WARGANET INDONESIA: LITERASI RENDAH, BERMEDSOS RIA TINGGI Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati sosial Kemasyarakatan)

 Sebuah hasil cukup mengagetkan, namun sesuai fakta terkait dengan sebuah hasil survey menunjukkan ada 167 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia (78,19% dari populasi). Literasi warganet kita masuk dalam kelompok rendah, namun menghabiskan waktu bermain medsos selama 198 menit setiap hari. Artinya, terlama kedua di ASEAN setelah Filipina (sumber Tempo edisi 17-23 Juli 2023).

UNESCO menyebutkan, Indonesia berada di posisi urutan kedua dari bawah soal literasi dunia. Artinya, minat baca masyarakat kita sangat rendah. Hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.

Riset berbeda bertajuk "World’s Most Literate Nations Ranked" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastruktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.

180 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2025 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 200 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.

Ironisnya, meski minat baca buku rendah, tapi data wearesocial per Januari 2017 mengungkap orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial, orang Indonesia berada di urutan ke 5 dunia. Jakarta kota paling cerewet di dunia maya karena sepanjang hari, aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.

Salah satu yang menakjubkan, Warga Jakarta tercatat paling cerewet menuangkan segala bentuk unek-unek di Twitter lebih dari 12 juta tweet setiap hari. Di posisi kedua peringkat dunia kota teraktif di Twitter ialah Tokyo. Menyusul di bawah Negeri Sakura ada warna Twitter di London, New York dan Sao Paulo yang juga gemar membagi cerita.

Bandung juga masuk ke jajaran kota teraktif di Twitter di posisi enam. Dengan demikian, Indonesia memiliki rekor dua kota yang masuk dalam daftar riset tersebut. 

Coba saja bayangkan, ilmu minimalis, malas baca buku, tapi sangat suka menatap layar gadget berjam-jam, ditambah paling cerewet di media sosial pula. Jangan heran, jika Indonesia jadi sasaran empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah. Kecepatan jari untuk langsung like dan share bahkan melebihi kecepatan otaknya. Padahal informasinya belum tentu benar, provokatif dan memecah belah NKRI.

Dengan gadget, memang banyak informasi fakta yang beredar. Sayangnya informasi yang mereka dapatkan juga bukan berasal dari media yang bisa dipercaya, melainkan dari media sosial yang lebih banyak dipenuhi oleh opini, bukan fakta. Bahkan sebaliknya, mereka malah percaya dengan portal-portal fake news dan akun-akun penyebar hoax.

Reuters Institute menyebutkan, jurang terbesar saat ini justru adalah soal kepercayaan masyarakat terhadap media fake news versus media yang valid. Faktanya memang begitu, diukur lewat Alexa.com beberapa media fake news bahkan bisa mengalahkan media mainstream seperti Antaranews dan Tempo.co.

Saat ini kita berada di era Post-Truth! Post-Truth didefinisikan sebagai ‘berkaitan dengan atau merujuk kepada keadaan di mana fakta-fakta obyektif kurang berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi. 

Di era Post-Truth, orang tidak lagi mencari kebenaran dan fakta, melainkan afirmasi dan konfirmasi dan dukungan atas keyakinan yang dimilikinya.

Memang kini banyak situs opini yang bias, menyerang, dan tendensius pada satu kelompok, mereka bisa mengambil hati dan perasaan pembaca dengan story-telling yang mereka buat. Kebenaran menjadi tidak penting.

Kredibilitas nama medianya apalagi, sudah tidak dilihat oleh masyarakat kita yang malas membaca dan cerewet tadi. Ketika media mainstream justru berseberangan faktanya dengan media opini tersebut, masyarakat justru malah berbalik menjadi tidak percaya terhadap media-media bernama besar itu. Jadi yang mengganggu bukan hanya media sosial berisi hoax tapi juga media fake news yang menyebarkan opini yang terpolarisasi.

Ada cara yang efektif, yaitu dengan membangun literasi media dan menjembatani polarisasi itu. Pemerintah cq Kementerian Kominfo harus tegas untuk membuat pelabelan situs/artikel sebagai hoax dengan kriteria dan prosedur yang jelas.

Selain itu kita juga harus melakukan kontra narasi yang kredibel terhadap hoax/opini yang menyesatkan.

Paradigma bahwa orang yang mengkritik pemerintah sebagai haters juga harus diubah. Engagement di sosial media harus lebih mengayomi bukan memerangi. Harus berpihak dan membela kebenaran. Kemudian Amanah, artinya dapat dipercaya. Kita harus menginformasikan berita atau kejadian yang sesungguhnya. Tentu tak ketinggalan yaitu Fathonah, artinya cerdas dan berwawasan luas.

"Media sosial telah memberi kita gagasan bahwa kita semua harus memiliki banyak teman, padahal kenyataannya, jika kita memiliki satu atau dua teman yang sangat baik, kita beruntung." - Brene Brown

Beksi, 19 Juli 2023


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANIES, KOALISI BESAR & MASA DEPAN DEMOKRASI KITA Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Hukum & Demokrasi)

POLITIK, PEMIMPIN & PANUTAN Penulis: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)

TRAGEDI POLITIK ANIES & TIRANI PARPOL Oleh: Dr. Yosminaldi, SH.MM (Pemerhati Politik, Demokrasi & Hukum)