Omnibus Law & Hubungan Industrial Pancasila Oleh: Yosminaldi, SH. MM (Mahasiswa Doktoral MSDM Univ. Negeri Jakarta), Dosen Hu
Jagat dunia ketenagakerjaan Indonesia
akhir-akhir ini, diguncang dengan munculnya RUU Omnibus Law yang salah satu
klusternya adalah tentang Cipta Lapangan Kerja atau Cipta Kerja. Pemerintah RI berusaha
“mengebut” terwujudnya UU Omnibus Law dalam 100 hari, agar hambatan-hambatan
dan permasalahan yang terjadi selama ini – menurut versi Pemerintah, terkait
dengan investasi, peningkatan lapangan kerja dan pesangon maupun hal-hal yang berdampak
kepada berkurangnya nilai investasi di Indonesia, bisa secepatnya teratasi.
Namun disisi lain, draf RUU Omnibus
Law tersebut mendapatkan tantangan & penolakan keras dari pihak Buruh dan
Serikat Buruh. Mereka menilai, Pemerintah sebagai inisiator RUU, tidak
melibatkan Serikat Buruh/Serikat Pekerja. RUU Omnibus Law ditengarai sudah
disusun dan didiskusikan secara eksklusif oleh Pemerintah bersama Organisasi
Pengusaha, tanpa mengundang perwakilan Serikat Buruh/Serikat Pekerja. Pemerintah
menampik dengan memberikan klarifikasi, bahwa draf RUU Omnibus Law sudah
melibatkan unsur Serikat Buruh dan juga Organisasi Pengusaha serta unsur-unsur
lain yang berkepentingan dalam bidang ketenagakerjaan. Lantas, kenapa RUU
Omnibus Law khususnya tentang Cipta Kerja telah menjadi “bola panas” yang
bergulir kesana-kemari, makin membesar dan tanpa kontrol? Apa alasan utama kaum
buruh menolak keras RUU tersebut? Apa “way out” agar RUU Omnibus Law tersebut
bisa diterima semua pihak, khususnya Pengusaha & Buruh/Pekerja?
Keterbukaan & Partisipasi Masyarakat
Guru Besar Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
(FHUI) Maria Farida Indrati menegaskan tindakan pemerintah itu meniadakan
partisipasi masyarakat. "Itu yang disayangkan. Karena masih kelihatan
tertutup. Jadi kita belum tahu. Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan itu ada asas keterbukaan dan
partisipasi masyarakat. Selama ini sudah ribut, tapi kok kita belum tahu
seperti apa. Itu yang menjadi masalah," Gresnews.com,
Kamis (6/2/2020).
Dalam teori demokrasi, pemerintahan
yang terbuka adalah suatu hal yang esensial atau penting, terutama akses bebas setiap warga negara
terhadap berbagai sumber informasi, supaya tidak terjadi saling curiga antar
individu, masyarakat dengan pemerintah.
Keterbukaan dalam penyelenggaraan bernegara, khususnya dalam penyusunan
sebuah kebijakan atau regulasi haruslah jelas, tidak dilakukan secara sembunyi,
rahasia tetapi perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawabannya bisa diketahui
publik dan rakyat berhak atas informasi faktual mengenai berbagai hal yang
menyangkut pembuatan, penyusunan, pembahasan dan penerapan sebuah kebijakan/regulasi.
Ciri-ciri keterbukaan menurut David
Beetham dan Kevin Boyle (2000:98) :
1. Pemerintah menyediakan berbagai informasi faktual mengenai kebijakan
yang akan dan sudah dibuatnya.
2. Adanya peluang bagi publik dan pers
untuk mendapatkan atau mengakses berbagai dokumen pemerintah melalui parlemen.
3. Terbukanya rapat-rapat pemerintah
bagi publik dan pers, termasuk rapat-rapat parlemen.
4. Adanya konsultasi publik yang
dilakukan secara sistematik oleh pemerintah mengenai berbagai kepentingan yang
berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan.
Prinsip mengenai pemerintahan yang
terbuka tidak berarti bahwa semua informasi mengenai penyelenggaraan boleh
diakses oleh publik. Ada informasi
tertentu yang tidak boleh diketahui oleh umum berdasarkan undang-undang.
Jika dikaitkan dengan proses
penyusunan draf RUU Omnibus Law, jelas sekali terlihat, bahwa prinsip-prinsip
keterbukaan & partisipasi masyarakat, khususnya unsur terkait yang
berkepentingan dalam RUU tersebut, yakni Serikat Buruh/Pekerja belum dilibatkan
secara maksimal dan optimal oleh Pemerintah sebagai inisiator.
Hubungan Industrial Pancasila & LKS Tripartit
Dalam pasal 1
angka 16 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan
bahwa pengertian istilah hubungan industrial adalah suatu sistem hubungan yang
terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan jasa yang
terdiri atas unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang
didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945.
Tujuan Hubungan Industrial yaitu untuk :
Mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berdasarkan Pancasila serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial melalui penciptaan ketenangan, ketentraman dan ketertiban
kerja serta ketenangan usaha, meningkatkan produksi dan meningkatkan
kesejahteraan pekerja serta derajatnya sesuai derajat manusia. Sedemikian berat
dan mulianya tujuan tersebut, maka semua pihak yang terkait dalam hubungan
industrial harus memahami untuk terwujudnya pelaksanaan hubungan industrial
dengan baik.
Penulis melihat,
konsep Hubungan Industrial Pancasila mulai penyusunan draft & konten RUU
Omnibus Law belum dilaksanakan dengan baik dan optimal. Adapun Peran LKS
Tripartit Nasional (Pengusaha, Pemerintah dan Pekerja) sebagai fondasi utama
dalam pelaksanaan Hubungan Industrial Pancasila belum dan bahkan tidak terlihat
gaungnya. Jika peran dan fungsi LKS Tripartit Nasional diberdayakan secara optimal
dan mencapai titik kesepakatan, sudah pasti dalam tahapan penyusunan draf RUU
Omnibus Law tersebut tidak akan mendapatkan hambatan apapun.
Lembaga Kerja Sama
Tripartit yang selanjutnya disebut LKS Tripartit adalah forum komunikasi,
konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya
terdiri dari unsur organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah (Pasal 1 PP No 8 tahun 2005). Tugas utama LKS Tripartit adalah menyatukan konsepsi, sikap dan rencana dalam
menghadapi masalah ketenagakerjaan, baik untuk saat sekarang, maupun masa
mendatang.
Berdasarkan uraian diatas, penulis
mengusulkan agar semua pihak yang berkepentingan dalam penegakkan sistem dan
mekanisme Hubungan Industrial Pancasila (Pengusaha, Pemerintah & Pekerja)
bisa kembali “Bersatu dalam satu visi”, yakni Visi menciptakan Hubungan
Industrial Pancasila yang Harmonis, Kondusif, Dinamis dan Berkeadilan
berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Tiada kata terlambat untuk melakukan
evaluasi menyeluruh, terkait dengan penyusunan sebuah kebijakan dan regulasi
yang bisa berdampak merugikan salah satu pihak dalam jangka panjang. Mencari
solusi terbaik agar sebuah kebijakan/regulasi ketenagakerjaan selalu berpijak
diatas koridor, kerangka sistem dan mekanisme Hubungan Industrial Pancasila,
dibutuhkan keterbukaan, kebersamaan, saling-percaya & komitmen tinggi
secara konsisten dan konsekwen dari semua pihak yang berkepentingan, khususnya
elemen-elemen Tripartit Ketenagakerjaan (Pengusaha, Pemerintah & Pekerja). Semoga.
Komentar
Posting Komentar