HAK PREROGATIF MENGANULIR PUTUSAN PENGADILAN Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pengamat Politik, Demokrasi & Hukum)

 “Jika kita menginginkan penghormatan terhadap hukum, pertama-tama kita harus membuat hukum menjadi terhormat.” Anonim

    Presiden Prabowo baru saja (28 Nov 2025) mengirimkan SK (Keppres) terkait rehabilitasi eks Dirut ASDP ira Puspadewi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pihak KPK sebagaimana diberitakan detikcom, telah menerima Surat Keputusan Presiden tersebut. 

    Rehabilitasi kepada Ira Puspadewi tersebut didasarkan dari masuknya aspirasi masyarakat kepada DPR-RI. Hal tersebut dijelaskan oleh Wakil Ketua DPR-RI Sufmi Dasco Ahmad yang juga Ketua Harian Partai Gerindra.

    Ira Puspadewi telah divonis 4.5 tahun penjara dalam perkara akuisisi PT. Jembatan Nusantara (JN) oleh PT. ASDP, sebagaimana diberitakan oleh sejumlah media massa.

    Hak Rehabilitasi adalah Hak Konstitusional Presiden yang diatur jelas pada Pas 14 ayat (1) UUD 1945: "Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung". Artinya, Hak Prerogatif Presiden tersebut tidak bersifat absolut, namun ada proses "check and balances" oleh Mahkamah Agung (MA) yang sejalan dengan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) menurut "Trias Politica" Montesquieu.

    Pertanyaannya, walaupun implementasi Hak Konstitusional Presiden tersebut sudah mematuhi alur proses dengan melakukan koordinasi bersama MA, apakah secara substansial, Hak Rehabilitasi Presiden tersebut sudah memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum serta tidak merusak sistem dan proses hukum formil dan materil yang berlaku?

HORMATI PROSES HUKUM

    Proses hukum acara pidana meliputi serangkaian tahapan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan, dan kemudian dilanjutkan ke tahap penuntutan oleh Jaksa. Setelah itu, perkara disidangkan di Pengadilan, dimana Majelis Hakim akan memutuskan bersalah atau tidak bersalah dalam Putusan (Vonis). Jika salah satu pihak tidak puas dengan Putusan/Vonis Hakim, mereka dapat mengajukan upaya hukum Banding dan Kasasi serta Peninjauan Kembali (PK).

    Dalam perkara eks Dirut ASDP, KPK telah melaksanakan semua proses hukum dengan baik. Apalagi secara formil, penanganan perkara akuisisi PT. Jembatan Nusantara (JN) oleh PT. ASDP tahun 2019 - 2022 sudah diuji lewat Pra Peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan KPK dinyatakan menang (CNN Indonesia 26 Nov 2025).

    Dari penjelasan diatas, proses hukum telah dilaksanakan secara sistematis, prosedural dan profesional oleh KPK sampai ke tahap Pengadilan yang telah mengeluarkan Vonis 4.5 tahun penjara.  Artinya, jika Terpidana keberatan dengan vonis Pengadilan tingkat pertama, bisa mengajukan hak banding ke Pengadilan Tinggi.

    Namun sangat disayangkan, proses hukum yang harusnya lebih menjadi prioritas demi menegakkan supremasi hukum dan keadilan, telah diputus oleh sebuah hak privilege/prerogatif Presiden. 

    Jika kita membaca Pasal 97 ayat (1) KUHAP: "Seseorang berhak memperoleh rehabilitasi, apabila oleh Pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap". Artinya, jika memaknai pasal diatas, hak Rehabilitasi Presiden belum bisa digunakan! Hal ini dikarenakan adanya frasa "Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap". 

    Apakah vonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang mengadili perkara eks Dirut ASD tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap? Tentu saja belum, karena masih ada tahapan banding dan kasasi, dimana putusan/vonis kasasi menjadi Putusan yang "inkracht" atau tetap.

    Menganalisis dikeluarkannya Hak Rehabilitasi Presiden tersebut walaupun sudah mendapatkan masukan dan pertimbangan MA & DPR-RI, sungguh sangat terlihat mengenyampingkan dan tidak menghormati proses hukum acara yang telah dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) mulai dari Penyidik KPK sampai proses sidang Pengadilan Tipikor.

    Sangat terkesan sekali, pemberian Hak Prerogatif (Rehabilitasi) oleh Presiden tersebut lebih memperhatikan dan mempertimbangkan tuntutan dan aspirasi publik via media sosial dibandingkan proses hukum yang seharusnya dijunjung dan dihormati sebagai pencarian keadilan secara substanstif dan material.

    Diharapkan pemberian Hak prerogatif Presiden yang Konstitusional ini kedepan harus lebih berhati-hati dan benar2 melalui pengkajian mendalam, agar tidak menjadi preseden buruk dalam proses penegakkan hukum, kebenaran dan keadilan di negeri tercinta ini.

Bekasi, 28 Nov 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PT 20% MENGHINA AKAL SEHAT PUBLIK Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik Berkeadilan)

MENTALITAS & BUDAYA PENEGAKKAN HUKUM BERKEADILAN Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Sospol, Hukum & Ketenagakerjaan)

DILEMMA KEKUASAAN EKSEKUTIF: POLITIK AKOMODATIF VS POLITIK OPOSISI Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)