM) adalah sebuah keharusan. Selain itu,
fokus meningkatkan kualitas unit pendidikan vokasi seperti Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), Balai Latihan Kerja (BLK) dan Politeknik.
Generasi
muda Indonesia merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional di masa
depan, sesuai dengan bonus demografis yang dimiliki Indonesia dalam 10 tahun ke
depan. Oleh karena itu, perlu diambil langkah strategis untuk mengumpulkan
bakat-bakat SDM yang dibutuhkan dalam membangun ekonomi digital.
Upaya-upaya
tersebut diatas membutuhkan kolaborasi antara pemerintah dengan pelaku industri
dan pihak akademisi. Dari sisi pemerintah, harus memastikan melalui kebijakan
yang memadai seperti pemberian insentif untuk investasi teknologi penerapan
industri 4.0.
Untuk
pelaku industri perlu memanfaatkan teknologi terkini pada proses produksinya,
baik itu melalui pengembangan sendiri atau kelompok yang dibentuk dengan
perusahaan lain. Sedangkan, lembaga akademis harus mulai aktif melakukan
kegiatan litbang yang berpotensi untuk memacu daya saing industri nasional.
Kita tak
perlu khawatir dengan penerapan Revolusi Industri 4.0, karena bukan untuk
mengurangi tenaga kerja. Tetapi justru sebaliknya, apabila anak-anak muda
dipersiapkan dengan meningkatkan keterampilannya, akan memberi peluang lebih
besar dalam menyerap tenaga kerja.
Generasi
Milenial tidak perlu kerja ke kantor, tapi bisa ke mana-mana. Dengan menjadi
ahli desain, mereka bisa bekerja di rumahnya sendiri. Melalui peralatan
komputernya itu desainnya bisa dijual. Bisa menghasilkan produk di tempat yang
tidak perlu besar, sehingga akan terjadi mass
customize production. Jadi mereka bisa menghasil produk banyak sesuai
pesanan dan sedikit sesuai selera masyarakat. Inilah yang akan membentuk
kantong-kantong kerja yang baru.
Komentar
Posting Komentar