Era Revolusi Industri 4.0: Quo Vadis Peningkatan Kompetensi SDM Indonesia? Oleh: Yosminaldi, SH. MM (Mahasiswa Program Doktoral MSDM - Universitas Negeri Jakarta) Ketua Umum FK-HR EJIP & ASPHRI, Praktisi Senior HRD, Bekerja di PT. EJIP

 

Terminologi “Industri 4.0” pertama kali digunakan di ranah publik, pada pameran industri Hannover Messe di kota Hannover, Jerman di tahun 2011. Dari peristiwa ini juga sebetulnya ide “Industri 2.0” dan “Industri 3.0” baru muncul, sebelumnya cuma dikenal dengan nama “Revolusi Teknologi” dan “Revolusi Digital”.

Kemajuan yang paling terasa di era revolusi 4.0 adalah internet. Semua komputer tersambung ke sebuah jaringan bersama. Komputer juga semakin kecil, sehingga bisa menjadi sebesar kepalan tangan.  Itulah smartphone. Bukan cuma kita tersambung ke jaringan raksasa, kita jadinya SELALU tersambung ke jaringan raksasa tersebut. Inilah bagian pertama dari revolusi industri keempat: “Internet of Things” saat komputer-komputer yang ada di pabrik itu tersambung ke internet, saat setiap masalah yang ada di lini produksi bisa langsung diketahui SAAT ITU JUGA oleh pemilik pabrik, di manapun si pemilik berada!

Bagi Tenaga Kerja atau Sumber Daya Manusia (SDM), Revolusi Industri 4.0 memberikan dampak yang cukup signifikan. Pabrik-pabrik pintar nyaris tidak membutuhkan tenaga manusia, kecuali sedikit tenaga-tenaga kerja yang sangat terampil. Dampaknya, akan banyak tenaga kerja yang diprediksi menjadi pengangguran, karena terbatasnya peluang kerja dan tuntutan standar kompetensi kerja yang tinggi. Tanpa Industri 4.0 saja, banyak negara, termasuk Indonesia yang mengalami problem pengangguran. Industri 4.0 akan menambah beban setiap negara untuk mengatasi masalah peningkatan kompetensi tenaga kerja, pengangguran yang naik, dan gap kesejahteraan.

Semua ini, akan membuat tekanan di pasar kerja kian kuat. Begitu kompleknya rantai yang melatar belakangi revolusi industri, sehingga perubahan yang terjadi dari mulai pengembangan genetika, artificial intelligence/kecerdasan buatan, teknologi nano, robotik, bioteknologi, pencetakan 3D turut mempengaruhi dan menjadi tantangan bagi perusahaan, pemerintah dan individu untuk terus melakukan adaptasi yang proaktif.

Hubungan revolusi industri saat ini bukan dimaknai sebagai persaingan antara manusia dan mesin, namun lebih sebagai peluang untuk kerja sesungguhnya dimana teknologi bisa menjadi penghubung untuk memaksimalkan potensi manusia. Sehingga menjadi penting upaya untuk membangun hubungan antara pemerintah, dunia pendidikan, penyedia jasa pelatihan, pekerja dan pegawai untuk menjaga dampak transformasi revolusi industri keempat pada keterkaitan isu ketenagakerjaan, keahlian dan pendidikan.

Apa peluang bagi SDM Indonesia di era revolusi industri 4.0?

Indonesia akan memasuki era puncak “bonus demografi” pada tahun 2025 – 2030, dimana pada lima tahun tersebut, sebanyak 70% dari total penduduk Indonesia adalah usia produktif.

Berdasarkan hasil penelitian McKinsey Global Institute menyebutkan, bahwa Indonesia akan menjadi negara ekonomi terbesar ke-7 di dunia pada tahun 2030, naik dari peringkat ke-16 saat ini. Namun hal tersebut membutuhkan peningkatan produktivitas untuk memenuhi target pertumbuhan. Indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang cepat sebagai akibat dari kombinasi konsumsi domestik dan pertumbuhan produktivitas. Pada tahun 2030 Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 di dunia, melampaui Jerman dan Inggris. Indonesia juga memiliki value proposition yang menarik. Lebih dari 20 tahun, peningkatan produktivitas tenaga kerja telah mencatatkan lebih dari 60% pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Produktivitas dan lapangan kerja meningkat dalam 51 tahun terakhir. Kualitas SDM yang mumpuni dan terampil perlu dipersiapkan dalam menghadapi tidak hanya Revolusi Industri 4.0, namun juga peluang di tahun 2030 tersebut. Salah satu cara yaitu dengan adanya pelatihan vokasi (vocational training).

