PESAN MENJELANG PEMILU & PILPRES 14 FEBRUARI 2024: HORMATI SUARA RAKYAT, KAWAL HASIL PEMUNGUTAN SUARA, LAWAN KECURANGAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)
"Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang menggantikan pemilihan oleh banyak orang yang tidak kompeten untuk jabatan oleh segelintir korup." - George Bernard Shaw
Pemilu & Pilpres 2024 tinggal menghitung hari. Jika dihitung mulai hari ini, kita menunggu 4 hari lagi melaksanakan "Pesta Demokrasi" lima tahunan tersebut. Sudah pasti setiap calon pemilih memiliki calon legislatif & capres-cawapres pilihannya masing2.
Pesta Akbar no 4 terbesar di dunia ini telah dan akan menghabiskan dana negara alias uang hasil keringat rakyat dari penarikan pajak yang luar biasa besar. Menurut info resmi, sudah lebih 100 T biaya APBN dikeluarkan agar pelaksanaan Pemilu & Pilpres 2024 bisa terlaksana baik sesuai rencana dan harapan. Belum lagi biaya2 kampanye yang sudah dikeluarkan oleh hampir 12 ribu caleg DPR-RI & DPD RI dan 200 ribuan caleg2 DPRD Prov, Kota dan Kabupaten dan 3 pasangan calon Presiden-Wakil Presiden.
Semua biaya2 tersebut tentu untuk satu tujuan: memenangkan Pemilu dan Pilpres 2024 yang dicita-citakan. Masing2 Caleg dan Capres-Cawapres sudah memiliki visi, misi dan strategi untuk jika nanti duduk di Senayan dan Istana untuk kepentingan rakyat (idealnya). Namun, apakah cita2 dan harapan2 yang disuarakan pada kampanye itu dilaksanakan jika nanti terpilih? Itu soal lain! Tak ada aturan jelas dan sanksi jika janji2 gombal dan bahkan absurd di masa kampaye tersebut tak diwujudkan.
Disitulah letak "kenyamanan" dan kenikmatan berkampanye bagi caleg, capres-cawapres. Mereka semaunya dan "sewenang-wenang" memberikan janji2 yang belum tentu bisa direalisasikan. Yang penting berikan janji dulu! Urusan bukti dan realisasi belakangan. Anehnya, banyak rakyat pemilih yang terlena, terbuai dan "terjerat" dengan janji2 irrasional tsb.
Ada yang berjanji jika terpilih, BPJS gratis, kuliah gratis, makan siang gratis, susu gratis dan segudang kegratisan yang tak masuk akal. Mereka lupa, penduduk negeri ini no 4 terbesar di dunia. Hutang negara makin menumpuk. Sebagian besar anggaran APBN terserap untuk pembiayaan2 rutinitas operasional negara, bukan untuk mensejahterakan rakyat. Tantangan inilah yang sering menjadi "penipuan politik" yang menjerat mayoritas pemilih yang nota bene berpendidikan rendah dan ber-ekonomi kelas bawah.
KAWAL PEMILU & PILPRES 2024
Dalam sejarah, ungkapan “Vox Populi Vox Dei” muncul pada awal berkembangnya demokrasi modern, sejak revolusi Prancis. Semboyan ini sebetulnya hendak melawan semboyan klasik: "Vox Rei, Vox Dei" (Suara Raja adalah Suara Tuhan).
Semboyan ini merupakan prinsip dasar teokrasi dari bentuk pemerintahan monarki dimana Raja mendapatkan legitimasi dari klaimnya bahwa dia adalah wakil Tuhan di bumi. Dia tidak dipilih rakyat, tetapi diurapi Tuhan, dan kekuasaannya diwariskan secara turun temurun kepada keturunannya berdasarkan klaim itu. Karena itu, raja tidak pernah bertanggungjawab terhadap rakyat, tetapi terhadap Tuhan.
Pada praktiknya, kekuasaan Raja itu absolut dan sewenang-wenang sehingga memunculkan protes dan revolusi dari rakyat. Raja beserta keluarganya dibunuh. Pada titik ini, kedaulatan rakyat betul-betul terwujud.
Bagaimana dengan praktik demokrasi kita? Sungguhkah kedaulatan rakyat betul-betul terjadi?
Sistem berdemokrasi di negeri ini baru benar2 dimulai sejak era reformasi 1998. Tumbangnya orde baru yang dikuasai diktator Soeharto selama 32 tahun, merubah sistem bernegara di negeri ini secara revolusioner. Semua orang ingin sistem demokrasi yang berpijak kepada kedaulatan rakyat tersebut benar mengakomodir suara rakyat melalui Pemilu & Pilpres sebagai sarana mewujudkan "vox populi vox dei".
