UU CIPTAKER PASCA PUTUSAN MK Oleh: Yosminaldi Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia (ASPHRI), Mantan Praktisi Senior HRD & Dosen Senior Polteknaker Kemnaker RI
Isu terkait UU Ciptaker semakin menggelinding tajam dan memasuki babak baru setelah keluarnya Putusan MK No 109/PUU-XVIII/2020 yang berisikan poin-poin penting sebagai berikut:
1) UU
Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dengan pertimbangan telah
banyak kebijakan turunan yang dibuat dan bahkan telah berlakunya kebijakan ini
(dinyatakan bersyarat karena MK harus menyeimbangkan proses pembentukan UU yang
harus dipenuhi syarat formil, juga harus pertimbangkan tujuan pembentukan UU)
2) Para
pembentuk UU diberikan waktu paling lama dua tahun untuk perbaikan sesuai
dengan persyaratan tata cara pembentukan UU. Jika tidak dilakukan perbaikan, maka
dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
3) Apabila
dalam dua tahun tidak dapat menyelesaikan perbaikan, maka UU atau pasal atau
materi muatan yang telah dicabut oleh UU CK kembali berlaku.
4) Putusan
MK juga menangguhkan segala tindakan dan kebijakan yang bersifat strategis dan
berdampak luas, termasuk tidak boleh menerbitkan PP baru yang berkaitan dengan
UU CK selama proses perbaikan.
5) MK
mengakui adanya metode omnibus law tetapi juga memerintahkan agar segera
dibentuk landasan hukum yang baku untuk menjadi pedoman didalam pembentukan
undang-undang dengan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan.
Bagaimana sikap dan respon dari Pemerintah
bersama DPR-RI dalam menindaklanjuti Putusan MK diatas? Bagaimana pula respon
Pengusaha, Kaum Buruh/Pekerja serta situasi dunia ketenagakerjaan dan hubungan
industrial setelah dikeluarkannya Putusan MK yang menimbulkan multi tafsir oleh
banyak kalangan itu? Benarkah yang perlu dirubah atau diperbaiki hanya
legal-prosedural dalam merevisi UU Ciptaker dan tertutup peluang merevisi
material-substansialnya?
Butuh Keseriusan & Transparansi
Presiden Joko Widodo menyatakan
pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi
terkait UU Cipta Kerja. "Sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum,
pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi MK
Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Saya telah memerintahkan pada para menko dan para
menteri terkait untuk segera menindaklanjuti putusan MK itu secepat-cepatnya.
Dan MK sudah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku."(Presiden
Jokowi/29/11/2021).
Dari pernyataan Presiden dalam
merespon Putusan MK tersebut, terlihat bahwa Pemerintah cukup serius dalam menyikapinya
agar tidak terjadi “kegoncangan” dalam proses hubungan industrial di dunia
ketenagakerjaan yang notabene sangat membutuhkan ketenangan dan kenyamanan
dalam hubungan kerja bipartit yang bisa berdampak buruk terhadap pertumbuhan
ekonomi dan keberlangsungan dunia industri di Indonesia.
Selanjutnya, tentu kita menunggu
langkah-langkah berikutnya dari Pemerintah bersama DPR-RI dalam menindaklanjuti
secara positif amar putusan MK tersebut agar “bencana hukum” tersebut tak
terulang Kembali di kemudian hari. Prinsip kehatian-hatian, transparansi atau keterbukaan
serta memberikan peluang keterlibatan aktif dari berbagai pihak yang terkait seperti
para akademisi dibidang msdm & hubungan industrial, asosiasi para
pengusaha, serikat-serikat pekerja, para tokoh masyarakat, bahkan organisasi
praktisi HRD dalam pembahasan ulang draf UU Ciptaker adalah sangat penting,
agar produk hukum yang sangat strategis ini benar-benar bisa diterima dan
diimplementasikan oleh semua pihak secara bijak, dewasa, berkeadilan dan
memberikan kemanfaatan bagi semua ‘stakeholders’ dunia industri dan dunia
ketenagakerjaan.