Pelatihan vokasi perlu mendapat perhatian penting karena memiliki kelenturan dalam mendorong perubahan skills di masyarakat. Akses seluas-luasnya yang diberikan pemerintah untuk tenaga kerja atau pencari kerja mengikuti pelatihan baik di Balai Latihan Kerja (BLK), industri, atau program magang diharapkan bisa mempersiapkan tenaga kerja masuk ke pasar kerja dan berwirausaha. Lulusan BLK diharapkan mampu bersaing menghadapi Revolusi Industri 4.0 ini, dan menjawab peluang Indonesia sebagai salah satu negara dengan ekonomi terbesar di dunia satu dekade lagi.

Apa kendala & tantangan bagi peningkatan SDM Indonesia di era revolusi industri 4.0?

Kendala & tantangan terbesar bangsa Indonesia dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 adalah kondisi kemampuan sumber daya manusia Indonesia yang masih terbatas. Maka dari itu, perlu dibuat “grand design” system peningkatan keahlian (skill) sumber daya manusia atau tenaga kerja, agar mampu mengimbangi kemajuan teknologi. Revolusi industri membuat dunia ekonomi berubah dengan cepat.

Perubahan tersebut ditakuti oleh semua negara, termasuk negara besar seperti Amerika dan Inggris. Sebab, revolusi industri mengubah inti dari ekonomi saat ini menjadi sebuah persaingan. Setiap negara berlomba menjadi yang terbaik dengan menawarkan layanan cepat dan murah.

Revolusi industri 4.0 memicu persaingan itu, terlihat di sejumlah negara negara besar seperti Amerika dan Inggris yang mempraktekkan ekonomi tertutup. Negara kapitalis tersebut yang selama ini memproduksi barang-barang dengan harga tinggi akan terpengaruh dengan masuknya barang-barang produksi China yang mempraktekkan ekonomi terbuka.

Perang dagang antara China dan Amerika yang terjadi belakangan ini justru merugikan Amerika. Padahal, kebijakan yang memicu perang dagang itu jelas secara terang-terangan diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump.

Kasus Brexit, di mana Inggris keluar dari Komite Ekonomi Eropa, juga merupakan manifestasi dari ketakutan terhadap persaingan dunia di tengah Revolusi Industri. Tantangan terpenting bagi Indonesia untuk menghadapi revolusi industri 4.0 adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kemampuan & kompetensi sumber daya manusia Indonesia saat ini, masih menjadi pekerjaan rumah bagi semua komponen bangsa.

Sebagai contoh, pada tes calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang dilakukan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refomasi Birokrasi (PANRB) di tahun 2018 lalu, di mana yang lolos tes masih sangat minim. Dari sekitar 3,8 juta pelamar, yang lulus untuk ikut tes sebanyak 1,8 juta orang. Dari 1,8 juta orang tersebut, hanya 8 persen yang dinyatakan lulus, atau sekitar 100 ribu orang. Padahal yang dibutuhkan sebanyak 200 ribu CPNS – sumber dari Kementerian PANRB.

Revolusi industri 4.0 dengan teknologi yang maju tidak mungkin dihalangi. Karena itu Indonesia perlu masuk dan bersaing di dalamnya. Persaingan tersebut tidak mudah, tidak murah, dan tidak cepat, karena butuh waktu belajar. Laporan sejumlah media bisnis ternama menyebutkan, revolusi industri 4.0 kini mencemaskan masa depan para buruh di negara-negara besar seperti Amerika. Terlebih, di banyak industri robot bukan saja telah menggantikan tenaga-tenaga teknik, tapi keberadaan robotik sudah merambah pada tenaga staf keuangan dan administrasi. Jadi, kehadiran industri 4.0 dikhawatirkan akan menciptakan gelombang PHK besar-besaran di banyak industri besar dunia.

Sudah saatnya Indonesia sebagai negara dengan penduduk no 4 terbesar di dunia bisa menunjukkan jatidiri sebagai bangsa yang inovatif, kreatif, produktif dan kompetitif di era revolusi industri 4.0, dengan selalu memberikan perhatian besar kepada peningkatan kompetensi tenaga kerja/SDM, khususnya dalam mengantisipasi pesatnya kemajuan teknologi yang makin ‘unpredictable’ dan fantastis. Majulah negeriku, Jayalah bangsaku, Indonesia Tanah airku tercinta!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PT 20% MENGHINA AKAL SEHAT PUBLIK Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik Berkeadilan)

MENTALITAS & BUDAYA PENEGAKKAN HUKUM BERKEADILAN Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Sospol, Hukum & Ketenagakerjaan)

DILEMMA KEKUASAAN EKSEKUTIF: POLITIK AKOMODATIF VS POLITIK OPOSISI Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)