QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA Oleh: Yosminaldi Ketua Umum Asosiasi Praktisi HR Indonesia (ASPHRI); Wakil Ketua FKLPI-Pusat, Anggota Pokja LPN & Kandidat Doktor MSDM Univ. Negeri Jakarta
Indonesia
memiliki banyak Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas & berkompetensi serta
mampu bersaing dengan SDM dari negara-negara tetangga di lingkup ASEAN. Namun
secara persentase, jumlah SDM yang memiliki kompetensi tersebut secara riil,
masih sangat kecil jika dibandingkan dengan SDM yang tak memiliki kompetensi
dan berpendidikan rendah.
Berdasarkan
data dari Biro Pusat Statistik (BPS) 2020, jumlah penduduk bekerja yang
berpendidikan SD ke bawah pada Agustus 2020 tercatat 49,96 juta orang atau
38,89%, jumlah pekerja lulusan SMP tercatat 23,47 juta orang atau 18,27%.
Artinya, persentase Pekerja berpendidikan rendah (SD & SMP) adalah
57,16% dari total Pekerja RI.
Sementara
untuk lulusan SMA yang tercatat sebanyak 24,34 juta orang atau 18.95%, lulusan
SMK yang tercatat sebanyak 14,85 juta orang atau 11,56%, lulusan Diploma
I/II/II hanya 3,47 juta orang atau 2,7%, lulusan universitas tercatat 12,36
juta orang atau 9,63% dari jumlah angkatan kerja Indonesia saat ini sebanyak 128,45
juta orang.
Dari
suguhan data statistik valid diatas, dapat disimpulkan bahwa tingginya
persentase Pekerja berpendidikan rendah, sangat berpengaruh terhadap
produktivitas dan daya saing SDM Indonesia di kancah Internasional, khususnya
diantara negara-negara ASEAN.
Disisi
lain secara demografis, Indonesia berada pada posisi sangat menguntungkan.
Diprediksi dalam durasi 2020-2030, negeri ini mendapatkan bonus demografi.
Sebanyak 70% dari total penduduk adalah usia angkatan kerja (15-64) dan sisa
30% adalah usia non produktif (14 tahun kebawah dan 65 tahun keatas). Artinya,
jumlah usia produktif berkisar pada angka 180 juta jiwa dan no produktif di
angka 60 juta jiwa.
Lalu,
bagaimana agar ketimpangan-ketimpangan pendidikan dan kompetensi diatas bisa
diselesaikan secara cepat, berdampak langsung & signifikan terhadap
usaha-usaha peningkatan produktivitas dan daya saing Indonesia serta
mendayagunakan bonus demografi secara efektif, optimal dan maksimal dimasa
mendatang?
Akselerasi Peningkatan
Kompetensi
Menurut
Robert A. Roe (2021), Kompetensi merupakan sebuah gambaran kemampuan untuk
melaksanakan setiap tugas atau peran, mulai dari kemampuan mengintegrasikan
pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai pribadi, sampai kemampuan
untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pada pengalaman
dan pembelajaran yang dilakukan. Secara
etimology, kompetensi berasal dari bahasa inggris, yaitu “competency” yang
memiliki arti kemampuan atau kecakapan (Echols dan Shadily 2000).
Dalam kaitannya dengan pekerjaan, Kompetensi memiliki
pengaruh yang penting dalam lingkungan kerja. Hal ini dikarenakan kompetensi
berjalan beriringan dengan perkembangan suatu perusahaan. Semakin tinggi
kompetensi di lingkungan kerja, semakin tinggi pula perkembangan perusahaan,
sehingga perusahaan lebih mudah mencapai tujuannya. Kompetensi juga membantu
perusahaan untuk mengetahui sejauh apa karyawan dapat berkontribusi sesuai
dengan visi & misi perusahaan yang telah ditetapkan.
Karena
saling mempengaruhi satu sama lain, perusahaan harus turut serta membantu
meningkatkan kompetensi karyawan di lingkungan kerja. Cara perusahaan
meningkatkan kompetensi kerja karyawan di lingkungan kerja bisa dengan berbagai
macam kegiatan.