Ternyata, memang tidak gampang mendapatkan dukungan rakyat. Uang dipakai sebagai cara ampuh untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Selain itu, rakyat bisa juga tidak memilih kembali wakil rakyat yang mengabaikan mereka selama 5 tahun yang sudah berlalu. Begitu pula elite politik yang sedang berkuasa. Mereka telah menikmati "surga kekuasaan" dan ingin memperpanjang kekuasaan dengan beragam cara. Bahkan merubah aturan sekalipun tanpa lagi memiliki etika dan moralitas politik.
Roh jahat kekuasaan telah merasuk kedalam sukma hati mereka. Tak ada lagi pilihan selain terus melanjutkan kekuasaan demi kepentingan pribadi dan kelompok semata. Jargon2 demokratis nan indah untuk kepentingan rakyat, telah dilupakan. Jargon tsb cukup hanya digunakan disaat kampanye saja. Setelah itu menguap tanpa bekas! Machiavellisme telah menjadi dogma politik mereka. Etika dan moralitas dilabrak. Hukum dipreteli dan kekuasaan berkolaborasi dengan kaum oligarki yang meraup sumber daya negara sejauh mereka bisa. Watak maruk tak bisa lagi dihentikan. Bahkan himbauan tulus dari hati nurani terdalam kaum cendekiawan kampus yang non partisan pun dianggap sebagai bagian dari "the game of politics". Sungguh mereka sudah lupa, kekuasaan itu akan sampai pada titik tertentu yang merusak dan menghancurkan diri, keluarga dan kelompk sendiri.
Kembali ke suara rakyat, sampai pada derajat tertentu, kedaulatan rakyat itu tampak memiliki batasnya. Karena suaranya sudah dibeli dengan uang saat pemilu, maka biaya politik menjadi sangat tinggi. Secara logis, sang politisi terpilih akan mengembalikan biaya politiknya sambil mencari untung sebanyak mungkin selagi menjabat. Disini, rakyat tidak lagi diperhatikan: kedaulatan rakyat kalah dihadapan kedaulatan para wakilnya.
Jadi, demokrasi yang penuh dengan politik uang menerangkan dengan sangat jelas bahwa prinsip kedaulatan rakyat tidak betul-betul beroperasi. Kedaulatan rakyat beroperasi hanya pada saat pemilu, dan tidak pada saat selesai pemilu; fase di mana kerja politik-pembangunan mulai dilakukan.
Refleksi dari tulisan diatas, tak ada pilihan lain selain PEMILU BERSIH, JUJUR, ADIL & TRANSPARAN. Sungguh sangat disayangkan dan membuang uang negara, jika hasil Pemilu dan Pilpres 2024 dilakukan dengan kecurangan. Siapapun yang mendapatkan suara rakyat untuk duduk di lembaga legislatif (DPR RI, DPRD Prov dan Kota/Kabupaten) dan eksekutif (Presiden & Wakil Presiden), adalah amanah suara rakyat. Kita harus hormati dan junjung tinggi "vox populi". Namun, kemenangan yang didapatkan dengan cara2 curang, tak bermoral dan tak ber-etika adalah pengkhianatan luar biasa terhadap suara rakyat. KPU dan Bawaslu harus melaksanakan tugas, peran dan tanggungjawab yang benar2 mengacu kepada aturan hukum secara konsisten dan konsekwen. Pejabat2 KPU dan Bawaslu mulai dari Pusat sampai Daerah adalah WASIT PEMILU. Wasit dituntut harus netral, tanpa intervensi, mandiri dan independen, agar hasil Pemilu dan Pilpres 2024 benar mewujudkan suara rakyat yang sesungguhnya.
Kemenangan Pemilu dan Pilpres 2024 dengan kecurangan, jika tetap disahkan oleh KPU, akan mendapatkan legitimasi sosial yang rendah. Pemimpin dan Anggota Legislatif yang minim legitimasi rakyat, akan membuat rakyat apatis dan penyalahgunaan kekuasaan yang makin masif dari Caleg dan Presiden-Wapres terpilih. Sikap apatisme rakyat sama saja memberikan ruang lebih bebas bagi kekuasaan untuk melakukan "abuse of power". Mari kita jadikan Pemilu dan Pilpres 2024 sebuah Pesta Rakyat lima tahunan yang meningkatkan motivasi dan cinta tanah air segenap rakyat Indonesia menuju cita2 Indonesia emas 2045!
Bekasi, 10 Januari 2024
Komentar
Posting Komentar