QUO VADIS UU CIPTAKER? Oleh: Yosminaldi, SH.MM (Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia (ASPHRI), Mantan Praktisi HRD & Dosen & Konsultan MSDM/Hubungan Industrial)
Setelah
melalui 64 kali rapat maraton yang digelar setiap hari bahkan pada masa reses
anggota dewan dan pada libur akhir pekan, DPR akhirnya mengesahkan RUU Cipta
Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang pada Senin – 05 Oktober 2020. UU
Ciptaker terbagi ke dalam 186 Pasal dan 15 Bab.
Secara
garis besar, pasal-pasal dalam UU Ciptaker mencakup peningkatan ekosistem
investasi dan kemudahan perizinan hingga perlindungan serta pemberdayaan UMKM
dan koperasi. Isu ketenagakerjaan, riset dan inovasi, kemudahan berusaha dan
pengadaan lahan juga menjadi bagian dalam beleid ini. Cakupan berikutnya,
kawasan ekonomi, investasi Pemerintah Pusat dan Proyek Strategis Nasional dan
dukungan administrasi pemerintah.
Dalam
pidatonya di rapat paripurna DPR yang mengesahkan UU Ciptaker, Airlangga
menyebutkan, keberadaan UU Omnibus Law Cipta Kerja akan membantu Indonesia
untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah dengan memanfaatkan
bonus demografi.
Beleid
ini dinilai mampu menyelesaikan permasalahan terbesar Indonesia, yaitu hiper regulasi
untuk menciptakan lapangan kerja. UU Omnibus Law Cipta Kerja akan merevisi
beberapa Undang-Undang eksisting yang menghambat penciptaan lapangan kerja.
Regulasi ini sekaligus sebagai instrumen penyederhanaan serta peningkatan
efektivitas birokrasi.
Pengesahan
UU Cipta Kerja memang tidak akan memuaskan semua pihak. Namun menurutnya,
aturan ini dibuat sebagai solusi atas kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap
lapangan kerja yang lebih luas.
UU
Cipta Kerja, menurutnya, dibuat demi memperbaiki ekosistem investasi. Investasi
yang lebih banyak inilah yang pada akhirnya akan menyerap lebih banyak tenaga
kerja lokal. Apalagi di masa pandemi seperti ini, saat semakin banyak
masyarakat yang butuh lapangan kerja.
Sementara
itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal
menyatakan ada 7 (tujuh) hal yang ditolak buruh dalam RUU Cipta Kerja.
1.
Upah Minimum Penuh Syarat
Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dibuat bersyarat dengan memerhatikan laju inflasi
atau pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota
(UMSK) dihapus dalam RUU Cipta Kerja.
Menurut
Iqbal, UMK tidak perlu bersyarat dan UMSK harus tetap ada. Sebab UMK setiap
kabupaten atau kota berbeda nilainya. Dia juga tidak setuju jika UMK di
Indonesia disebut lebih mahal dari negara ASEAN lainnya. Jika diambil rata-rata
nilai UMK secara nasional, UMK di Indonesia disebut jauh lebih kecil dari upah
minimum di Vietnam.
"Tidak
adil, jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor
pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya
sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh
dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah
tiap-tiap industri terhadap PDB negara," papar Iqbal sebagaimana dikutip
dari sebuah media mainstream.
Sebagai
jalan tengahnya penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan
UMSK bisa dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis
industri tertentu saja. Sehingga UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah
dan tidak semua industri mendapatkan UMSK agar ada keadilan.
"Jadi
tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda
kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," kata Iqbal.
2.
Pesangon Berkurang
Buruh
juga menolak pengurangan nilai pesangon dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah
dalam RUU Cipta Kerja. Di dalamnya, 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan
dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Dia mempertanyakan dari mana BPJS mendapat sumber
dana untuk membayar pesangon.
"Karena
tanpa membayar iuran tapi BPJS membayar pesangon buruh 6 bulan. Bisa dipastikan
BPJS Ketenagakerjaan akan bangkrut atau tidak akan berkelanjutan program JKP
Pesangon dengan mengikuti skema ini," tutur Iqbal.
3.
Kontrak Kerja Tanpa Batas Waktu
Buruh
pun menolak skema Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang dihapus batas
waktunya. Hal ini membuat buruh bisa saja dikontrak seumur hidup tanpa menjadi
karyawan tetap. "Buruh menolak PKWT seumur hidup," ujar Iqbal.
4.
Outsourcing Seumur Hidup
Iqbal
juga menjelaskan dalam RUU Cipta Kerja, kontrak outsourcing disebut bisa seumur
hidup. Outsourcing juga diterapkan tanpa batas jenis pekerjaan. "Padahal
sebelumnya outsourcing dibatasi hanya untuk lima jenis pekerjaan," kata
Iqbal.
5.
Baru Dapat Kompensasi Minimal 1 Tahun
RUU
Cipta Kerja mengatur kompensasi bagi pekerja yang akan diberikan bila masa
kerja sudah mencapai minimal satu tahun. Sementara itu, kontrak kerja sudah
tidak memiliki batasan waktu. Iqbal khawatir, buruh yang dikontrak di bawah
satu tahun tak akan mendapatkan kompensasi kerja.