Kegiatan
meningkatkan kompetensi kerja oleh perusahaan harus dilakukan secara berkelanjutan
agar dapat mempertahankan konsistensi kinerja, mengevaluasi kinerja yang
dinilai masih kurang, dan mengembangkan kualitas kinerja jauh lebih baik.
Untuk
lingkup makro, peningkatan kompetensi tenaga kerja harus disinergikan secara
bersama-sama oleh Pemerintah, Dunia Usaha & Dunia Industri (DUDI) serta
Dunia Pendidikan. Pemerintah secara konkrit, sebenarnya sudah menyusun skenario
besar (grand scenario) untuk mempercepat laju peningkatan kompetensi Tenaga
kerja/SDM Indonesia melalui pemberdayaan peran Balai Latihan Kerja (BLK) di
seluruh Indonesia sebagai “center of excellence” dengan memperbanyak
program-program pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan praktis DUDI. Namun, konsep
orientasi “link and match” yang diimplementasikan oleh BLK, banyak terkendala
dengan aturan-aturan ketat regulasi internal birokasi dan pola Standar
Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang kaku dan kurang mengakomodasi
kebutuhan riil DUDI yang memiliki banyak karakter dan jenis ketrampilan yang diinginkan.
Jika
dianalogikan dengan teori Thomas Robert Malthus (1798), maka percepatan
permintaan kompetensi dari DUDI berpolakan rumus deret ukur dan percepatan
peningkatan kompetensi SDM berpolakan rumus deret hitung. Artinya, kecepatan
kebutuhan kompetensi DUDI bergerak dengan laju berlari, sementara kecepatan
dalam meningkatkan kompetensi SDM kita bergerak laju berjalan. Tantangan kita
adalah, bagaimana agar ketertinggalan laju kecepatan peningkatan kompetensi SDM
bisa lebih diperkecil jaraknya terhadap laju kecepatan kebutuhan kompetensi
DUDI.
Secara
faktual, Pemerintah juga telah memperbanyak sekolah-sekolah vokasi seperti SMK
dengan tujuan mencetak lulusan siap pakai untuk DUDI. Namun berdasarkan laporan
BPS 2020, angka pengangguran dari lulusan SMK di Indonesia tahun 2020 mencapai
13,55%. Angka tersebut menjadi yang paling tinggi dibanding dengan lulusan
jenjang sekolah lainnya. Artinya, penyiapan SMK (sarana, prasarana dan
kurikulum) masih belum memenuhi kebutuhan DUDI secara maksimal dan optimal.
DUDI
dan Dunia Pendidikan sebagai “stakeholders” tenaga kerja, memiliki peran yang
tak kalah penting dalam ikutserta meningkatkan kompetensi SDM. Sebagai pengguna
tenaga kerja, DUDI memiliki banyak sumber dan alternatif dalam mendapatkan
calon tenaga kerja yang kompeten melalui beragam lembaga-2 diklat kompetensi,
perusahaan-2 penyedia tenaga kerja bahkan mendidik dan melatih sendiri calon-2
pekerja secara internal. Begitu pula Dunia Pendidikan, sudah memiliki sistem
dan kurikulum pendidikan, pelatihan dan riset berbasis kompetensi dalam
menyiapkan lulusan siap kerja sebagaimana diharapkan. Namun, dikarenakan
masing-masing pemangku kepentingan tersebut masih berjalan sendiri-sendiri
sesuai dengan visi dan misinya tanpa dilandasi dengan niat kolaborasi & sinergi
yang terarah, maka pencapaian target peningkatan kompetensi, khususnya realisasi
konsep “link & match” antara DUDI dengan Dunia Pendidikan masih tetap pada
tataran statis yang belum sesuai harapan.
Maka
dari itu, dibutuhkan kolaborasi dan sinergi yang lebih sistematis, terarah dan
terukur antara ketiga pemangku
kepentingan (Pemerintah, DUDI & Dunia Pendidikan) dalam merumuskan,
mengimplementasikan, mengawasi dan yang paling penting adalah melakukan
evaluasi atas hasil-hasil dari kolaborasi & sinergi tersebut untuk mencapai
target ideal peningkatan kompetensi SDM Indonesia.