Terkait dengan tindaklanjut
Pemerintah & DPR-RI dalam merespon Putusan MK tersebut diatas, DPR-RI telah
mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU
P3) menjadi undang-undang. Revisi ini adalah perubahan kedua atas UU No 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana merupakan
pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan yang belum mengatur metode omnibus
law. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna ke-23 tertanggal 24 Mei 2022
dalam masa sidang V tahun 2021-2022. Dengan adanya landasan hukum yang pasti
dan konstitusional dalam melakukan revisi UU Ciptaker, diharapkan Pemerintah
segera memproses semua tahapan-tahapan revisi UU Ciptaker sesuai aturan dan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kolaborasi & Sinergi
Bipartit
Terlepas dari dinamika Pro &
Kontra masing-masing pihak dalam mekanisme bipartit (Pengusaha dan Pekerja)
menyikapi tetap berlakunya UU Ciptaker beserta 4 (empat) PP turunannya (PP 34,
35, 36 & 37), kedua belah pihak dalam sistem dan mekanisme bipartit
(Pengusaha & Pekerja) diharapkan untuk bisa selalu menjaga sistem dan
mekanisme hubungan kerja yang kondusif, dinamis, adil, terbuka dan
berkolaborasi serta bersinergi agar tercipta keberlangsung dunia usaha dan
dunia industri yang saling menguntungkan.
Dengan akan berlangsungnya proses
perubahan & perbaikan UU Ciptaker setelah disahkannya Revisi UU P3,
diharapkan akan menghasilkan produk revisi UU Ciptaker yang memberikan kebaikan
dan kemanfaatan yang lebih adil dan saling menguntungkan bagi masa depan dunia
usaha dan dunia industri umunya, serta dunia ketenagakerjaan Indonesia
khususnya.
Lakukan Revisi
Material-Substansial
Dengan adanya perbaikan UU
Ciptaker secara legal-prosedural sebagaimana amar putusan MK dan pengesahan
revisi UU P3 oleh Pemerintah bersama DPR-RI sebagai landasan yuridis-formal
dalam melakukan revisi UU Ciptaker, diharapkan tindaklanjut perbaikan dan revisi
UU Ciptaker tersebut tidak hanya sebatas legal-prosedural, tapi juga melakukan
revisi secara material-susbtansial.
Pembentukan UU Cipta Kerja harus
dimulai dari awal, yakni mulai dari perencanaan sampai dengan pengundangan.
Proses pembentukanpun harus memperhatikan catatan-catatan MK soal pembentukan
UU yang konstitusional, terutama yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat
secara bermakna (meaningful participation), tidak tergesa-gesa serta transparansi
dalam mengakses dokumen pembentukan UU, seperti draf RUU, naskah akademik dan
lainnya. Diharapkan, penyusunan UU ini nantinya disesuaikan dengan metode
omnibus law sebagaimana diatur pada revisi UU tentang Penyusunan Peraturan
Perundang-undangan (P3).
Perbaikan UU Cipta Kerja sebagai
tindaklanjut putusan MK tersebut, harus menjadi momentum dalam membenahi UU
Ciptaker secara substansial, khususnya yang menjadi gugatan masyarakat didalam
setiap judicial review UU Cipta Kerja. Harus ada iktikad baik dari Pembentuk UU
untuk memperbaiki secara formil dan materiil terhadap UU Ciptaker. Hal ini
perlu digarisbawahi dan dilakukan untuk meminimalkan adanya potensi revisi UU
Cipta Kerja dipersoalkan kembali ke MK, sehingga akan banyak menghabiskan waktu
dan sangat melelahkan.
Kita berharap, agar semua pihak yang
terkait dalam proses revisi UU Ciptaker untuk tidak terburu-buru dan
benar-benar mematuhi semua prinsip-prinsip utama dalam penyusunan UU, agar
tercipta UU Ciptaker yang memenuhi aspirasi semua pihak, khususnya kepentingan
bipartit (Pengusaha & Pekerja) dalam sistem dan mekanisme hubungan
industrial yang kondusif, dinamis, terbuka dan berkeadilan.
Semoga tujuan luhur dan mulia para
Pembentuk UU untuk kebaikan, kemanfaatan dan keberlangsungan dunia usaha, dunia
industri dan dunia ketenagakerjaan Indonesia bisa tercapai sesuai harapan dan
keinginan kita bersama. Aaamien.
Komentar
Posting Komentar