"Dalam
RUU Cipta Kerja disebutkan, buruh kontrak yang mendapat kompensasi adalah yang
memiliki masa kerja minimal 1 tahun. Pertanyaannya, bagaimana kalau pengusaha
hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun? Berarti buruh kontrak tidak akan mendapatkan
kompensasi,"
Hal
itu dinilai bisa menjadi masalah serius bagi buruh. Alasannya, pihak yang akan
membayar Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan
outsourcing menjadi tidak jelas.
Pengusaha
bisa mengontrak buruh di bawah satu tahun untuk menghindari membayar
kompensasi. Intinya, kata Iqbal, tidak ada kepastian kerja bagi buruh
Indonesia.
"Sekarang
saja jumlah karyawan kontrak dan outsourcing berkisar 70% sampai 80% dari total
buruh yang bekerja di sektor formal. Dengan disahkannya Omnibus Law, apakah mau
dibikin 5% hingga 15% saja jumlah karyawan tetap? No job security untuk buruh
Indonesia, apa ini tujuan investasi?”
6.
Waktu Kerja yang Berlebihan
Buruh
juga menolak waktu kerja yang disepakati dalam RUU Cipta Kerja, karena dinilai
bersifat eksploitatif dan cenderung berlebihan.
Waktu
kerja dalam RUU Cipta Kerja diatur lebih fleksibel untuk pekerjaan paruh waktu
menjadi paling lama 8 jam per hari atau 40 jam per minggu. Sedangkan untuk
pekerjaan khusus seperti di sektor migas, pertambangan, perkebunan, pertanian
dan perikanan dapat melebihi 8 jam per hari. "Buruh menolak jam kerja yang
eksploitatif,"
7. Hak
Upah Cuti yang Hilang
Said
mengatakan hak cuti melahirkan dan haid tidak dihilangkan, yang jadi masalah,
selama cuti tersebut buruh menjadi tidak dibayar. Pihaknya tidak setuju hal itu
terjadi.
"Yang
hilang saat cuti haid dan hamil, upah buruhnya tidak dibayar, no work no pay.
Akibatnya buruh perempuan tidak akan mengambil hak cuti haid dan hamilnya
karena takut dipotong upahnya pada saat mengambil cuti tersebut," ungkap
Iqbal. Dia ingin selama cuti haid dan melahirkan tersebut buruh tetap diberikan
haknya sebagai pekerja. Jika buruh tidak dibayar selama cuti, menurutnya telah
bertentangan dengan Organisasi perburuhan internasional (ILO).
Dari
Kaum Akademisi yang melihat permasalahan pro-kontra ini secara objektif dari
sisi keilmuan, misalnya Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)
menilai, UU Cipta Kerja yang disahkan oleh DPR pada Senin – 05 Oktober 2020
melalui rapat paripurna memiliki sejumlah permasalahan fundamental.
Dekan
FH UGM, Sigit Riyanto dalam jumpa pers, Selasa (6/10/2020) sebagaimana dikutip
via media online terpercaya, menyampaikan empat catatan penting terkait UU yang
juga dikenal sebagai omnibus law tersebut:
Pertama,
paradigma UU tersebut yang menunjukkan negara sedang diarahkan pada pengelolaan
sumber daya yang ekstraktif dan berbahaya karena tidak memperhatikan aspek
lingkungan yang fundamental dari seluruh sumber daya.
Kedua,
Pendekatan yang tercermin dalam pasal-pasal di dalamnya memberikan gambaran
nyata pengelolaan ekonomi yang liberal kapitalistik dan bertentangan dengan roh
konstitusi.
Ketiga,
dengan dua pendekatan tersebut, UU ini pada saat yang sama mengesampingkan
perlindungan terhadap bangsa, serta tidak meberikan kemudahan bagi masyarakat
yang membutuhkan akses.
Keempat,
menurut Sigit, penyusunan UU ini tidak mengakomodir suara-suara atau masukan
dari masyarakat. Suara-suara masukan dari kalangan masyarakat sipil lain dan
para pemangku kepentingan juga diberikan, tapi dalam proses deliberasi tidak
terakomodasi bahkan dikesampingkan. Ini berarti ada masalah yang harus disikapi
dan direspon dengan kritis.
Sementara
itu, pakar hukum tata negara UGM, Zainal Arifin Mochtar juga menyampaikan kritik
yang sama. Dimana proses formil pengesahan UU ini bermasalah karena tidak ada
partisipasi publik. Bahkan anggota DPR dalam pengesahannya tidak mendapatkan
draft terakhir sehingga mereka tidak bisa memberikan komentar. Belum lagi DPR
mengembalikan kepada pemerintah untuk menandatangani UU ini yang
dikhawatirkannya akan mengulangi masalah seperti UU Pemilu lalu. Dimana ada
pasal-pasal selipan yang masuk.