Peningkatan Produktivitas SDM
Berdasarkan
data Asian Productivity Organization (APO) yang diterbitkan dalam APO
Productivity Databook 2020, posisi produktivitas per pekerja Indonesia berada
di bawah rata-rata tingkat produkvitas tenaga kerja enam negara ASEAN terbesar.
Posisi produktivitas per pekerja Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan
dengan Singapura dan Malaysia," (Republika.co.id -1/2/2021).
Dijelaskan
bahwa produktivitas per pekerja Indonesia berkisar 23.900 dolar AS atau hanya
seperlima dari Singapura yang berada di peringkat pertama dengan produktivitas
per pekerja 149.100 dolar AS. Sementara, jika dibandingkan dengan Malaysia,
Indonesia masih terpaut jauh dengan produktivitas per pekerja sebesar 55.400
dolar AS atau lebih dari dua kali lipat Indonesia.
Mengutip
Beritasatu.com (1/5/2020), menurut ukuran Asia Productivity Organization (APO),
indeks produktivitas tenaga kerja asal Indonesia berdasarkan jumlah jam kerja
pada 2017 sebesar 1,30. Angka ini masih di bawah Thailand dan Vietnam yang
masing-masing sebesar 1,45 dan 1,50. Bahkan, jika kita melihat perkembangan
Vietnam, tingkat produktivitas negara Indocina tersebut konsisten meningkat sejak
tahun 1990.
Salah satu pertimbangan investor asing dalam menanamkan
investasi, khususnya di industri manufaktur adalah tingkat produktivitas tenaga
kerja suatu negara. Ketertinggalan Indonesia dari Vietnam dalam hal
produktivitas tenaga kerja, patut menjadi perhatian serius Pemerintah dan semua
‘stakeholders’ agar tidak semakin menurunkan kepercayaan investor untuk
menanamkan modalnya di Indonesia.
Permasalahan produktivitas tak bisa “dibebankan” hanya kepada
issue tenaga kerja semata, tapi harus dilihat sebagai bagian dalam sistem &
mekanisme kerangka besar bisnis dan dunia industri yang saling terkait antara regulasi,
sistem birokrasi, logistik dan transportasi, perijinan serta biaya-biaya
siluman yang masih menjadi problem besar dunia bisnis di negeri ini.
Secara
mikro, peningkatan produktivitas tenaga kerja sejatinya sudah dilakukan oleh
masing-masing Dunia Usaha & Dunia Industri (DUDI) dengan secara ketat
memberlakukan kedisiplinan dalam segala hal, sistem target kinerja atau “Key
Performance Indicator (KPI)” dan program-program pelatihan internal perusahaan
yang mempercepat peningkatan ketrampilan, keahlian dan pengetahuan tenaga kerja
di perusahaan.
Tantangan
kedepan adalah, seberapa cepat, serius dan fokusnya segenap komponen bangsa
yang dikomandoi Pemerintah bersama dengan DUDI dan Dunia Pendidikan untuk bisa
keluar dari “zona merah produktivitas”, atau meminjam istilah yang sering
digaungkan oleh Prof. Dr. Bomer Pasaribu (Pakar Produktivitas Indonesia) dalam
setiap kesempatan pertemuan-2 ilmiah tentang produktivitas, yaitu “Productivity
Paradox” atau Paradox Solow.
Dalam
konsep Paradox Solow, disebutkan bahwa terjadi perlambatan signifikan tingkat
produktivitas suatu negara atau ketidaksesuaian yang dirasakan antara ukuran
investasi dalam teknologi informasi dan ukuran output di tingkat nasional.
