REVISI UU 13 TAHUN 2003: PERLUKAH? Oleh: Yosminaldi, SH. MM (Mahasiswa Doktoral MSDM Univ. Negeri Jakarta) Ketua Umum FK-HR EJIP, ASPHRI & Praktisi Senior HRD

 

UU No.13/2003 pada dasarnya merupakan pengganti dari UU No.25/1997 yang kontroversial, karena UU No.25/1997 sempat diundangkan, tetapi ditunda sampai dua kali yang akhirnya terpaksa UU No.13/2003 diundangkan. Karena kalau tidak, UU No.25/1997 akan berlaku. Jadi, UU No.13/2003 ini memang terpaksa diundangkan karena kawatir UU No.25/1997 akan berlaku karena tidak mungkin ditunda untuk ketiga kalinya (Prof. A. Uwiyono: 2003).

UU No.13/2003 sampai saat ini masih mengundang kontroversial. Terutama pertama, mengenai masalah inkonsistensi antara pasal yang satu dengan pasal yang lain. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Dampaknya, akan menciptakan ketidakharmonisan hubungan industrial di tempat kerja antara pengusaha dengan pekerja.

Ada inkonsistensi dalam membuat aturan, misalnya tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang disatu pihak bisa dilakukan atas dasar jangka waktu. Tapi ada pasal lain yang menyatakan bahwa Perjanjian Kerja untuk pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap tidak boleh diatur dengan perjanjian kerja waktu tertentu. Perjanjian Kerja atas dasar jangka waktu itu bisa diterapkan pada pekerjaan-pekerjaan yang bersifat tetap. Hal ini tidak konsisten, disatu pihak dilarang, tapi dilain pihak diperkenankan.

Kedua, ketentuan tentang outsourcing. Perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, dipersyaratkan harus ada hubungan kerja dengan pekerjanya yang hendak di-outsource-kan ke user perusahaan lain. Tetapi di lain pihak, di pasal 1 ayat (15) dinyatakan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja yang didasarkan perjanjian kerja yang memiliki atau mempunyai ciri adanya upah, adanya pekerjaan, adanya perintah, baru ada hubungan kerja. Artinya, kalau suatu hubungan hukum tidak memberikan atau mencirikan adanya upah, pekerjaan dan perintah, maka di sana tidak ada hubungan kerja. Disatu pihak, dalam hubungan antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, diwajibkan adanya hubungan kerja. Hal ini tidak mungkin, sehingga hubungan kerja itu tetap terjadi antara perusahaan pengguna tenaga kerja itu dengan pekerjanya karena disana ada unsur perintah, pekerjaan dan upah. Mungkin "upah" ini biasanya dibayarkan oleh perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Tapi, sebetulnya perusahaan penyedia jasa tenaga kerja ini hanya sebagai kasir saja, sebab upah itu juga berasal dari perusahaan user.

 

Tujuan UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Jika diidentifikasi tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka dalam regulasi itu sendiri, terdapat 4 (empat) tujuan yang disebutkan pada Pasal 4 (empat), bahwa pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :

1.           Memberdayakan dan Mendayagunakan Tenaga Kerja Secara Optimal dan Manusiawi.

Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang  terpadu untuk dapat  memberikan  kesempatan  kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam Pembangunan Nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.”

2.           Mewujudkan Pemerataan Kesempatan Kerja dan Penyediaan Tenaga Kerja yang Sesuai dengan Kebutuhan Pembangunan Nasional dan Daerah.

Penjelasan Pasal 4 huruf a UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah “Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.”

3.           Memberikan Perlindungan Kepada Tenaga Kerja Dalam Mewujudkan Kesejahteraan dan Meningkatkan Kesejahteraan Tenaga Kerja dan Keluarganya.

Karena bidang ketenagakerjaan dianggap penting dan menyangkut kepentingan umum, maka Pemerintah mengalihkannya dari hukum privat menjadi hukum publik. Alasan lain adalah banyaknya masalah ketenagakerjaan yang terjadi baik dalam maupun luar negeri. Salah satu contoh adalah banyak kasus yang masuk ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) menyangkut penggunaan tenaga kerja asing. Setiap putusan badan peradilan PHI akan menjadi evaluasi untuk kepentingan di bidang ketenagakerjaan.

 

Ketentuan Perjanjian Kerja dalam UU No 13 Tahun 2003

Bagian penting dalam ketenagakerjaan yang banyak mendapat sorotan adalah hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Hubungan kerja ini termasuk sebagai Perjanjian. Sesuai dengan Pasal 1313 KUH Perdata yang berbunyi “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.” Dalam Pasal 1320 KUH Perdata terdapat syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang sah adalah:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

3. Suatu pokok persoalan tertentu

4. Suatu sebab yang tidak dilarang

5. Hubungan kerja

Dari ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa perjanjian kerja yang dilakukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha semuanya tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Namun dengan batasan-batasan yang disebutkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja yang dilakukan harus menunjukkan adanya kejelasan atas pekerjaan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian yang telah disepakati dan ketentuan yang tercantum dalam UU No.13 Tahun 2003 maka terdapat unsur dari hubungan kerja yaitu :

1. Adanya unsur service (pelayanan)

2. Adanya unsur time (waktu)

3. Adanya unsur pay (upah)

Masyarakat pada umumnya tahu, bahwa tidak boleh adanya pemberlakuan tidak adil (diskriminasi) antara sesama pekerja atau antara pekerja dengan pengusaha. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.”

 

Perlukah UU 13 Tahun 2003 direvisi?

UU 13 Tahun 2003 sudah sekitar 32 kali masuk kedalam “Judicial Review”. Hal ini menandakan bahwa UU 13 tahun 2003 memiliki banyak “cacat” dalam segi materi dan selalu memunculkan aspek-aspek kontroversial, baik dari sisi Pengusaha, maupun sisi Pekerja.

Pemerintah diharapkan melakukan kajian secara yuridis dan sosiologis, terkait dengan persiapan revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perlu ada titik temu antara Pengusaha dan Pekerja, agar nantinya akan menguntungkan kedua pihak dalam upaya revisi tersebut.

Kajian secara yuridis maupun sosiologis tersebut sangat penting, karena terkait dengan kondisi dunia industri saat ini. Kondisi itu mencakup fenomena adanya tenaga kontrak/alih daya, pemutusan hubungan kerja, upah minimun, jaminan sosial yang masih belum sinkron dan ketentuan tentang tenaga kerja asing.

Pemerintah diharapkan segera merumuskan draft revisi UU Ketenagakerjaan dan naskah akademik yang komprehensif, dimana semua pihak, mulai perwakilan Pengusaha, Serikat Pekerja, Akademisi bahkan Praktisi HRD bisa dimintakan masukan, agar bisa segera disampaikan kepada DPR RI.

Kita juga berharap agar Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan & ketenagakerjaan, supaya bisa bekerja bersama pemerintah untuk mencari masukan, baik dari kalangan pengusaha, pekerja, akademisi dan Praktisi HRD.  Hal Ini supaya didapatkan titik temu dalam merumuskan pasal demi pasal dalam aturan ketenagakerjaan yang baru, dan dapat dilaksanakan secara implementatif & komprehensif.

Diharapkan, dengan adanya revisi UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, akan memberikan dampak positif dan menjadi kepentingan bersama untuk memastikan kita mempunyai ekosistem ketenagakerjaan yang baik, sehingga iklim investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi secara signifikan, yang ujung-ujungnya meningkatkan kompetensi & produktifitas pekerja serta menekan tingkat pengangguran secara merata dan berkeadilan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)