“Anggota
DPR harus lihat baik-baik, jangan-jangan setelah tahapan persetujuan masih ada
sinkronisasi, ada titipan seperti yang ada di UU Pemilu yang kita kawal itu,”
sebagaimana dikutip dari sebuah media online terkemuka.
Dia
berharap ada tekanan publik yang kuat terhadap UU ini. Meskipun ia pesimis hal
ini berdampak signifikan terhadap UU tersebut dan pada akhirnya akan dilakukan
judicial review.
Namun,
pengawalan ini tetap penting, karena sebelumnya sudah banyak legislasi yang
bermasalah yang dibuat oleh DPR dan pemerintah. Seperti UU KPK, UU MK, dan UU
Minerba.
Solusi jalan tengah UU
Ciptaker
RUU
Ciptaker telah disahkan DPR-RI secara legal-prosedural, setelah melalui jalan
panjang sejak diminta Presiden Joko Widodo di awal tahun 2020. Terlepas dari
karut-marut proses panjang perjalanan draft RUU Ciptaker yang mendapatkan
penolakan keras oleh kaum buruh sejak awal, kita akui proses penyusunan,
pembahasan, finalisasi dan pengesahan RUU Ciptaker adalah sah secara hukum dan
konstitusional.
Lalu
apa solusi jalan tengah yang bisa diusulkan agar situasi kisruh ini bisa
diselesaikan secara baik-baik? Penulis mengusulkan beberapa solusi sebagai
berikut:
Solusi
pertama, Pemerintah bisa mempertimbangkan banyaknya penolakan atas UU Ciptaker
ini dari hampir semua elemen masyarakat, dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU (Perppu), agar UU Ciptaker tersebut bisa Kembali
dievaluasi secara komprehensif, dengan melibatkan semua elemen masyarakat yang
terkait dengan implementasi UU tersebut nantinya. Pembahasan dan finalisasi
hanya difokuskan kepada pasal-pasal kontroversial yang menjadi pemicu terjadinya
demo kaum buruh. Adalah sangat arif dan bijaksana, jika Pemerintah bisa
mengambil keputusan ini, agar kekisruhan dan penolakan UU Ciptaker bisa
diselesaikan secara tuntas, sistematis dan komprehensif. Banyak sekali dampak
ikutan atas demo besar-besaran yang dilakukan kaum buruh dan elemen2 masyarakat
lainnya. Misalnya bertambahnya klaster-klaster kerumunan demo di banyak wilayah
Indonesia, berhentinya proses produksi di banyak perusahaan yang berakibat
kerugian sangat besar dan terganggunya stabilitas keamanan dan politik
nasional.
Solusi
kedua, Kaum buruh menghentikan demo dan unjuk rasa besar-besaran tersebut,
untuk fokus melakukan proses hukum “judicial review” atas materi-materi UU
Ciptaker yang menjadi permasalahan dan merugikan kepentingan mereka. Solusi
kedua ini memang butuh kesabaran dan kearifan kaum buruh dan menyerahkan
sepenuhnya keputusan evaluasi materi UU Ciptaker kepada para Hakim Agung di
Mahkamah Konstitusi (MK). Prose hukum adalah proses paling elegan, rasional dan
memberikan kepastian dan keadilan kepada semua pihak yang berkepentingan.
Namun, ada satu catatan kecil terkait kredibilitas dan independesi para Hakim
Agung MK dalam membuat keputusan nantinya. Tentu saja kita sangat berharap,
para Hakim Agung MK tersebut bisa mengambil keptusan hukum yang objektif,
jernih, berhati nurani dan professional.
Solusi
ketiga, UU Ciptaker tetap dilanjutkan secara hukum dan prosedural, namun materi
atau isi pada pasal2 kontroversial “disesuaikan” pada aturan turunan UU, yakni Peraturan
Pemerintah (PP) yang akan menjadi aturan hukum pelaksanaan secara konkrit.
Banyak pasal-pasal UU Ciptaker yang dalam tataran implementasinya harus
dikonkritkan melalui Peraturan Perusahaan (PP). Diharapkan kepada Pemerintah
untuk bisa secara pro-aktif melibatkan semua perwakilan serikat pekerja dan
elemen2 hubungan industrial lainnya, agar isi atau materi PP tersebut
setidaknya bisa mengakomodir dan menetralisir mayoritas aspirasi kaum buruh.
Akhirnya,
penulis berharap kepada semua pihak, khususnya Pemerintah dan DPR-RI untuk
menjadikan kontroversi-kontroversi yang terkait dengan kepentingan pihak-pihak
yang berkepentingan materi UU, haruslah benar-benar mengakomodir, mendengarkan
dan merangkul mereka, agar dampak buruk atas dikeluarkannya sebuah UU yang
notabene adalah beleid negara yang tidak bisa lepas dari nuansa politis dan
kepentingan, bisa benar-benar memenuhi aspirasi semua pihak, demi terciptanya
tujuan hubungan industrial Pancasila yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan
berkelanjutan. Semoga.
Bekasi, 08 Oktober 2020
Komentar
Posting Komentar