MARI BELAJAR DARI (KASUS) NOEL Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

 "Seperti yang telah saya katakan, hal pertama yang harus dilakukan adalah jujur ​​pada diri sendiri. Anda tidak akan pernah bisa memberikan dampak pada masyarakat jika Anda belum mengubah diri sendiri. Pembawa damai yang hebat adalah orang-orang yang berintegritas, jujur, dan rendah hati" Nelson Mandela

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuat "berita" yang sekejap, mampu mengalihkan perhatian publik. Tepat di siang hari pada Kamis (21 Agustus 2025), hampir semua stasiun TV berita Indonesia menyiarkan "breaking news" terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) Wamenaker RI. 

    Baru menjabat sebagai Wamenaker beberapa bulan dengan sejumlah gebrakan "turba" (turun kebawah) ke beberapa perusahaan, Noel - panggilan akrab Pak Wamen ini banyak mendapat pujian dan sekaligus kecaman dari banyak kalangan.

    Dipuji, karena langsung turun tangan menyelesaikan kasus yang merugikan tenaga kerja, seperti penahanan ijazah asli oleh perusahaan, pembayaran pesangon PHK yang tak proporsional, dan sejumlah kasus2 pelanggaran lainnya.  

    Dikecam oleh kalangan Praktisi HRD, terkait "statement" asal bunyi (asbun) yang dengan gampangnya meminta perusahaan memecat HR Manager yang mengkritisi "Job Fair". Kritikan kalangan Praktisi HR tersebut harusnya menjadi masukan bagi instansi Kemnaker RI sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan sistem dan mekanisme rekrutmen dan seleksi calon karyawan secara massif. 

    Sangat disayangkan, kritikan konstruktif-positif tersebut direspon oleh Noel secara emosional dan terkesan tak bijak. Dengan pemahaman dan pengetahuan tentang dunia ketenagakerjaan yang baru "seumur jagung", Pak Wamen dengan penuh percaya diri membuat respon yang provokatif. Harusnya sebagai Pejabat publik, Pak Wamen bisa merangkul para "stakeholders" dunia hubungan industri Indonesia agar terwujud kebersamaan dan satu visi dalam membangun dunia ketenagakerjaan yang lebih baik.

    Dalam sejumlah siniar (podcast) serta seminar2 dan diskusi2 publik, Noel lantang menyuarakan anti korupsi dan berkomitmen untuk menegakkan aturan serta membela hak2 kaum pekerja. Singkatnya, Noel yang berkarir mulai dari seorang Pekerja Ojek online ini menjadi salah satu tokoh Pejabat Negara yang "bersinar" berkat gebrakan2 yang terkesan memberikan harapan positif dalam perbaikan dan kebaikan dunia ketenagakerjaan Indonesia.

    Namun sangat disayangkan, perjalanan karir sang Wamen yang tadinya diharapkan bisa memberikan harapan, terhenti karena "kecerobohan" sendiri. Beliau terjerat kasus pemerasan atas penerbitan sertifikat K3 yang dikeluarkan Kemnaker RI. 

    Sebagaimana disampaikan oleh Ketua KPK, Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel yang jelas mengetahui ada "permainan" dalam manajemen sertifikasi K3 di internal lembaga yang dia pimpin, bukannya membereskan pelanggaran tersebut, justru malah meminta jatah untuk pribadinya. 

    Artinya, apa yang selalu diucapkan dan dinyatakan secara lantang oleh Noel dalam sejumlah kesempatan di depan publik untuk memberantas praktik korupsi di dunia ketenagakerjaan khususnya lingkungan Kemnaker RI, justru tak sesuai dengan fakta sikap dan perilaku (behaviour) dia di lapangan.

BUDAYA MERITOKRASI

    Berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945): "Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden". Ketentuan ini menegaskan kewenangan Presiden untuk menunjuk dan memberhentikan menteri-menteri yang akan membantu Presiden dalam menjalankan Pemerintahan. Artinya, Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, memiliki kekuasaan penuh untuk memilih dan mengangkat Menteri2 yang akan menjadi Pembantunya. 

    Namun, sistem rekrutmen dan seleksi oleh Presiden dalam mengangkat seseorang menjadi Menteri & Wakil Menteri, lebih banyak didasarkan kepada hasil lobby2 politik. Kepentingan stabilitas kekuasaan dalam sistem politik kita yang membuat Presiden harus kokoh berkolaborasi dengan Parlemen, adalah sebuah keniscayaan. 

    Maka dari itu, aspek profesionalisme, kompetensi dan meritokrasi harus juga menjadi pertimbangan utama, agar keberlanjutan dan stabilitas Pemerintahan bisa berjalan dengan baik, benar dan tanpa diganggu oleh masalah2 integritas, komitmen dan Profesionalisme dari seorang Menteri/Wakil Menteri yang diangkat tersebut. Sudah jamak diyakini bahwa meritokrasi adalah pendekatan yang paling pas untuk proses rekrutmen dan seleksi atau pengakuan di banyak konteks kepemimpinan organisasi.

     Meritokrasi adalah suatu sistem atau filosofi yang didasarkan pada prinsip bahwa keunggulan individu dan prestasi mereka seharusnya menjadi dasar utama untuk pengakuan, promosi, dan penghargaan dalam suatu masyarakat atau organisasi.

    Pendekatan ini sering kali dihadapkan dengan pendekatan lain yang didasarkan pada pertimbangan emosi, politis atau preferensi personal. Dalam pendekatan kedua ini terdapat nuansa subjektivitas karena favoritisme, ketidaksukaan, dan sejenisnya.

    Sistem rekrutmen dan seleksi atau pengakuan berbasis meritokrasi diharapkan akan memberikan keadilan untuk semua pihak, karena prinsip kesetaraan. Semua orang mempunyai kesempatan dan akses yang sama untuk menduduki sebuah jabatan (Sandel, 2020).

    Kembali kepada posisi Menteri dan Wakil Menteri, jika jabatan Menteri sebagai bagian dari kesepakatan politik, maka untuk jabatan Wakil Menteri harus menggunakan pola dan sistem meritokrasi, agar terwujud keseimbangan dalam bentuk implementasi pembagian tugas dan pekerjaan antara keduanya secara lebih proporsional.

    Bisa saja untuk jabatan Wakil Menteri diberikan khusus kepada kelompok2 intelektual ataupun profesional yang berintegritas, untuk membantu Menteri menyusun konsep2 fundamental di internal kementerian terkait. Model seleksi "fit and proper test" bisa menjadi alternatif dalam merekrut kaum intelektual/profesional tersebut.

    Bentuk semi "zaken kabinet" akan memberikan kontribusi positif-konstruktif dalam memperbaiki sistem dan mekanisme Pemerintahan di masing2 kementerian. Kombinasi Politisi dan Profesional/Intelektual yang non partisan akan memberikan angin segar dalam Pemerintahan Prabowo menuju Indonesia  Emas 2045. Semoga.

Bekasi, 23 Agustus 2025


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PT 20% MENGHINA AKAL SEHAT PUBLIK Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik Berkeadilan)

MENTALITAS & BUDAYA PENEGAKKAN HUKUM BERKEADILAN Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Sospol, Hukum & Ketenagakerjaan)

DILEMMA KEKUASAAN EKSEKUTIF: POLITIK AKOMODATIF VS POLITIK OPOSISI Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)