Salah
satu solusi untuk bisa keluar dari “zona merah produktivitas” atau
“Productivity Paradox” adalah meningkatkan keunggulan kapasitas dan kompetensi
SDM sesegera mungkin, agar bisa berkompetisi secara global. Pengembangan
kapasitas dan peningkatan kompetensi SDM harus dimulai dari sistem pembelajaran
vokasi yang selaras dengan kebutuhan dunia kerja. Fokus pendidikan vokasi harus
bertumpu pada penguasaan ketrampilan dan keahlian yang sesuai dengan
kualifikasi yang dibutuhkan Dunia Usaha & Dunia Industri (DUDI).
Terobosan Spirit Kewirausahaan
Bagi lulusan dunia
pendidikan kita khususnya SMK dan Perguruan Tinggi, apabila ditanya rencana
mereka setelah menyelesaikan sekolah ataupun kuliah, hampir dipastikan
mayoritas akan menjawab: Ingin bekerja. Jawaban mereka tidak salah, karena konsep
pendidikan kita yang dituangkan dalam kurikulum pelajaran secara baku dan
standar secara umum, memang mengarahkan anak didik penerus cita-cita bangsa ini
untuk memiliki mentalitas siap kerja, bukan siap membuka usaha atau setidaknya memiliki
spirit kewirausahaan.
Jargon “siap kerja” tersebut sudah berlangsung cukup lama
sejak era orde baru. Bisa jadi dikarenakan tingginya kebutuhan DUDI terhadap
tenaga kerja pada saat itu. Namun, sejak era Reformasi sampai beberapa tahun
terakhir, Pemerintah mulai merubah sistem dan kurikulum pendidikan dari model
pendidikan yang berfokus pada teoritikal-ilmiah, menjadi sistem pendidikan yang
menitikberatkan pada model pendidikan kejuruan (vokasi), yakni memperbanyak kesempatan
magang dan praktek lapangan, agar penguasaan ketrampilan dan keahlian di
bidang-bidang tertentu, diharapkan selaras dengan kompetensi yang dibutuhkan
oleh DUDI.
Berdasarkan
data BPS 2019, angka pengangguran terbesar di negeri ini berasal dari lulusan
sekolah setingkat SMK sebesar 11,24% dibanding lulusan SMA yang hanya 7,9%.
Padahal jumlah lulusan SMK setiap tahunnya hanya separuh dari lulusan SMA. Lulusan
SMK jumlahnya 1,4 juta dibanding lulusan SMA yang berjumlah 2,1 juta.
Ketimpangan ini kemungkinan karena belum adanya link and match yang
terencana, terstruktur dan terimplementasi secara optimal antara dunia teori
dan kerja di dalam sistem pendidikan vokasi SMK.
Seharusnya,
materi pembelajaran pada kurikulum vokasi tidak hanya tentang penguasaan
ketrampilan dan keahlian pada bidang-bidang pekerjaan tertentu, tapi justru
harus memperbanyak materi keilmuan dan ketrampilan dalam bidang kewirausahaan.
Sejauh ini, jumlah jam pelajaran (JP) tentang kewirausahaan di sekolah-sekolah
vokasi, politeknik dan BLK masih sangat minim. Terkesan masih sebatas materi
tambahan atau pelengkap. Padahal dalam situasi perekonomian yang masih belum
membaik di era pandemic covid-19 ini, tingkat penyerapan tenaga kerja di DUDI
tidak sebanding dengan jumlah lulusan setiap tahunnya.
Kewirausahaan
harus mulai menjadi perhatian utama pemerintah, sebagai salah satu strategi
untuk mengurangi tingkat pengangguran. Bahkan, dengan semakin banyaknya
lulusan-lulusan pendidikan vokasi yang memiliki pemahaman dan spirit
kewirausahaan, akan membantu pemerintah dalam memperluas penyerapan tenaga
kerja. Negeri ini butuh generasi baru yang memiliki spirit dan ketrampilan
kewirausahaan yang komplit, agar memberikan kontribusi perubahan dalam tataran
inovasi dan kreatifitas yang memberikan dampak positif dalam peningkatan
percepatan kompetensi anak bangsa untuk bisa bersaing dengan negara-negara
lain, khususnya ASEAN.
Bekasi,
18 Agustus 2021
Yosminaldi
Komentar
Posting Komentar